Kunjungi Beijing, Duterte Hindari Topik Laut China Selatan

Kedatangan Duterte dilakukan tak lama setelah mengatakan bahwa Filipina bersedia melakukan latihan militer dengan China dan Rusia.

oleh Citra Dewi diperbarui 19 Okt 2016, 11:16 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2016, 11:16 WIB
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte (Reuters)

Liputan6.com, Beijing - Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah tiba di Beijing dan memulai kunjungan empat harinya untuk berdialog dan meningkatkan diplomasi antara kedua negara.

Dalam kunjungan tersebut, Duterte juga membawa serta ratusan pengusaha dan diperkirakan akan ada kesepakatan bernilai miliaran dolar yang akan dihasilkan.

Tak lama setelah tiba di Beijing, Duterte menekankan bahwa dirinya tak akan membahas soal sengketa Laut China Selatan, meskipun hal tersebut menjadi sumber utama ketegangan antara kedua negara.

Seperti dikutip dari News.com.au, Rabu (19/10/2016), kedatangan Duterte dilakukan tak lama setelah ia secara terbuka mengatakan bahwa Filipina bersedia mengadakan latihan militer bersama dengan China dan Rusia.

Dalam wawancara yang dilakukan baru-baru ini dengan Xinhua, Duterte menekankan bahwa dirinya lebih menyukai negosiasi dibanding konfrontasi.

"Lebih baik berbicara dibanding perang. Kami ingin berbicara tentang persahabatan, kerja sama, dan yang paling penting, kita ingin berbicara soal bisnis. Perang tak akan membawa kita ke mana pun," ujar mantan wali kota Davao itu.

Ia juga menjelaskan bahwa dirinya menentang negara lain untuk ikut campur dalam wilayah yang disengketakan.

"Kami tak tertarik untuk mengizinkan negara lain ikut berbicara. Aku hanya ingin berbicara dengan China,"

"Apa yang ingin saya lakukan adalah berbincang dan mendapat jabat tangan erat dari pemerintah dan berkata bahwa kami adalah warga Filipina dan kami siap untuk bekerja sama dengan Anda, untuk membantu kami dalam membangun ekonomi dan negara,"

Sementara itu surat kabar China The Global Times telah menerbitkan sebuah editorial yang mendesak Beijing untuk menerima rekonsiliasi dari Duterte.

"Kami meminta China untuk menangkap peluang strategis yang dibawa oleh pemerintahan Duterte," tulis editorial tersebut.

"Lebih efektif untuk menyelesaikan sengketa dengan cara bersahabat, dibanding dengan konfrontasi. China harus memperjelas hal ini agar mendapat lebih banyak mendapat rasa hormat di dunia," imbuh editorial itu.

Duterte Berpaling dari AS?

Pada September 2016, Social Weather Survey (SWS) mempelajari tingkat rasa percaya warga Filipina kepada tujuh negara, termasuk AS dan China.

Berdasarkan survei tersebut, AS berada di tingkat teratas dengan skor +66 yang disebut SWS sebagai sebagai "Sangat Baik". Australia berada di peringkat kedua (+47) diikuti oleh Jepang (+34).

Sementara itu China berada di peringkat terbawah dari tujuh negara, dengan skor -33 dan disebut "Buruk" oleh SWS.

Namun dilihat dari sikap Duterte, sepertinya ia tidak mencerminkan sentimen penduduk Filipina kepada China.

Sebulan yang lalu, Duterte memerintahkan seluruh Pasukan Khusus AS untuk hengkang dari pulau selatan Mindanao, di mana mereka telah bergabung dengan militer negara itu dalam perang melawan kelompok ekstremis.

Duterte mengatakan, kehadiran Amerika di wilayah tersebut hanya memperburuk situasi. "Selama kita masih bersama dengan Amerika, kita tak akan pernah memperoleh kedamaian," ujar dia.

Ia juga meminta agar patroli yang dilakukan AS-Filipina di Laut China Selatan dihentikan, dan menginginkan agar negara yang dipimpinnya dapat menjauh dari AS dan dapat berdiri sendiri.

Dalam waktu bersamaan, pria yang akrab disapa Digong itu mempertimbangkan untuk membeli senjata dan peralatan militer dari dua negara. Ia menyebut dirinya ingin membeli senjata dengan harga murah, 'tanpa pamrih, dan transparan'.

Sejumlah pihak meyakini, bahwa dua negara yang dimaksud adalah Rusia dan China, yakni negara yang sering berseberangan dengan AS.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya