Liputan6.com, Kabul - Seorang pejabat senior Taliban pada Selasa (27/9) menyerukan pemerintahannya yang hanya terdiri dari pejabat laki-laki di Afghanistan untuk membuka kembali semua sekolah menengah bagi anak perempuan tanpa ditunda lagi, dengan alasan tidak ada pembatasan bagi pendidikan bagi perempuan dalam agama Islam.
Wakil Menteri Luar Negeri Taliban, Sher Mohammad Abbas Stanikzai, mengeluarkan seruan itu dalam pidato yang disiarkan televisi di hadapan para pejabat tinggi dan pemimpin Taliban di ibu kota Kabul, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (29/9/2022).
Baca Juga
Sejak mengambil alih kekuasaan lebih dari setahun lalu, mantan kelompok pemberontak Islam itu menutup akses pendidikan bagi pelajar perempuan di atas kelas enam SD, dengan menggunakan alasan keagamaan.
Advertisement
"Pendidikan itu bersifat wajib bagi laki-laki maupun perempuan, tanpa diskriminasi apa pun. Tak ada satu pun cendekiawan Muslim di sini yang bisa membantah kewajiban ini. Tak ada yang bisa memberikan pembenaran menurut hukum Syariah (Islam) untuk menentang (hak perempuan mendapatkan pendidikan)," kata Stanikzai.
"Merupakan kewajiban Emirat Islam untuk mempersiapkan pembukaan kembali akses pendidikan bagi seluruh warga Afghanistan sesegera mungkin, karena penundaan yang terjadi hanya memperlebar jurang antara kita [pemerintah] dan bangsa ini, dalam masalah ini khususnya," katanya memperingatkan. Taliban menyebut pemerintahannya dengan nama Emirat Islam Afghanistan.
"Saya harap dengan perubahan yang terjadi dalam tubuh kementerian pendidikan dan ditunjuknya menteri yang baru, saya memberikan ucapan selamat padanya dan memintanya untuk membuat keputusan penting dalam pembukaan sekolah [bagi anak-anak perempuan] sesegera mungkin," ujarnya.
1 Juta Anak Perempuan Sulit Bersekolah
PBB memperkirakan, larangan belajar yang diberlakukan Taliban telah menghalangi hampir satu juta anak perempuan untuk bersekolah di Afghanistan.
"Apabila Taliban terus tidak menegakkan hak-hak seluruh warga Afghanistan dan tidak terlibat secara konstruktif dengan komunitas internasional, masa depan Afghanistan tidak akan jelas: perpecahan, isolasi, kemiskinan dan konflik internal kemungkinan akan terjadi," kata kepala Misi Bantuan PBB di Afghanistan Potzel Markus saat menghadiri pertemuan Dewan Keamanan PBB hari Selasa (27/9).
Menjelang sesi tersebut, 10 anggota terpilih dan lima anggota mendatang DK PBB mendesak Taliban untuk mengizinkan anak-anak perempuan kembali belajar di bangku sekolah menengah, sambil mengingatkan bahwa 18 September lalu persis setahun sejak kelompok radikal itu melarang akses pendidikan anak-anak perempuan.
"Kami menyerukan Taliban untuk segera membalikkan keputusan itu," kata Mona Juul, duta besar Norwegia, saat membacakan pernyataan bersama di hadapan wartawan di New York.
Advertisement
Larangan Duduk di Bangku Sekolah
"Taliban telah membuat Afghanistan sebagai satu-satunya negara di dunia di mana anak-anak perempuan dilarang belajar di bangku sekolah menengah," tambahnya.
"Peningkatan risiko akibat gangguan akses pendidikan, khususnya bagi anak-anak perempuan, membuat mereka lebih rentan menjadi pekerja anak dan dinikahkan secara paksa. Hal itu memperngaruhi kesempatan ekonomi mereka di masa depan dan menimbulkan hambatan jangka panjang bagi perdamaian, keamanan dan pembangunan yang tahan lama," kata Juul.
Taliban juga memerintahkan perempuan untuk menutup wajah mereka di muka umum dan menyuruh banyak pegawai perempuan di sektor publik untuk tinggal di rumah semenjak kelompok itu kembali berkuasa Agustus 2021, ketika pasukan AS dan NATO menarik diri dari negara itu.
Stanikzai, tokoh moderat yang langka di kalangan tokoh-tokoh senior Taliban, memimpin tim Taliban dalam negosiasi selama berbulan-bulan dengan AS yang berakhir dengan sebuah kesepakatan pada Februari 2020 antara kedua kubu, mempersiapkan penarikan seluruh pasukan asing dari negara itu setelah hampir dua dekade berperang di sana.
Kritik Keras
Pejabat Taliban lain juga secara diam-diam mendorong pembukaan kembali sekolah bagi anak-anak perempuan, namun para pengkritik mengatakan tak ada yang berani menentang pemimpin tertinggi kelompok itu, Hibatullah Akhundzada, dan beberapa rekannya yang tampaknya berada di balik penutupan sekolah dan pembatasan hak-hak perempuan.
Aturan mengenakan cadar bagi perempuan dan larangan bagi mereka untuk bepergian jauh tanpa kerabat laki-laki serta pembatasan lainnya terhadap kebebasan sipil adalah beberapa keprihatinan yang membuat pemerintah asing enggan mengakui Taliban sebagai penguasa resmi Afghanistan.
Pengambilalihan kekuasan Afghanistan oleh Taliban memicu penghentian aliran bantuan keuangan dari negara-negara Barat, sehingga memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah cukup buruk dan mendorong perekonomian nasional Afghanistan ke tepi jurang, di mana jutaan penduduk menghadapi kelaparan akut.
Advertisement