Liputan6.com, Jakarta - Jumlah konsumen Indonesia yang melakukan belanja online tak dimungkiri terus meningkat. Tiga perempat dari konsumen dilaporkan sudah melakukan pembelian secara online.
Akomodasi perjalanan, makanan dan minuman, serta barang elektronik menjadi kategori teratas untuk belanja online di Indonesia.
Namun, peningkatan tersebut ternyata diiringi dengan tingkat penipuan yang mungkin ikut naik.
Advertisement
Baca Juga
Hal ini didasarkan dari temuan Digital Consumer Insights 2018 yang dikumpulkan oleh Experian bersama ICT dengan IDC. Hasilnya, tingkat kenyamanan belanja online dan penipuan saling memengaruhi.
Dengan pertumbuhan platform interaksi dan transaksi yang lebih nyaman, termasuk dari sisi pembayaran dan pengalaman berbelanja, nyatanya membuka peluang untuk penipuan.
Menurut Managing Director Southeast Asia and Emerging Markets Experian Asia Pacific Dev Dhiman, Indonesia merupakan salah satu pasar e-Commerce yang pertumbuhannya paling cepat di dunia.
"Namun, tingkat penipuannya tinggi, dengan rata-rata 25 persen orang Indonesia pernah mengalami tindak penipuan melalui beragam e-Commerce dan layanan," tuturnya dalam keterangan resmi, Kamis (28/6/2018).
Hasil studi mencatat 74 persen responden di Indonesia pernah melakukan belanja online.
Dari responden yang mengaku pernah mengalami penipuan, 35 persen di antaranya juga berpikir untuk mengganti penyedia layanan jasa.
"Sayangnya, semakin tinggi tingkat kenyamanan digital diiringi dengan kemungkinan tindak penipuan. Namun, kami menemukan semakin tinggi kemungkinan penipuan, konsumen juga mengadopsi langkah keamanan yang lebih baik," ujar Dev.
Salah satu yang dilakukan dengan memanfaatkan sistem keamanan biometrik. 11 persen dari responden Indonesia terindikasi bersedia mengadopsi sistem biometrik (sidik jari atau pengenal wajah) dalam aplikasi.
Indonesia sendiri menduduki peringkat kelima dalam hal adopsi sistem biometrik di Indonesia. Sementara negara lain yang juga mengadopsi sistem ini adalah India, Tiongkok, Vietnam, dan Thailand.
Â
Perusahaan Harus Kenali Konsumen
Penelitian ini juga menemukan bahwa ada kesalahan dalam penanganan menanggapi tindak penipuan menghasilkan dua tipe kerugian perusahaan. Hal ini didasarkan pada sikap dan persepsi konsumen.
Hasil laporan mengidentifikasi ada dua kelompok konsumen, yakni Digital Voyagers dan Digital Pragmatists.
Adapun Digital Voyagers mendominasi negara ekonomi berkembang dan lebih mengutamakan keamanan.
Sementara Digital Pragmatists merupakan negara yang cenderung berasal dari perekonomian lebih matang, sehingga lebih berhati-hati dan peduli mengenai tingkat keamanan.
"Mengetahui perbedaan antara Digital Voyagers dan Digital Pragmatists penting untuk perusahaan karena mereka menanggapi tindak penipuan dengan cara berbeda-beda," tuturnya.
Untuk itu, perusahaan harus memiliki informasi berkualitas tinggi tentang konsumen sehingga dapat memverifikasi transaksi dengan baik.
Studi menunjukkan 45 persen responden setuju membagikan data pribadinya pada perusahaan untuk keperluan ini.
Kendati demikian, konsumen juga selektif dalam membagikan informasinya pada perusahaan.
Masih ada 4,5 persen responden mengatakan sudah memberikan informasi tidak akurat untuk menghindari pengungkapan data pribadi.
Sekadar informasi, laporan ini berdasarkan survei yang dilakukan di sepuluh pasar Asia Pasifik, termasuk Australia, Tiongkok, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Selandia Baru, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Laporan ini ingin melihat cara perusahaan membiayai dan mengatasi tindak penipuan, melalui sudut pandang konsumen. Selain itu, laporan ini juga dijadikan sebagai pelengkap laporan Fraud Management Insights 2017.
(Dam/Jek)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement