Gerak IHSG Bakal Terbatas Imbas Munculnya Omicron, Simak Saham Pilihan Ini

Perkiraan terkait ketidakpastian pemulihan ekonomi setelah penyebaran varian baru COVID-19, omicron membebani pergerakan IHSG selama Desember.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Des 2021, 22:32 WIB
Diterbitkan 12 Des 2021, 22:32 WIB
Perdagangan Awal Pekan IHSG Ditutup di Zona Merah
Pekerja tengah melintas di layar pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (18/11/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada zona merah pada perdagangan saham awal pekan ini IHSG ditutup melemah 5,72 poin atau 0,09 persen ke posisi 6.122,62. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Setelah mencapai level tertingginya di 6.754 pada perdagangan pada November, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,9 persen secara bulanan. Pelemahan ini tidak lepas dari perkembangan COVID-19 varian omicron yang mulai menyebar di berbagai negara sejak akhir November.

Mirae Asset Sekuritas memproyeksikan IHSG bergerak di rentang terbatas. Perkiraan terkait ketidakpastian pemulihan ekonomi setelah penyebaran varian baru COVID-19, omicron membebani pergerakan IHSG selama Desember. Secara teknikal, Mirae Asset memproyeksikan, IHSG bergerak di rentang 6.394-6.687.

Sementara itu, rencana Federal Reserve guna mempercepat penyelesaian tapering atau pengurangan stimulus dan proyeksi penaikan Fed Rate (suku bunga the Fed) juga menjadi katalis negatif bagi IHSG.

"Meskipun demikian, harapan akan terjadinya window dressing di akhir tahun menjadi alasan kami merekomendasikan saham-saham kapitalisasi besar di sektor perbankan, industri, dan infrastruktur," ujar Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina, dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (12/12/2021).

Saham-saham rekomendasi dari Martha untuk Desember  antara lain PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).

Selain itu, PT Astra International Tbk (ASII), PT United Tractors Tbk (UNTR), PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT XL Axiata Tbk (EXCL), dan PT Indosat Tbk (ISAT).

Pilihan tersebut kombinasi saham-saham yang defensif seperti sektor telekomunikasi dan sektor yang sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti perbankan dan industri.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Faktor Makro Ekonomi

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2017  Optimis Capai 5,3 Persen
Pemandangan gedung-gedung bertingkat di Ibukota Jakarta, Sabtu (14/1). Hal tersebut tercermin dari perbaikan harga komoditas di pasar global. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Fundamental makroekonomi domestik masih tetap kuat. Bahkan lembaga pemeringkat global Fitch Ratings kembali mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada peringkat BBB (investment grade) dengan outlook stabil.

Perbaikan permintaan domestik menyebabkan tingkat inflasi Indonesia berada pada posisi relatif stabil dan terkendali. Dengan realisasi inflasi dan inflasi inti per November 2021 menjadi 1,75 persen dan 1,44 persen secara tahunan (YoY). Artinya meningkat  dari 1,66 persen dan 1,33 persen YoY pada Oktober 2021.

Di sisi lain, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada November 2021 berada di level optimistis pada angka 118,5. Menurut Senior Invesment Information Mrae Asset lainnya Nafan Aji Gusta, angka tersebut merefleksikan terjadinya peningkatan aktivitas ekonomi dan penghasilan masyarakat secara signifikan.


Sentimen Domestik

Target Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2018
Pemandangan deretan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, Jumat (29/9). Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani meyakinkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2018 sebesar 5,4 persen tetap realistis. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bank Indonesia mengungkapkan cadangan devisa Indonesia pada November 2021 mencapai USD 145,9 miliar setara Rp 2.094,5 triliun (estimasi kurs Rp 14.357 per dolar AS). 

Pencapaian ini mengindikasikan kenaikkan USD 40 miliar (atau Rp 574,2 triliun) dibandingkan cadangan devisa pada Oktober. Kemajuan cadangan devisa menjadi landasan kuat demi menjaga stabilitas makroekonomi, sistem keuangan, serta mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional secara berkelanjutan.

Pada kuartal III 2021 Indonesia juga berhasil mencatatkan surplus neraca pembayaran sebesar USD 10,69 miliar setara Rp 153,4 triliun. Hal ini dorong meningkatnya permintaan dari negara-negara mitra dagang utama dan kenaikan harga komoditas dunia. Pada kuartal II mengalami defisit sebesar USD 450 juta sebanding Rp 6,4 triliun.

Secara global, pemulihan ekonomi masih berlanjut seiring berkiatan ekspansifnya kinerja PMI Manufaktur Global selama 17 bulan berturut-turut dengan angka indeks 54,1 pada November. Indonesia juga mencatatkan kinerja PMI Manufaktur yang ekspansif yaitu 53,9 poin. Nilai ini sejatinya menyusut dari capaian sebelumnya sebesar 57,2 poin.

Namun, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan kinerja PMI Manufaktur negara-negara anggota ASEAN lainnya. Hal ini menandakan aktivitas perekonomian domestik masih berjalan baik seiring dengan pelonggaran kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).


Harga Komoditas

Sawit
Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh 2019 menyebut terdapat 61 perusahaan kelapa sawit di provinsi itu. Sebanyak 39 diantaranya masih beroperasi, delapan dalam tahap pembangunan, dan 14 lainnya dinyatakan kolaps. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Sementara itu, harga komoditas dunia seperti minyak, gas maupun batu bara mengalami penurunan bersamaan komitmen kuat dari Amerika Serikat, Rusia, maupun China untuk mengurangi pasokan. Pelaku pasar terus mencermati dinamika perkembangan varian Omicron.

World Health Organization (WHO) mengkategorikan sebagai variant of concern (VoC). Beberapa sentimen negatif lainny ayaitu sikap hawkish The Fed terkait kebijakan tapering,  disrupsi rantai pasokan yang memengaruhi kenaikan inflasi global dan dinamika kebijakan pagu utang Amerika Serikat. Langkah tersebut tidak terlepas dari posisi Volatility Index (VIX) sudah berada di atas level 30.

Secara umum, pemulihan ekonomi Indonesia diproyeksikan semakin progresif menyongsong era normalisasi perekonomian global pada 2022.

Kementerian Keuangan memproyeksikan outlook pertumbuhan ekonomi sepanjang 2021 berkisar pada 3,5 - 4,0 persen. Pemerintah, Bank Indonesia dan Badan Anggaran DPR RI menyepakati pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 sebesar 5,2 persen.

 

Reporter: Ayesha Puri

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya