Liputan6.com, Seoul - Jepang dan Korea Selatan kembali terlibat kecaman diplomatik usai Presiden Korsel, Moon Jae-in, menolak kesepakatan pada tahun 2015 tentang comfort women atau jugun ianfu oleh tentara Jepang pada Perang Dunia II.
Moon mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis bahwa kesepakatan tersebut "benar-benar cacat" dan "tidak dapat menyelesaikan" perselisihan lama dua negara tersebut mengenai "comfort women" - sebuah eufemisme bagi puluhan ribu wanita dan anak perempuan, kebanyakan berasal dari semenanjung Korea, yang dipaksa bekerja sebagai pelacur bagi militer Jepang sebelum dan selama Perang Dunia II.
"Ini bertentangan dengan prinsip universal masyarakat internasional untuk menyelesaikan masalah sejarah, dan terutama, ini adalah kesepakatan politik yang mengecualikan korban dan warga negara," kata Moon mengenai kesepakatan tersebut, menurut kantor berita Yonhap seperti dikutip The Guardian pada Kamis (28/12/2017).
Advertisement
"Bersama dengan warga, saya, sebagai presiden, memperjelas lagi bahwa masalah wanita penghibur atau tidak dapat diselesaikan melalui kesepakatan ini," cetus Presiden Moon.
Baca Juga
Komentar Moon datang sehari setelah satgas pemerintah Korea Selatan mengatakan kesepakatan tersebut -- di mana Jepang setuju untuk menyediakan dana bagi jumlah korban yang semakin berkurang -- telah gagal mempertimbangkan perasaan mantan budak seks tersebut.
Pernyataan satgas pemerintah Korsel membuat marah Menteri Luar Negeri Jepang, Taro Kono, yang memperingatkan bahwa hubungan bilateral akan menjadi "tidak terkendali" jika Seoul gagal menghormati kesepakatan tersebut, di mana kedua belah pihak berjanji untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Kono mengatakan dalam sebuah pernyataan: "Kesepakatan Jepang-Korea Selatan adalah antara kedua pemerintah dan sangat dihargai oleh masyarakat internasional."
"Jika pemerintah Korea Selatan ... mencoba merevisi kesepakatan yang telah diimplementasikan, itu akan membuat hubungan Jepang dengan Korea Selatan tidak dapat diatur dan hal itu tidak dapat diterima."
Berdasarkan kesepakatan tersebut, yang disahkan oleh perdana menteri Jepang, Shinzo Abe, dan pendahulu Moon, Park Geun-hye, Jepang meminta maaf kepada korban yang masih hidup dan memberikan dana sebesar 1 miliar yen (US$ 8,8 juta) kepada sebuah lembaga dana kesejahteraan untuk diteruskan kepada korban budak seks.
Moon, seorang liberal yang berhaluan kiri, mengisyaratkan bahwa dia bersiap untuk mempertimbangkan kembali kesepakatan tersebut segera setelah dia menjadi presiden pada bulan Mei.
Dia telah mengatakan beberapa kali bahwa kesepakatan tersebut tidak didukung oleh mayoritas warga Korea Selatan.
Kedua negara itu awalnya bertekad untuk tidak saling mengkritik mengenai masalah ini di forum internasional, dan Korea Selatan sepakat untuk "melakukan upaya" untuk mengamankan pemindahan patung-patung yang diklaim menghormati wanita tersebut, termasuk di luar kedutaan besar Jepang di Seoul.
Kesepakatan 2015 Tak Memasukkan Usulan Korban
Satuan tugas Korea Selatan, bagaimanapun, menyimpulkan bahwa perselisihan tersebut tidak dapat "diselesaikan secara mendasar" karena tuntutan korban akan kompensasi resmi dari Jepang telah dikeluarkan dari kesepakatan tersebut.
Meskipun diberikan uang sebagai bagian dari aksi kemanusiaan untuk membantu menyembuhkan "luka psikologis" wanita tersebut, Jepang menegaskan bahwa semua klaim kompensasi yang timbul dari perang diselesaikan melalui perjanjian damai bilateral 1965.
Menteri luar negeri Korea Selatan, Kang Kyung-wha, mengakui kesepakatan tersebut tidak mencerminkan perasaan para korban.
"Saya mohon maaf karena telah memberikan luka hati kepada para korban, keluarga mereka, masyarakat sipil yang mendukung mereka dan semua orang lainnya karena kesepakatan tersebut gagal untuk mencerminkan pendekatan yang berorientasi pada korban, yang merupakan standar universal dalam menyelesaikan masalah hak asasi manusia," kata Kang.
"Pemerintah akan menggunakan temuan satuan tugas tersebut untuk membentuk sebuah kebijakan baru setelah berkonsultasi dengan korban selamat dan pendukung mereka," ujar Kang lagi.
Ada ketidaksepakatan mengenai jumlah pasti wanita yang dipaksa melakukan perbudakan seksual oleh Jepang selama pemerintahan kolonial Semenanjung Korea pada tahun 1910-1945.
Juru kampanye pembela budak seks mengatakan bahwa sebanyak 200.000 wanita - kebanyakan dari Korea, juga juga China, Asia Tenggara dan sejumlah kecil perempuan Jepang dan Eropa - dipaksa atau ditipu untuk bekerja di rumah bordil militer antara tahun 1932 dan kekalahan Jepang pada tahun 1945.
Yonhap melaporkan bahwa 36 dari 47 korban selamat yang masih hidup saat kesepakatan tersebut tercapai pada bulan Desember 2015 telah menerima atau mengatakan bahwa mereka berencana untuk menerima uang dari kompensasi Jepang tersebut.
Tapi Oh Tai-kyu, yang mengepalai gugus tugas comfort women mengatakan bahwa menerima uang itu tidak berarti mendukung kesepakatan tersebut. "Saya pikir kita harus melihat apakah logika benar di sini bahwa jika Anda menerima uang, maka Anda mendukung kesepakatan," kata Oh, menurut Yonhap.
"Menerima uang tidak berarti bahwa sebuah kejahatan dimaafkan," tutup Oh.
Advertisement