3 Pria Divonis Bersalah atas Rencana Penikaman Presiden Prancis Emmanuel Macron

Ketiga pria itu merupakan bagian dari grup Facebook yang dikenal sebagai Barjols.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 18 Feb 2023, 14:30 WIB
Diterbitkan 18 Feb 2023, 14:30 WIB
Emmanuel Macron menikmati jalan-jalan di pantai menjelang pemilihan Prancis
Presiden Prancis Emmanuel Macron dan istrinya Brigitte Macron berjalan di sepanjang pantai di Le Touquet, menjelang putaran kedua pemilihan presiden Prancis, Sabtu (23/4/2022). Emmanuel Macron berada di posisi terdepan untuk memenangkan pemilihan kembali Minggu, 24 April 2022 dalam Pilpres Prancis. (AP Photo/Thibault Camus)

Liputan6.com, Paris - Pengadilan anti-teror Prancis menghukum tiga orang pada Jumat (17/2/2023), atas rencana penyerangan terhadap Presiden Emmanuel Macron.

Ketiga pria, yang merupakan bagian dari grup Facebook yang dikenal sebagai Barjols, dihukum karena berkonspirasi melakukan aksi teroris setelah pengadilan mendengar bagaimana mereka berdiskusi menggunakan pisau keramik untuk menikam Macron pada 2018 saat peringatan Perang Dunia I.

Jean-Pierre Bouyer, seorang mantan montir berusia 66 tahun, dijatuhi hukuman paling lama empat tahun penjara, dengan penangguhan satu tahun. Itu jauh di bawah hukuman penjara maksimum 10 tahun untuk pelanggaran tersebut.

Dia ditangkap pada 6 November 2018 bersama tiga orang lainnya di wilayah Moselle timur. Polisi menemukan pisau gaya komando dan rompi tentara di mobilnya serta tiga senjata api di rumahnya. Demikian dikutip dari The Guardian, Sabtu (18/2).

Dua orang lainnya yang ditangkap bersamanya dijatuhi hukuman penjara yang lebih pendek, sementara sembilan terdakwa lainnya dan sesama anggota kelompok dibebaskan. Adapun seorang lainnya diberi hukuman percobaan karena memiliki senjata api secara ilegal.

Sejak dimulainya persidangan pada pertengahan Januari, pengadilan mendengar rincian pertemuan kelompok yang diwarnai pengaruh alkohol dan diskusi migrasi online yang seringkali rasis, ketakutan mereka akan perang saudara, dan kebencian mereka terhadap Macron.

Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang titik di mana konspirasi online dan fantasi kekerasan menjadi kriminal, dengan pengacara pembela mengklaim penuntutan tidak memiliki bukti keinginan nyata untuk bertindak.

Pengacara Bouyer, Olivia Ronen, mengatakan kepada wartawan bahwa dia menyesali hakim tidak mengakui bahwa kasus ini dibesar-besarkan dan tidak ada bukti kuat untuk menghukum.

"Pengadilan berakhir sedikit di tengah jalan," kata rekan pengacara pembela Francois Ormillien, menyoroti vonis bersalah tetapi hukuman yang sangat ringan.

Tiga terdakwa utama diperkirakan akan mengajukan banding.

"Saya memiliki hak untuk mengekspresikan diri," ujar salah satu dari mereka, Mickael Iber, kepada AFP, menambahkan bahwa dia telah ditahan selama 50 bulan menunggu persidangan.

Inkubator Aksi Kekerasan

Ilustrasi Pengadilan
Ilustrasi Pengadilan. (Freepik)

Kepala jaksa menyebut kelompok itu sebagai "inkubator aksi kekerasan" ketika dia menyimpulkan argumennya terhadap 13 terdakwa, yang hampir semuanya tidak memiliki catatan kriminal.

"Ide-ide mereka mungkin tampak eksentrik, tetapi ancamannya nyata," kata kepala jaksa tersebut. "Mereka mirip dengan ekstremis dalam daya tarik mereka untuk kekerasan dan permusuhan mereka terhadap orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh."

Grup ini dibentuk di Facebook pada 2017 setelah beberapa tahun serangan ekstremis mematikan di Prancis, termasuk di majalah Charlie Hebdo dan gedung konser Bataclan di Paris.

"Saya sangat marah, sangat marah sehingga saya mungkin mengatakan itu," kata seorang terdakwa, seorang wanita berusia 55 tahun bernama Natalie C kepada pengadilan ketika ditanya tentang ide yang dia ungkapkan tentang penculikan dan pembakaran muslim.

Dia akhirnya dibebaskan dari tuduhan tersebut.

Pengacara pembela berusaha untuk menggambarkan klien mereka sebagai orang-orang yang terpinggirkan dan sakit hati dari pedesaan Prancis. Semua dari mereka adalah pendukung gerakan anti-pemerintah gilets jaunes (rompi kuning) yang turun ke jalan pada tahun 2018 untuk mengecam Macron.

Gerakan itu, yang muncul secara spontan, memicu keluhan di pedesaan dan kota kecil Prancis tentang biaya hidup dan pajak bahan bakar, serta anggapan arogansi dan penghinaan Macron terhadap orang-orang kelas pekerja.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya