, Kabul - Ekonomi Afghanistan yang sebelumnya telah babak belur kini dihantam kekeringan berkepanjangan dan berkuasanya kembali Taliban. Masa depan negara itu tampak suram.
Taliban hingga kini masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan internasional setelah merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus 2021. Demikian seperti dikutip dari laman DW Indonesia, Jumat (19/11/2021).
Di dalam negeri, mereka juga berjuang untuk memahami dan mengendalikan situasi Afghanistan yang memburuk. Namun rakyat miskinlah yang harus membayar harga paling mahal.
Advertisement
Baca Juga
"Pandemi COVID-19, krisis pangan yang telah berlangsung, dan datangnya musim dingin semakin memperburuk keadaan," menurut laporan yang baru diterbitkan oleh UNICEF, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertanggung jawab untuk memberikan bantuan kemanusiaan dan perkembangan kepada anak-anak di seluruh dunia.
"Pada tahun 2020, hampir setengah dari populasi Afghanistan sangat miskin dan tidak bisa memenuhi kebutuhan seperti nutrisi dasar atau air bersih," menurut laporan tersebut. Dan ini menggambarkan kondisi sebelum pergolakan belakangan ini.
Menurut UNICEF, jutaan anak masih membutuhkan bahan-bahan kebutuhan penting, termasuk perawatan kesehatan primer, vaksin polio dan campak, nutrisi, pendidikan, perlindungan, tempat tinggal, air dan sanitasi.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Terpaksa Dijual
Mohammad Ibrahim, penduduk Kabul, adalah salah satu dari banyak orang yang tidak punya pilihan lain selain menawarkan putrinya yang berusia tujuh tahun bernama Jamila untuk dijual. Uang hasil penjualan Jamila akan dipakai untuk membayar utang-utang keluarganya.
"Seseorang datang dan mengatakan kepada saya untuk membayar utang atau 'Saya akan membakar rumah Anda hingga jadi abu,'" kata Ibrahim kepada DW. Namun dia mendapat tawaran untuk "menyerahkan putrinya" guna melunasi utang.
"Pria itu orang kaya," lanjut Ibrahim.
"Dan saya tidak punya pilihan lain dan saya menerima untuk menukarkan anak saya untuk membayar utang sebanyak 65.000 Afghani (sekitar Rp10 juta)."
Di Provinsi Badghis di Afganistan barat, warga telah lama mengalami kekeringan dan terpaksa meninggalkan rumah dan desa mereka. Najeeba, perempuan muda yang tinggal di sebuah kamp, telah diperdagangkan oleh keluarganya dengan harga 50.000 Afghani, atau sekitar Rp7,7 juta.
"Di malam hari sangat dingin dan kami tidak punya apa-apa untuk menghangatkan rumah kami. Kami ingin LSM membantu kami," kata Najeeba kepada DW.
"Saya masihlah seorang anak perempuan. Saya punya dua saudara laki-laki, satu saudara perempuan dan seorang ibu. Saya belum mau menikah dan ingin belajar dan mengenyam pendidikan," tambahnya.
Gul Ahmad, ayah dari Najeeba, tidak melihat ada pilihan lain selain menjual putri-putrinya yang lain untuk memenuhi kebutuhan.
"Saya tidak punya pilihan lain dan jika kami ditinggalkan, saya terpaksa menjual putri saya yang lain seharga 50, 30 atau bahkan 20 ribu Afghani."
Advertisement
Kemiskinan Meningkat
Program Pangan Dunia (WFP) di bawah PBB memperkirakan bahwa lebih dari separuh penduduk Afganistan hidup di bawah garis kemiskinan. Kerawanan pangan meningkat, sebagian besar karena konflik dan ketidakamanan yang mengisolasi seluruh komunitas di sana.
WFP mengatakan bahwa sekitar 22,8 juta dari hampir 35 juta penduduk Afganistan diidentifikasi rawan pangan akut. Angka ini termasuk ratusan ribu warga yang mengungsi akibat konflik sejak awal tahun.
"Sulit rasanya menukar anak untuk membayar utang. Kami tidak punya apa-apa untuk ditawarkan kecuali anak kami sendiri,” kata Nazo, ibu Jamila.
Menyusul runtuhnya pemerintah Afganistan, upaya bunuh diri juga meningkat dan warga bahkan lebih rentan terhadap penyakit psikologis dan mental. Kemiskinan meningkat. Tidak adanya warna-warni dan keramaian dari jalan-jalan Kabul yang sebelumnya cerah dan ramai, membuat situasi suram ini makin kentara.
Infografis Kejatuhan dan Kebangkitan Taliban di Afghanistan:
Advertisement