Liputan6.com, Anateem - Wanita bisa menghabiskan uang hingga jutaan rupiah hanya untuk biaya perawatan kulit. Tak bisa dipungkiri bahwa kehalusan kulit menjadi idaman bagi sebagian besar wanita di muka Bumi ini.
Produk kecantikan kulit yang mengandung shea butter, ekstrak lemak alami dari pohon Shea -- yang kerap kali ditemukan di negara-negara benua Afrika-- merupakan salah satu yang digemari di kalangan wanita.
Baca Juga
Baca Juga
Uang dengan jumlah tak sedikit pun kerap digelontorkan untuk memiliki produk kecantikan dengan kandungan penting yang satu ini. Namun di balik sikap konsumtif itu, ternyata ada kisah haru dari para pembuatnya.
Advertisement
Adalah sekumpulan wanita yang sudah menjanda yang menjadi petani di sebuah pertanian Ghana Utara, sosok-sosok di balik pembuatan pelembab kulit yang mengandung shea butter itu.
Mereka membutuhkan waktu 5 hari untuk penyempurnaan proses pembuatan ekstrak shea butter. Mulai dari memetik, menghancurkan, memanggang, menggiling dan memasak, sebelum dijual di pasar.
Sukacita dan Derita Rebecca Atornyege
Salah seorang janda usia 65 tahun penghasil shea butter, Rebecca Atornyege mengatakan bahwa ia biasanya mendapatkan sekitar US$2 atau sekitar Rp 28 ribu, untuk setiap pelembab yang terjual. Jauh lebih kecil keuntungannya dibandingkan perusahaan-perusahaan besar, yang mampu meraup 3 kali lebih besar dari setiap produk.
Â
Rebecca menceritakan bahwa sejak menjanda ia menjadi tulang punggung keluarga, sehingga harus menyokong segala kebutuhan. Menjadi petani dan pembuat shea butter beserta upaya untuk penjualan di pasar sudah menjadi mata pencahariannya.
Produksi shea butter, katanya, sudah menjadi kegiatan untuk bahan perdagangan utama di Anateem, Ghana. Tradisi ini sudah turun dari setiap generasi ke generasi berikutnya.
"Ibu kami mengajarkan semua cara pembuatannya. Waktu kecil, kami sering melihat ibu kami pergi memetik kacang dari pohon Shea dan membuatnya menjadi pelembab di rumah," kata Rebecca kepada BBC.
Ia lalu menceritakan bahwa untuk menghafal prosesnya, anak-anak perempuan diajarkan melalui sebuah lagu yang berisikan lirik cara pembuatannya.
"Akan lebih mudah bagi yang masih muda untuk mengingat," jelasnya.
Meskipun sudah turun temurun, Rebecca mengatakan bahwa ia tidak ingin cucunya mengikuti jejak yang sudah menjadi tradisi ini.
"Hasil penjualan shea butter aku gunakan untuk membiayai sekolahnya dan membelikannya buku. Saya ingin sekali cucuku sukses, berprofesi sebagai dokter atau perawat di rumah sakit,"Â ungkapnya.
"Aku tidak mau dia merasakan kesengsaraan sepertiku," tambahnya.
Rebecca merupakan pencetus ide pengumpulan para janda pengolah shea butter. Ia berhasil mengumpulkan 8 orang dalam kelompoknya.
Â
Kemiskinan Merajalela
Seperti yang diberitakan oleh Yen Corp Ghana, sekitar 3 juta wanita penduduk Ghana berpenghasilan minim dari penjualan produk pelembab kulit ini.
Shea butter sudah menjadi mata pencaharian utama para wanita di negara ini karena mereka tidak bisa mengandalkan keuntungan dari tanaman lain yang tidak sanggup bertahan di bawah matahari terik saat musim kemarau.
Walaupun permintaan shea butter kian meningkat belakangan ini, tetap tidak mengubah fakta bahwa para petani janda harus hidup di bawah garis kemiskinan.
Ironisnya, perusahaan-perusahaan besar yang mana hanya mendistribusikannya ke semua belahan dunia dan tidak harus repot melalui proses pembuatannya seperti Rebecca dan 3 juta wanita Ghana lainnya, justru mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Advertisement