China Larang Perusahaan Asing Publikasikan Konten Online

Konten yang dilarang disebarluaskan dalam jaringan termasuk teks, peta, game, animasi, audio dan video. Apa dampaknya?

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 20 Feb 2016, 20:39 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2016, 20:39 WIB
Pengguna internet di China
Pengguna internet di China (AFP)

Liputan6.com, Beijing - Pemerintah China mengeluarkan aturan baru yang melarang perusahaan asing dan afiliasinya mempublikasikan konten online tanpa restu pihak berwenang. 

"Perusahaan asing atau perusahaan patungan China dan asing tidak boleh terlibat dalam layanan penerbitan online," demikian isi aturan tersebut, seperti dikutip dari situs Quartz, Sabtu (20/2/2016).

Konten yang dilarang disebarluaskan dalam jaringan termasuk teks, peta, game, animasi, audio dan video.

Aturan yang diberlakukan mulai 10 Maret 2016 itu diumumkan dua lembaga sekaligus, yakni Badan Pemerintah untuk Pers, Publikasi, Radio, Film dan Televisi (SARFT) bersama dengan Kementerian Industri dan Teknologi Informasi.

Peraturan tersebut juga berlaku untuk buku digital, karya seni, literatur sastra dan sains.

Perusahaan penyedia konten, dalam aturan itu, juga diwajibkan menyimpan peralatan teknis, server terkait, dan perangkat penyimpanan di China.

"Unit layanan publikasi online perlu mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari SARFT jika ingin bekerja sama dalam sebuah proyek dengan perusahaan asing, joint venture, atau individu."

Sejumlah perusahaan media asing seperti Thomson Reuters, Dow Jones, Bloomberg, Financial Times, dan New York Times telah mengeluarkan dana jutaan dolar untuk membangun cabang organisasinya di China dalam beberapa tahun terakhir, yang berfungsi untuk mempublikasikan berita dalam Bahasa China untuk warga Tiongkok. 

Sementara, perusahaan game termasuk Sony PlayStation dan Microsoft Xbox sudah memasuki pasar China dengan pencapaian beragam. Raksasa media sosial seperti Facebook masih berupaya keras bisa masuk ke Tiongkok -- yang memiliki populasi pengguna internet terbesar di dunia yang mencapai 700 juta orang.

Aturan baru secara spesifik menyebut bahwa selain proyek yang disetujui pemerintah, hanya perusahaan 100 persen milik China yang bisa menjadi penyedia konten di dunia maya.

Sejumlah pihak mempertanyakan keefektifan aturan baru tersebut, salah satunya, Ying Chan, direktur program jurnalisme di University of Hong Kong.

"Menggunakan aturan ala media cetak untuk internet tak akan mempan," kata dia. "Bagaimana bisa menerapkan aturan pada era ketika semua orang bisa menjadi penulis dan penerbit? Dengan serangkaian regulasi tersebut, pemerintah sedang menghadapi dua kekuatan sekaligus, pasar dan teknologi," kata dia.

Aturan Paling Ketat di Dunia

 Ilustrasi sensor internet di China (Reuters)

Sebelumnya, China sudah menerapkan kebijakan paling ketat di dunia terkait penyebaran informasi.

Televisi dan media disensor. Pemerintah juga melakukan sensor dan pengawasan ketat terhadap platform media sosial seperti WeChat. Tak hanya itu, sejumlah produk internet Amerika Serikat seperti Google, Facebook, YouTube, dan Twitter diblokir.

Pengamat hukum berpendapat, aturan yang baru bertujuan membatasi konten apa pun yang dianggap sebagai ancaman bagi Partai Komunis atau terhadap stabilitas sosial.

"Ini merupakan serangkaian serangkaian perubahan hukum yang berusaha untuk membatasi pengaruh ide-ide asing atau Barat," kata Jacques Delisle, pengajar di University of Pennsylvania. "Itu juga merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk melakukan kontrol terhadap internet dan media baru (new media)."

Para ahli hukum berpendapat, aturan yang diumumkan pekan ini menjadi tantangan bagi berbagai perusahaan multinasional asing yang beroperasi di China, karena banyak dari mereka bertindak sebagai distributor konten atau layanan online.

Salah satu pertanyaan besar adalah soal dampak peraturan tersebut terhadap perusahaan seperti Apple dan Microsoft, yang menjalankan platform online di China yang menyediakan layanan dan -- meski tak banyak -- juga menyebarkan konten.

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya