Liputan6.com, Hong Kong - Polisi Hong Kong telah melakukan penangkapan pertama mereka di bawah undang-undang "anti-protes" baru yang diberlakukan oleh Beijing, saat kerumunan masyarakat sedang menandai 23 tahun sejak berakhirnya pemerintahan Inggris.
Sepuluh orang ditahan dengan tuduhan melanggar hukum, termasuk seorang pria dengan bendera pro-kemerdekaan. Sedangkan sekitar 360 lainnya ditahan dalam sebuah rapat umum yang dilarang. Demikian seperti dikutip dari laman BBC, Kamis (2/7/2020).Â
Advertisement
Baca Juga
Satu dari 10 orang yang ditangkap berdasarkan undang-undang baru, yang diadopsi setelah kerusuhan tahun lalu yang meluas, memegang bendera "Kemerdekaan Hong Kong".Â
Namun, beberapa pengguna Twitter mengatakan gambar itu tampak menunjukkan tulisan "tidak" yang ditulis di depan slogan. Pria itu belum diidentifikasi, dan tidak jelas apakah dia akan dituntut.
Sebelumnya pada hari Rabu, ribuan orang berkumpul untuk melakukan unjuk rasa pro-demokrasi tahunan dan menandai ulang tahun penyerahan wilayah. Mereka menentang larangan oleh pihak berwenang yang mengutip pembatasan pada pertemuan lebih dari 50 orang karena COVID-19.
Polisi menggunakan meriam air, gas air mata dan semprotan merica pada demonstran.Â
Tujuh petugas terluka, termasuk seorang petugas yang ditikam di lengan oleh "perusuh yang memegang benda tajam", kata polisi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:
UU yang Tuai Kontroversi
Hukum keamanan nasional tersebut menargetkan pemisahan diri, subversi, dan terorisme dengan hukuman seumur hidup di penjara.
Aktivis mengatakan itu mengikis kebebasan tetapi China telah menolak kritik tersebut.
Kedaulatan Hong Kong diserahkan kembali ke China oleh Inggris pada tahun 1997 dan hak-hak tertentu seharusnya dijamin selama setidaknya 50 tahun di bawah perjanjian "satu negara, dua sistem".
Inggris kini mengatakan hingga tiga juta penduduk Hong Kong akan ditawari kesempatan untuk menetap di Inggris dan akhirnya mengajukan permohonan kewarganegaraan.
Undang-undang ini telah dikecam oleh banyak negara dan aktivis hak asasi manusia.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menyebut langkah-langkah itu sebagai "serangan mencolok" pada kebebasan berbicara dan protes.
Inggris juga telah memperbarui saran perjalanannya di Hong Kong, dengan mengatakan ada "peningkatan risiko penahanan, dan deportasi bagi penduduk tidak tetap".
Sedangkan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan China telah melanggar janjinya kepada rakyat Hong Kong.
Namun di Beijing, juru bicara kementerian luar negeri Zhao Lijian mendesak negara-negara untuk melihat situasi secara objektif dan mengatakan China tidak akan mengizinkan campur tangan asing dalam urusan dalam negerinya.
Advertisement