Visa Pasangan ke Australia Jadi Makin Sulit Akibat COVID-19

Mereka yang punya pasangan di Australia harus sabar. Visa makin sulit didapat akibat COVID-19.

diperbarui 11 Agu 2020, 07:02 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2020, 07:02 WIB
Ilustrasi kota Melbourne, Australia (AFP/Christopher Futcher)
Ilustrasi kota Melbourne, Australia (AFP/Christopher Futcher)

Canberra - Bagi yang punya pasangan orang Australia, sudah tak asing lagi dengan 'spouse visa'. Kini, visa itu juga terkena dampak pandemi Virus Corona COVID-19.

'Spouse visa' atau visa partner adalah visa yang harus dimiliki warga asing yang menikah dengan warga Australia.

Di tengah pandemi COVID-19, masa tunggu bagi persetujuan visa tersebut semakin panjang, dengan rata-rata sekitar dua tahun. 

Celia Audi bertemu dengan suaminya Moses ketika mereka bekerja bersama-sama di Kenya di tahun 2012. Mereka sekarang hidup terpisah, Celia di Australia, sementara Moses harus kembali ke Kenya tiga tahun lalu setelah mereka menikah.

Pasangan tersebut sudah menunggu selama hampir dua tahun agar visa pasangan bagi Moses disetujui pemerintah Australia. Selama masa itu, Moses tidak boleh datang ke Australia dan harus menunggu di negaranya. 

Celia mengatakan, ketidakpastian menunggu kapan mereka akan mendapatkan visa tersebut membuatnya frustasi.

"Ini berarti kami tidak bisa merencanakan apapun, karena apapun tidak ada kepastian akan bisa dilakukan," katanya, dilansir ABC, Selasa (11/8/2020).

"Bila sudah ada tanggal, kami bisa membuat rencana, dia bisa membuat rencana bagaimana datang ke sini, namun sekarang semuanya serba tidak pasti."

Selama tiga tahun terakhir, mereka hanya sempat hidup bersama selama lima bulan. Celia mengkhawatirkan penundaan ini bisa membuat dia dan suaminya kehilangan kesempatan untuk memiliki anak.

"Bagi kami, ini bisa berarti kami tidak akan punya anak, karena saya tidaklah bertambah muda," kata Celia.

"Rasanya betul-betul memilukan dan setiap hari rasanya sangat berarti. Kami memerlukan visa pasangan untuk membangun hidup kami berdua."

Celia tidak sendirian, ada sejumlah warga Australia lain yang berada dalam situasi yang sama Celia.

Beberapa bahkan sudah mengajukan petisi untuk disampaikan ke parlemen Australia di Canberra.

Dalam petisi tersebut mereka meminta agar pemerintah Federal Australia memperbaiki proses visa partner ini sehingga lebih transparan dan lebih ringkas.

"Tidak ada keterbukaan, kami tidak bisa menelpon Imigrasi dan bertanya mengenai apa yang terjadi, karena mereka tidak mau memberitahu kami," kata Celia.

"Jadi petisi ini berisi tuntutan bahwa tidaklah benar memisahkan keluarga di Australia, karena kami sudah membayar Rp 80 juta per aplikasi namun kami tidak mendapat pemberitahuan prosesnya."

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Aplikasi Makin Menumpuk Tiap Tahun

Ilustrasi Sydney malam hari (iStock)
Ilustrasi Sydney malam hari (iStock)

Di tahun keuangan 2014-2015, Departemen Dalam Negeri Australia sudah menyetujui 52.018 pengajuan visa pasangan.

Sementara sampai bulan Maret lalu pengajuan visa yang masih menunggu untuk diproses adalah 91.717.

Di tahun 2019 ada 74.214 visa partner yang sedang menunggu diproses. 

Amelia Elliot seorang perempuan yang tinggal di Melbourne dan pasangannya asal Filipina, Bowie Domingo, juga ikut menandatangani petisi yang dikirim ke Parlemen Australia.

Amelia mengatakan banyak keluarga yang stress dengan ketidakpastian bagaimana proses pengajuan visa mereka saat ini.

"Banyak diantara kami yang merasa sendirian, banyak yang merasa tidak berdaya," kata Amelia.

Bowie mengajukan visa partner dari Filipina di tahun 2018 setelah mereka melakukan pernikahan di Australia.

Namun sekarang hampir dua tahun, yaitu 22 bulan, Bowie masih menunggu keputusan akhir mengenai visa yang diajukannya. 

Mereka yang mengajukan visa pasangan dari luar negeri yang disebut 'off-shore partner visa application' bisa masuk ke Australia menggunakan visa lain misalnya visa turis, namun mereka tidak boleh bekerja.

Biaya pengajuan visa tersebut adalah AU$7.715, sekitar Rp80 juta, namun masih ada biaya tambahan seperti biaya untuk agen, biaya untuk membuat visa turis dan membeli tiket penerbangan.

Amelia terpaksa menjual apartemen untuk membiayai pembuatan visa untuk pasangannya.

"Kami sudah menghabiskan A$11.500, sekitar Rp 115 juta, untuk pengurusan visa, biaya agen dan tentu saja AU$7 ribu untuk biaya resmi ke kantong pemerintah," katanya.

Bowie mengatakan selama menunggu kepastian mendapat visa telah menciptakan berbagai masalah.

"Dari sisi keuangan, ini berat karena istri saya yang sekarang ini menjadi tulang punggung utama, dan ini membuat saya secara mental tertekan," katanya. "Rasanya kesal karena tidak bisa bekerja. Saya adalah orang yang tipenya tidak mau menggantungkan diri ke orang lain. Saya ingin bekerja untuk keluarga saya, untuk istri saya."

Dalam persyaratan pengajuan visa, Bowie harus bersiap-siap meninggalkan Filipina ketika Departemen Dalam Negeri Australia akan memutuskan kepastian visanya.

Menurut Amelia Elliot persyaratan tersebut seharusnya tidak berlaku di masa pandemi sekarang ini.

"Saat ini biaya pesawat dan karantina bisa melebihi AU$6 ribu (sekitar Rp 60 juta) untuk keluar dari Filipina ke Australia, padahal pemerintah bisa saja memberitahu kami lewat telepon," kata Amelia.

 

Haruskah Beralih ke Visa Lain?

Suasana Melbourne saat Pemberlakuan Lockdown
Jalan Swanston yang kosong pada malam hari di kawasan pusat bisnis Melbourne selama lockdown, Rabu (5/8/2020). Negara bagian Victoria, hotspot COVID-19 di Australia, melakukan lockdown dan menutup bisnis ritel sebagai upaya mengekang penyebaran virus corona. (AP Photo/Asanka Brendon Ratnayake)

Seorang pengacara masalah imigrasi di Melbourne, Erskine Rodan mengaku sedih melihat banyak yang masih menunggu kepastian visa pasangan.

"Visa pasangan itu dibuat guna memastikan pasangan mereka bisa datang sesegera mungkin," ujarnya.

Daripada menunggu visa pasangan, Erskine menyarankan kepada mereka yang menunggu untuk mencoba visa pekerja trampil, atau 'skilled migration visa' karena masa proses lebih cepat.

"Ada program khusus untuk mereka yang memiliki keterampilan tinggi yang bisa mendapatkan visa mereka dengan cepat," katanya.

"Dalam masa 12 atau 18 bulan, kita akan memerlukan sebanyak mungkin tenaga terampil dari luar negeri, karena pandemi COVD-19 telah menyebabkan banyak masalah secara ekonomi, sosial dan (penurunan) jumlah kedatangan migran secara keseluruhan.

"Sejauh ini Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton belum memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan ABC.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya