Bos Kadin: Ekonomi Melambat Picu Terjadi Banyak PHK

Ketua Kadin, Suryo Bambang Sulisto mengatakan, pemutusan hubungan kerja hampir terjadi di setiap sektor usaha lantaran penjualan turun.

oleh Septian Deny diperbarui 07 Jul 2015, 10:45 WIB
Diterbitkan 07 Jul 2015, 10:45 WIB
Catatan Awal Tahun Kadin
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryo Bambang Sulisto memberikan keterangan tentang catatan awal tahun dan perkiraan ekonomi 2015 di Menara Kadin Jakarta, Kamis (22/1). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)

Liputan6.com, Jakarta - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melaporkan akibat kondisi ekonomi yang belum membaik sejak awal tahun, banyak perusahaan yang terpaksa merumahkan para pekerjanya.

Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto mengatakan, keputusan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diambil perusahaan-perusahaan di dalam negeri ini terjadi hampir di setiap sektor usaha.

"Banyak dan sudah dilaporkan ke Kadin. Terjadi hampir di semua sektor terjadi. Ini karena penurunan penjualan (dari perusahaan)," ujar Suryo di Jakarta, seperti ditulis Selasa (7/7/2015).

Selain tingkat penjualan turun sehingga berdampak pada pendapatan perusahaan, PHK ini juga disebabkan oleh belanja pemerintah yang terlambat sejak awal 2015.

"Ini semua juga akibat pemerintah lambat menggelontorkan belanja negara. Kalau kita lihat dibanding tahun lalu, sekarang baru 50 persen," lanjutnya.

Jalan keluar agar PHK ini tidak terus berlanjut, kata Suryo, pemerintah harus menggenjot belanjanya. Dengan demikian ada banyak proyek-proyek yang bisa dikerjakan sehingga mendorong adanya aktivitas ekonomi.

"Solusinya, percepat belanja pemerintah. Ini dipercepat supaya ada uang yang beredar sehingga daya beli naik," kata Suryo.

Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro memprediksi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen hingga akhir 2015. Pada semester II 2015, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,5 persen.

Sebelumnya Bambang telah merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kisaran 5,5 persen-6 persen pada 2016. Level tersebut turun dari asumsi sebelumnya yang dipatok 5,8 persen-6,2 persen.

"Itu terjadi karena tahun ini dan tahun depan adalah periode ketidakpastian yang sangat mudah berubah kondisinya," kata Bambang.

Ia mengatakan, ketidakpastian ini datang bukan saja dari isu kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve, tapi juga pemerintah perlu memperhatikan kondisi Yunani yang terancam gagal bayar utang. "Kalau skema (Yunani) berantakan akan mempengaruhi stabilitas pasar keuangan dunia," kata Bambang. (Dny/Ahm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya