Kikil Kerbau hingga Kebocoran, 5 Fakta Mengerikan Implan Payudara

Implan payudara ternyata sudah ada sejak lama. Beragam dampak mengerikan akibat proses tersebut digambarkan. Berikut ini ulasannya.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 15 Jul 2017, 19:12 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2017, 19:12 WIB
Risiko implan payudara (1)
Ilustrasi payudara wanita. (Sumber Max Pixel)

Liputan6.com, Jakarta - Proses bedah untuk pembesaran payudara ternyata sudah ada sejak zaman dahulu kala, namun baru populer dalam rentang waktu yang sangat panjang setelah lebih dari 50 tahun.

Sebelum era itu datang, kondisi hipomastia -- payudara yang mungil -- sejatinya tak menjadi masalah selama beberapa tahun setelah usainya Perang Dunia II.

Pembesaran payudara itu baru populer setelah ramai pemberitaan di majalah-majalah fashion.

Pada 1962, Timmi Jean Lindsey yang saat itu berusia 29 tahun menjadi orang pertama penerima implan silikon pada payudara, saat pemeriksaan lanjutan dengan dokter setelah menghapus tato di dadanya.

Dr. Frank J. Gerow mengajukan memperbesar ukuran payudara dari B ke C, tanpa biaya. Gerow mengamati bahwa tekstur gel silikon mirip dengan tekstur payudara. Karya dadakan itu tidak pernah bocor sekalipun.

Namun demikian ada catatan pertama implan payudara bertanggal 24 November 1895 di Jerman. Implan itu dilakukan pada penyanyi dan seniman panggung yang memiliki benjolan di payudaranya.

Dr. Vincenz Czerny membedah benjolan itu lalu mengisinya dengan lipoma --benjolan lemak tubuh-- untuk mengembalikan simetri payudara yang penting bagi seorang aktris panggung. Saat itu, bedah demikian masih eksperimental dan caranya baru diterima pada 1900-an.

Pada 1899, dokter bernama Robert Gersuny di Wina menyuntikkan minyak mineral (Vaseline) ke dalam kantong zakar pasien yang kehilangan satu testis akibat tuberculous epididymitis.

Dr. Gersuny menyadari bahwa Vaseline akan mengeras ketika suhu dingin. Seiring berjalannya waktu, ia coba-coba dengan parafin dan caranya itu merebak di kalangan kedokteran masa itu sehingga dicoba untuk berbagai keperluan, termasuk pembesaran payudara.

Tapi, zat-zat itu meleleh ketika panas dan bergeser di bawah kulit, lalu mengeras lagi di tempat lain ketika suhu dingin. Lalu muncullah benjolan-benjolan yang tidak pada tempatnya.

Silikon untuk pembesaran payudara juga ternyata berguna dalam hal forensik.

Pada September 2006, ada jasad membusuk seorang wanita dalam kardus yang mengapung di perairan Newport Beach, California. Ia adalah korban pembunuhan keji dengan 52 tusukan pisau, lalu dibungkus kain seprai.

Ternyata ada nomor seri pada implan payudara wanita itu sehingga identitas korban diketahui sebagai Barbara Mullenix, yang saat dibunuh berusia 56 tahun.

Masih banyak lagi fakta mencengangkan terkait implan payudara yang ternyata sudah ada sejak lama. Berikut ini Liputan6.com kutip dari listverse.com pada Sabtu (15/7/2017):

1. Sesudah Pembedahan

Implan payudara berisi cairan saline. (Sumber Wikimedia Commons)

Bedah plastik, terutama terkait implan payudara, telah lama dipertanyakan walaupun tujuan awalnya tidak buruk, yaitu agar wanita merasa lebih nyaman dengan diri sendiri.

Walaupun begitu, ada beberapa penelitian selama beberapa tahun yang mengungkapkan kaitan yang mengkhawatirkan antara bunuh diri dengan kaum wanita yang telah melakukan pembesaran payudara.

Misalnya, dalam suatu penelitian di Swedia yang menganalisa data 3.527 wanita pelaku sukarela bedah itu, para peneliti menemukan peningkatan 3 kali lipat risiko bunuh diri secara keseluruhan.

Namun demikian, risiko itu 4,5 kali lebih tinggi dalam 10 tahun pertama sesudah operasi dan 6 kali lipat dalam 20 tahun sesudah proses pembedahan itu.

Menurut Louise A. Brinton, PhD, MPH dari US National Cancer Institute, tak bisa begitu saja mengkaitkan keracunan silikon dengan bunuh diri. Meski kemungkinan itu tetap ada.

Sejumlah peneliti menduga bahwa ada kaitan pada gangguan kejiwaan parah yang mendasari upaya pembesaran payudara. Faktanya, sejumlah penelitian mengungkapkan bahwa kaum wanita dalam penelitian itu memiliki tingkat ketergantungan yang lebih tinggi terhadap alkohol dan obat-obatan.

Dalam analisis akhir, para peneliti berpendapat bahwa pemantauan sesudah implan ditambahkan kepada penilaian psikiatri sebelum pembedahan. Tapi, ada keraguan bahwa hal itu akan dilaksanakan.

2. Suntikan Silikon Cair

Ilustrasi suntikan. (Sumber Max Pixel)

Risiko selalu ada pada setiap pembedahan, bahkan pada yang kecil dan rutin. Dalam dunia bedah plastik, banyak yang kaget ketika mengetahui bahwa bedah pembesaran payudara berada di risiko tertinggi, melebihi pengecilan perut dan sedot lemak.

Sebelum 1992, kebanyakan komplikasi berasal dari suntikan silikon cair yang menyebabkan beberapa dampak samping berbahaya, terutama fibrous capsule contracture, yaitu ketika jejaring tubuh bereaksi mengeras untuk mengepung zat asing dalam tubuh.

Untuk memperbaikinya, seorang dokter harus secara manual menghancurkan jaringan parut di sekitar implan atau bisa terpaksa membuang payudaranya. Salah satu komplikasi parah adalah merembesnya partikel silikon cair melalui selaput implan, sehingga terbawa dan tersangkut dalam berbagai organ tubuh.

Ternyata suntikan berbahaya seperti itu tidak pernah disetujui FDA, walaupun baru sejak 1992 terbit larangan penggunaan silikon cair di Amerika Serikat. Tapi pembedahan liar tetap berlangsung oleh para pelaku yang mengaku sebagai dokter.

3. Proses Coba-Coba

Implan payudara awalnya bertujuan memperbaiki citra diri seorang wanita. (Sumber Wikimedia Commons)

Pada 2002, Dr. Robert Allen Smith mendapatkan paten bentuk baru pembesaran payudara menggunakan rambut sebagai pengganti silikon dan gel. Gagasan itu timbul setelah ia mengamati serumpun rambut yang dijahitkan pada kulit kepala pasien tanpa mengalami reaksi penolakan dari tubuh manusia.

Dengan demikian, Dr. Smith mengajukan penggunaan rambut ataupun keratin, yang adalah protein asal-usul rambut, yang berasal dari "bulu hewan termasuk mamalia manapun. Terbuat dari kuku tangan dan kaki, tapal kuda, paruh dan kaki atau bulu burung."

Pengajuan ganjil itu dipandang praktis, mengingat prosedur mengerikan yang digunakan pada pertengahan 1900-an. Pada saat itu, pembesaran payudara tidak lebih dari sekadar eksperimen coba-coba oleh dokter yang mengisi payudara wanita dengan kikil kerbau hingga gading atau bahkan butiran karet.

Tentu saja pembedahan demikian gagal seluruhnya. Baru pada 1930-an lah para ilmuwan menemukan silikon yang tahan penolakan dan kebal kontaminasi bakteri.

4. Penyakit Implan Payudara

Ilustrasi implan payudara yang bocor. (Sumber Wikimedia Commons)

Bagi ribuan wanita, pembedahan untuk mengeluarkan implan payudara justru lebih memuaskan daripada hari pemasangan implan.

Dokter bedah yang membantah klaim bahwa implan membuat pasiennya sakit pun sudah banyak.

Suatu kelompok bernama Breast Implant Illness and Healing telah mengumpulkan pengakuan dari 15 ribu wanita, yang mengaku bahwa payudara mereka menyebabkan berbagai gejala karena terjadi kebocoran.

Beberapa masalah yang mungkin terjadi biasanya kejang, migren, berkunang-kunang, dan penyakit otoimun.

Menurut Katelyn Svancara, seorang model Playboy dari Phoenix, ia merasa sakit selama 4 tahun dari keseluruhan 5 tahun dirinya memasang implan. Gejala-gejalanya berkurang setelah pembuangan implan.

Kasus-kasus seperti itu terus bertambah jika dilihat dari jumlah gugatan hukum sehingga sekarang menjadi mimpi buruk bagi para pembuat implan.

Misalnya, pada 1998, Dow Corning Corporation membayar ganti rugi senilai US$ 3,2 miliar kepada 170 ribu wanita. Bahkan banyak penggugat yang meninggal sebelum tercapai kesepakatan.

Dow Corning sendiri tetap mengaku tidak bersalah. Saat itu, kaitan antara implan silikon dengan penyakit memang masih harus dicari buktinya.

5. Cacat Akibat Silikon Industri

Rumah bordil YasuuraHouse di Jepang sesaat setelah Perang Dunia II. (Sumber Wikimedia Commons)

Selama Perang Dunia II, Dow Corning Corporation dan Corning Glass mengembangkan produk silikon untuk keperluan militer.

Menjelang 1943, silikon dipakai untuk pelumas dan produk minyak pesawat terbang dan menjadi karet tahan panas. Pemakaian lain adalah untuk bahan kedap air dan insulasi trafo listrik.

Segera setelah Jepang menyerah di akhir Perang Dunia II, beberapa barel silikon industri menghilang dari galangan-galangan kapal Jepang.

Ternyata, bahan itu menjadi pilihan untuk bahan pembesaran payudara di kalangan pekerja seksual Jepang yang menyadari bahwa para prajurit AS lebih menyenangi wanita berpayudara besar.

Hal itu menimbulkan efek samping cacat, infeksi, pergeseran silikon dalam tubuh, dan luka-luka parut karena silikon industri mengandung garam timah organik, tidak steril seperti silikon medis.

Tindakan kasar penyuntikan silikon industri terus berlangsung di Jepang lama setelah perang usai, dan masih terus dilakukan di beberapa kawasan Asia hingga sekarang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya