Perubahan Iklim Picu Terjadinya Krisis Mentimun di Jepang

Jepang disebut mengalami krisis mentimun yang menandai kenaikan tinggi harga sayur mayur akibat perubahan iklim.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 17 Jul 2019, 15:25 WIB
Diterbitkan 17 Jul 2019, 15:25 WIB
20151020-Sayur Mentimun
Ilustrasi Sayur Mentimun (iStockphoto)

Liputan6.com, Tokyo - Pasar sayur mayur di ibu kota Jepang mengalami pekan yang suram dalam hampir 60 tahun terakhir, di mana perubahan cuaca mencolok menyebabkan pertanian terganggu.

Kondisi tersebut menyebabkan harga sayur mayur di Tokyo dan beberapa kota besar Jepang lainnya naik hingga 70 persen, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Rabu (17/7/2019).

Sat ini, Jepang tengah dilanda cuaca berawan dan suhu dingin, di mana Tokyo hanya mendapat sinar Matahari kurang dari tiga jam selama 20 hari hingga Selasa 16 Juli.

Fakta tersebut merupakan yang terendah sejak Badan Meteorologi Jepang mulai mengumpulkan data pada tahun 1961.

Berdampak pada Kondisi Pertanian

Ilustrasi Sayuran
Ilustrasi sayuran (dok. Pixabay.com/congerdesign/Putu Elmira)

Kurangnya sinar Matahari dan suhu rendah telah mempengaruhi pertanian di sebagian besar kepulauan Jepang.

Harga mentimun telah melonjak hingga 70 persen, sementara sayuran lain juga membukukan kenaikan dua digit di pasar grosir pusat Tokyo, menurut Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Jepang.

Tetapi tidak semua sayuran terdampak. Harga bawang merah, lobak putih, dan wortel semuanya turun karena pulau utara Hokkaido, tempat mayoritas komoditas itu tumbuh, menikmati tingkat sinar Matahari yang lebih normal.

Penyebab cuaca yang lebih dingin dan hujan adalah anti-siklon di Laut Okhotsk, di lepas pantai timur Rusia, yang telah mendorong udara dingin dan lembab ke hampir seluruh wilayah Jepang.

Kekacauan Cuaca di Jepang

Ilustrasi bendera Jepang (AFP/Toru Yamanaka)
Ilustrasi bendera Jepang (AFP/Toru Yamanaka)

Normalnya, Jepang diguyur hujan antara akhir Juni dan awal Juli, yang biasanya berakhir sekarang, di mana kemudian diikuti oleh sekitar dua bulan cuaca panas dan kelembaban yang intens.

Sementara itu, gelombang panas pada Juli tahun lalu, menewaskan puluhan orang dan menyebabkan ribuan lainnya dirawat di rumah sakit di seluruh Jepang.

Suhu tertinggi yang tercatat di Jepang kala itu adalah 41,1 derajat Celsius di Saitama, yang terletak di utara Tokyo.

Sementara itu, panitia dan atlet berharap untuk musim panas yang lebih dingin tahun depan, ketika Olimpiade Tokyo 2020 akan berlangsung dari 24 Juli hingga 9 Agustus.

Badan Meteorologi Jepang memperkirakan kondisi berawan akan berlangsung sepekan lagi, tapi tetap berharap suhu akan kembali ke kondisi normal pada akhir Juli.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya