Liputan6.com, Tokyo - Malam itu, 24 Januari 1972, Jesus Duenas dan Manuel De Gracia sedang memasang perangkap udang di sepanjang Sungai Talofofo, Guam. Tiba-tiba seorang pria muncul dan menyerang mereka.
Awalnya, Duenas dan Gracia mengira, pria itu adalah penduduk lokal. Sama sekali tak terbesit dalam pikiran mereka, lelaki sepuh itu seorang tentara Perang Dunia II yang masih bersembunyi di hutan belantara. Rupanya, ia berperilaku agresif karena merasa hidupnya dalam bahaya.
Advertisement
Baca Juga
Terkejut dengan penampakan manusia lain, si penyerang mencoba meraih salah satu senapan pemburu yang dibawa Duenas dan Gracia.
Dua lawan satu. Duenas dan Gracia berhasil membekuk dan membawanya keluar hutan, ke desa terdekat. Sepanjang jalan pria itu menangis, memohon untuk dibunuh.
Kemudian, kebenaran akhirnya terkuak: pria tersebut adalah tentara Jepang. Namanya Shoichi Yokoi. Usianya 57 tahun.
"Ia sungguh panik," kata Omi Hatashin, keponakan Yokoi seperti dikutip dari BBC News.
"Dia khawatir mereka akan membawanya sebagai tawanan perang --yang akan menjadi aib terbesar bagi seorang tentara Jepang dan bagi keluarganya di rumah," kata Hatashin.
Shoichi Yokoi pernah bertugas di Divisi Infantri Ke-29 di Manchuria sebelum akhirnya dipindah ke Resimen Ke-8 di Kepulauan Mariana. Ia tiba Guam pada Februari 1943 dan masih ada di sana ketika pada 1944 Amerika menguasai pulau itu.
Selama Perang Guam, Yokoi melarikan diri bersama sembilan tentara Jepang lainnya ke dalam hutan. Namun, belakangan, hanya tiga yang tetap tinggal.
Ketiga lelaki itu secara tidak sengaja mulai tinggal di hutan. Menghilangkan semua jejak yang mereka tinggalkan. Ketiganya terus berada di sana selama hampir 30 tahun.
Mereka tinggal di tempat terpisah namun kerap saling mengunjungi satu sama lain -- mirip tetangga sejati.
Sayangnya, teman-teman Yokoi meninggal akibat musibah banjir pada tahun 1964, jadi selama delapan tahun ia tetap sendirian di hutan, masih berharap kawan-kawannya yang duluan pergi akan kembali.
Yokoi membuat jebakan dari alang-alang liar untuk menangkap belut. Dia juga menggali bunker untuk tempat berlindung di bawah tanah, yang ditopang kerangka bambu yang kuat.
Untuk mengalihkan kerinduan pada ibunya yang sudah lanjut usia, suatu ketika ia menulis, "Tidak ada gunanya membangkitkan rasa sakit di hati dengan memikirkan hal-hal seperti itu."
Dan, saat sakit parah, ia menulis, "Tidak! Aku tidak bisa mati di sini. Aku tidak bisa menguak jasadku ke musuh. Aku harus kembali ke bunker untuk mati. Sejauh ini aku telah berhasil bertahan hidup tetapi semua akan sia-sia sekarang."
Menariknya, setelah ditangkap, Yokoi mengaku tahu benar bahwa perang telah berakhir pada 1945, namun ia malu berat untuk pulang.
Para tentara Jepang diajarkan bahwa lebih terhormat untuk mati daripada ditangkap oleh musuh.
"Ini sangat memalukan, tapi saya telah kembali," kata dia saat menginjakkan kaki di Jepang, seperti dikutip dari The Vintage News, Rabu (23/1/2019).
Pulang ke Jepang
Shoichi Yokoi juga menyampaikan pesan pada Kaisar Hirohito, meski ia belum pernah bertemu dengan penguasa Negeri Sakura itu.
"Tuanku, saya telah kembali...Saya sangat menyesal karena saya tidak dapat melayani Anda dengan baik. Dunia telah berubah, tetapi tekad saya untuk melayani Anda tidak akan pernah berubah."
Setelah Yokoi kembali, ia menikah dan menjadi bintang televisi yang populer. Pria itu juga jadi motivator.
Pada 1977, sebuah film dokumenter tentang petualangannya dirilis. Judulnya dalam Bahasa Inggris, Yokoi and His Twenty-Eight Years of Secret Life on Guam.
Ia juga menulis otobiografi tentang kehidupnya di hutan. Yokoi meninggal pada tahun 1997 karena serangan jantung. Petualangannya paripurna pada usia 82 tahun.
Yokoi adalah salah satu dari tiga prajurit yang menolak kalah usai perang berakhir pada 1945.
Ia baru menyerah 30 tahun setelah perang berakhir. Setelahnya, ada Hiroo Onoda dan Teruo Nakamura.
Hiroo Onoda memilih tinggal di pedalaman hutan di Pulau Lubang, dekat Luzon, Filipina selama 29 tahun, hingga 1974. Ia tak percaya perang sudah berakhir.
Kala itu, saat Perang Dunia II hampir usai, prajurit Onoda tersudut di Pulau Lubang oleh pasukan Amerika Serikat yang merangsek ke utara.
Prajurit muda itu terdesak. Tapi ia diperintahkan untuk tidak menyerah. Perintah yang ia patuhi selama 3 dekade.
"Setiap prajurit Jepang bersiap untuk mati. Namun, sebagai seorang perwira intelijen, aku diperintahkan untuk meneruskan perang gerilya. Dan tak boleh mati," kata Onoda dalam wawancara dengan ABC tahun 2010 silam, seperti dimuat BBC, Jumat 17 Januari 2014.
Sementara, Teruo Nakamura ditempatkan di pulau Morotai, Halmahera, Indonesia pada tahun 1944, bersamaan ketika pasukan Sekutu melancarkan serangan dan berhasil mengatasi perlawanan Jepang di kawasan.
Si prajurit rendah berhasil menyelamatkan diri ke kawasan hutan pulau Morotai, demi menghindari penangkapan pasukan Sekutu.
Ia bertahan hidup dengan segala cara yang dianggap perlu. Hingga pada 1974, ia ditemukan oleh aparat setempat dan dipulangkan ke Taiwan.
Advertisement