Liputan6.com, Moskow - Selama tahun 1980-an dan 1990-an, banyak orang menganggap bahwa jumlah korban jiwa dalam proses persekusi massal selama masa kepemimpinan Joseph Stalin tidak pernah terungkap. Banyak yang mengklaim sebenarnya jumlahnya lebih banyak dari yang dilaporkan.
"Pada awal 1990-an, saya berhadapan dengan banyak statistik terkait teror pada era Soviet. Menurut perhitungan saya, selama rezim Soviet, ada 7,1 juta orang yang ditangkap dinas keamanan negara. Selain itu, masyarakat Rusia juga percaya bahwa pada 1937–1939 saja ada 12 juta orang yang ditangkap. Jadi, saya tidak memedulikan perhitungan sejak lama," jelas Ketua Memorial, Arseny Roginsky, seperti yang dikutip dari RBTH Indonesia, Senin (7/8/2017).
Memorial adalah organisasi sejarah dan hak masyarakat sipil yang bertujuan untuk "mengungkap fakta masa lalu dan mengabadikan kenangan korban penindasan politis".
Advertisement
Baca Juga
Sebagai salah satu pendiri Memorial, Roginsky telah melakukan banyak upaya untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi terkait persekusi politik pada era Uni Soviet.
Pada saat yang bersamaan, seperti yang ia ingat, estimasi terpopuler jumlah korban pemimpin tangan besi Soviet Joseph Stalin pada akhir 1980-an dan awal 1990-an juga tidak pernah dipublikasikan.
Suasana masyarakat saat itu sangat emosional bahkan sejarawan ternama pun tidak mau memublikasikan penemuan kontroversialnya, meski itu telah diteliti dengan baik dan sesuai fakta.
Menurut Roginsky, panasnya persekusi saat itu membuat dirinya -- dan para pihak oposisi lain -- menahan diri untuk tidak membeberkan data itu ke publik.
Hingga 100 Juta Korban, Benarkah?
Alexander Solzhenitsyn -- oposisi terkenal pada era pemimpin terakhir Uni Soviet Mikhail Gorbachev -- pernah mengungkapkan dalam bukunya Gulag Archipelago bahwa ada 66,7 juta korban pada era Uni Soviet tahun 1917 hingga 1959.
Pada 1991, harian terbesar Soviet, Komsomolskaya Pravda, memuat wawancara Solzhenitsyn saat diwawancarai sebuah saluran televisi Spanyol. Menurut keterangan itu, ada 44 juta orang tambahan lagi dalam jumlah korban kekejaman Stalin; mereka adalah penduduk Soviet yang tewas selama Perang Dunia II.
Berarti, total jumlah korban Stalin, berdasarkan hipotesis Solzhenitsyn, adalah sekitar 110 juta, sedangkan total populasi Uni Soviet (sensus 1939) sebelum perang adalah 170 juta. Karena terdengar kontroversial, hingga kini, kedua angka itu kerap dipertanyakan kebenarannya.
Angka yang berlebihan tersebut dipermasalahkan tidak hanya oleh para oposisi, tapi juga oleh anggota Partai Komunis Uni Soviet. Pada 1990, sejarawan Roy Medvedev mengklaim bahwa jumlah korban penindasan politis di Uni Soviet dari 1927 hingga 1953 adalah 40 juta.
Selain oposisi dan pejabat Partai Komunis Uni Soviet, sejarawan profesional Barat juga telah melakukan penghitungan jumlah korban represi. Salah satunya adalah Robert Conquest, yang pertama mencetuskan istilah "Teror Hebat" dan mengklaim ada sekitar 9 juta orang yang dipenjara pada akhir 1939 di Uni Soviet.
Meski lebih sedikit dari perkiraan sebelumnya, jumlah ini tetap lima kali lebih besar dari kenyataannya. Sejarawan Viktor Zemskov, salah satu spesialis paling terkenal untuk topik ini, mempelajari data statistik terkait sistem hukuman Soviet, dan ia memperkirakan bahwa pada 1940, ada sekitar 1,9 juta orang di balik jeruji besi gulag Soviet.
Pada 1990, Kepala Badan Intelijen Uni Soviet (KGB) Vladimir Kryuchkov mengatakan, dari 1930 hingga 1953 ada 3,8 juta orang dipenjara, dan 786 ribu dihukum mati. Ketepatan klaim ini tidak dibantah oleh sejarawan profesional.
Namun, menurut Zemskov, masyarakat tidak mau percaya data yang disajikan oleh Kryuchkov, karena dianggap tidak benar. Mereka lebih percaya hipotesis Solzhenitsyn dalam bukunya Gulag Archipelago dengan klaim fantastis berkisar puluhan juta korban.
Mengingat fakta bahwa otoritas Soviet mengeksekusi lebih dari 600 ribu orang hanya dalam dua tahun (1937–1939), jumlah yang diklaim sang Kepala KGB terasa masuk akal. Namun begitu, masyarakat masih menganggap angka itu cenderung tidak akurat.
Sulit untuk Bersikap "Objektif" dalam Mengungkap Jumlah Korban
Menurut Sergey Kara-Murza, ilmuwan sosial dengan spesialisasi sejarah Soviet, masyarakat Rusia kini akan terus mempertanyakan data seputar korban kekejaman Stalin. Argumennya, meskipun "pembersihan" pada tahun 1930-an itu adalah peristiwa memilukan di sejarah Rusia, Kara-Murza menilai bahwa "tidak akan pernah ada analisis objektif" atas kejadian itu.
"Masih ada rasa sakit yang sangat besar karena hilangnya banyak nyawa, dan segala upaya untuk menganalisis secara objektif akan terlihat amoral. Saudara dan bahkan anak kandung politisi yang dibunuh pada 1930-an memainkan peran penting di arena politik saat perestroika (era reformasi Uni Soviet menuju Rusia moderen)," tulis Kara-Murza.
"Gambaran tentang represi adalah alat politik yang kuat hingga pembuatan dan penggunaannya dibatasi dengan penyensoran yang ketat," tambahnya.
Pemikiran Kara-Murza tentang penggunaan represi sebagai alat politik saat ini kira-kira sejalan dengan apa yang ilmuwan politik Maria Lipman tulis di majalah Foreign Affairs tentang kampanye de-Stalin-isasi selama perestroika.
"Destalinisasi secara drastis melemahkan rezim komunis. Pada akhir 1991, kehancuran komunisme Soviet diikuti oleh keruntuhan Uni Soviet."
Yang juga membingungkan, proses destalinisasi juga tidak selalu dilakukan berdasarkan fakta dan kenyataan, hingga kini.