Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim adalah ancaman serius bagi kehidupan manusia dengan perubahan jangka panjang dalam pola cuaca global, seperti peningkatan suhu bumi dan naiknya permukaan air laut. Dampaknya akan luas bahkan terhadap keanekaragaman hayati, ketersediaan air, ketahanan pangan, dan kehidupan manusia secara keseluruhan.
Setidaknya, itulah yang dikhawatirkan oleh Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) dan Green Press Community, dua komunitas yang berkecimpung di dunia jurnalis juga lingkungan. Mereka mencatat bahwa laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) menggarisbawahi perlunya tindakan iklim konkret dan batasan pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius.
Baca Juga
Meskipun perkiraan kenaikan suhu melebihi batas tersebut sepertinya tidak terhindarkan, mereka percaya masih ada harapan untuk membatasi pemanasan dan mengurangi dampaknya dengan tindakan segera dan ambisius dari pemerintah, sektor swasta, masyarakat, dan tentunya, media.
Advertisement
"Dari dulu memang kami berpikir bahwa isu perubahan lingkungan hidup ini mestinya tidak menjadi isu di wilayah jurnalis saja. Ini adalah isu yang dihadapi oleh semua pihak, sehingga (isu) lingkungan hidup juga harus diperluas jaringan kolaborasinya dengan masyarakat umum," sampai Joni Aswira Putra, Ketua Umum SIEJ saat memberikan sambutan di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta Selatan, Rabu (8/11/2023).
Maka dari itu, Joni menginisiasi sebuah kegiatan yang dapat mempertemukan semua pihak untuk berdiskusi terkait dampak perubahan dan pemulihan lingkungan hidup. "Green Press Community menjadi pintu masuk untuk kita memperkuat kolaborasi. Perubahan iklim yang terjadi hari ini sudah sangat menghasilkan dampak yang cukup buruk. Sekarang sudah kita kenal dengan istilah krisis iklim," sambungnya.
Jurnalis Sebagai Kontrol Sosial
Dengan demikian, meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim di kalangan masyarakat menjadikan isu tersebut bagian utama dalam pemberitaan. Diharapkan, jurnalis akan lebih diperkuat melalui keterlibatan masyarakat sipil dalam rangka untuk terus menyuarakan isu lingkungan.
"Selama ini pemberitaan iklim sudah ada kemajuan di redaksi media. Artinya kesadaran itu sudah mulai tumbuh. Kita berharap jurnalis diperbuat dengan basis-basis civil society dan didampingi oleh civil society untuk terus menarasikan isu ini," ujarnya.
Dengan narasi pemberitaan tersebut, Joni yakin bahwa upaya mitigasi dan adaptasi perbaikan lingkungan dapat berjalan dengan baik. Selain itu, Atmaji Sapto Anggoro, seorang anggota dewan pers, mengajak masyarakat untuk merenung tentang tindakan kita yang sering kali tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang dan pasca tindakan yang kita lakukan.
"Kita sering melakukan sesuatu yang kita tidak bisa antisipasi sampai mana efek ini nantinya. Ketika kita kurang energi, kita teriak-teriak butuh energi. Tapi setelah ada, ya terserah," tuturnya.
Di sisi lain, dia mengapresiasi masyarakat yang memiliki semangat untuk menjaga lingkungan, khususnya para jurnalis. Di mana, Atmaji menekankan peran penting jurnalis yang memiliki tanggung jawab untuk menyediakan informasi yang akurat, mendidik masyarakat, memberikan hiburan, dan menjalankan fungsi kontrol sosial.
"Dengan melakukan analisis data besar, Anda bisa mendapatkan data yang akurat untuk bisa mengantisipasi dan memantau untuk mengontrol kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh siapapun, termasuk juga yang dilakukan oleh pemerintah," katanya pada kesempatan yang sama.
Â
Advertisement
3 Pendekatan Urgensi Isu Lingkungan
Sementara itu, Nezar Patria, Wakil Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, menyoroti pentingnya isu lingkungan yang telah lama dianggap sebagai isu sekunder. Tetapi kini menjadi semakin mendesak karena bencana alam yang semakin sering terjadi akibat kerusakan lingkungan.
Nezar menunjukkan, dampak konkret perubahan iklim seperti kenaikan suhu global sebesar 1--2 derajat Celsius adalah yang paling dirasakan oleh generasi muda, khususnya anak-anak usia 10-15 tahun. "Ketahanan kita terhadap perubahan lingkungan sangat rentan, dan kampanye lingkungan, saya kira sangat diperkaryai oleh informasi-informasinya yang berkembang di media," ungkapnya.
Nezar menegaskan perlunya terus meningkatkan pemahaman dan eksposur terkait isu lingkungan. Eksposur itu sendiri, dilahirkan dari menerapkan prinsip-prinsip komunikasi yang tepat agar informasi tentang lingkungan dapat disampaikan dengan baik kepada masyarakat.
"Dengan begitu, upaya untuk menjaga dan memperbaiki lingkungan akan menjadi lebih efektif dan lebih banyak orang akan terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan," pungkasnya.
Kemudian, Nezar memberikan tiga pendekatan kunci yang dapat diambil untuk membuat isu lingkungan menjadi urgensi yang diterima oleh masyarakat secara luas, di antaranya:
1. Bingkai Tanggung Jawab
Pendekatan ini mengarah pada kesadaran tentang tanggung jawab bersama dalam menjaga lingkungan. "Masyarakat, perusahaan, dan pemerintah semuanya memiliki peran dalam pelestarian lingkungan," paparnya.
2. Bingkai Konsekuensi
Bingkai ini sendiri fokus pada konsekuensi dari tindakan kita terhadap lingkungan. Dalam hal ini, penting untuk memahami bahwa kerusakan lingkungan dapat berdampak serius pada kehidupan manusia, ekonomi, dan keberlangsungan planet kita.
3. Bingkai Konflik
Pendekatan ini menyoroti konflik dan ketegangan yang muncul akibat masalah lingkungan.
Strategi Jurnalisme Lingkungan
Selain itu, Nezar juga menguraikan strategi jurnalisme lingkungan yang dapat membantu dalam menyuarakan isu-isu penting tersebut:
1. Mengangkat isu-isu lingkungan yang dekat
Dengan memfokuskan perhatian pada isu-isu yang memiliki dampak langsung atau terasa oleh masyarakat setempat, Nezar menyarankan para jurnalis untuk mengambil strategi ini. Dengan cara ini, jurnalisme dapat membantu masyarakat merasakan urgensi masalah lingkungan yang ada di sekitar mereka.
2. Mengarusutamakan isu-isu lingkungan dalam diskursus publik
Selanjutnya, penting untuk menjadikan perbincangan tentang lingkungan sebagai bagian integral dari diskursus publik. Nezar menjelaskan, isu-isu ini akan terus diperbincangkan dan menjadi perhatian bersama.
3. Menyadari interseksionalitas dampak lingkungan
Isu lingkungan sering kali terkait erat dengan isu-isu sosial, ekonomi, dan politik. Menyadari interseksionalitas dampak lingkungan dapat membantu dalam menyampaikan pesan mengenai bagaimana perubahan lingkungan berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.Â
Nezar juga menyoroti potensi transformasi digital dalam menangani isu lingkungan dengan AI, sebagai contoh:
1. AI mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 20 persen
Teknologi kecerdasan buatan dapat digunakan untuk mengoptimalkan proses-proses industri sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca. "Ini berdasarkan data UN Environment Programme Tahun 2023," katanya.
2. AI mengurangi pemanfaatan sumber daya alam bagi proses produksi sebesar 90 persen
Dengan analisis data yang canggih, AI dapat membantu perusahaan dalam menghemat dan efisien dalam penggunaan sumber daya alam yang terbatas.Â
3. AI dapat mengurangi limbah dan racun yang disebabkan oleh rantai pasok global hingga 10-100 kali
Dengan pemantauan dan pengoptimalan yang terus-menerus, AI dapat membantu mengurangi dampak lingkungan dari rantai pasok global.
Advertisement