Liputan6.com, Washington, DC - Informasi intelijen rahasia yang dibocorkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada Rusia diduga kuat bersumber dari Israel, seperti yang dibeberkan oleh seorang informan Gedung Putih kepada media pada Rabu, 17 Mei 2017.
Kabar ini diprediksi akan merumitkan hubungan antara AS, Rusia, dan Israel.
Baca Juga
Peristiwa itu pun menimbulkan tanda tanya besar mengenai cara Gedung Putih mengelola informasi intelijen sensitif dan bersifat rahasia, seperti yang diwartakan oleh The New York Times, Rabu, (17/5/2017).
Advertisement
Israel merupakan salah satu sekutu terdekat Negeri Paman Sam yang sangat intensif melakukan aktivitas intelijen dan spionase di Timur Tengah. Kedua negara juga kerap melakukan pertukaran informasi intelijen.
Kini diduga kuat bahwa sejumlah informasi intelijen AS yang bersumber dari Israel dibocorkan oleh Presiden Trump saat dirinya menjamu Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Duta Besar Rusia untuk Negeri Paman Sam Sergey Kislyak di Gedung Putih pada 10 Mei 2017.
Informasi yang dibocorkan berupa keterangan soal isu terorisme, ISIS, Suriah, keamanan penerbangan, dan juga isu kemanusiaan.
Sejumlah kantor berita kini memprediksi bahwa hubungan AS dan Israel akan merenggang setelah kabar tersebut beredar. Ditambah lagi, terbuka kemungkinan bahwa Rusia akan membeberkan informasi yang diterima dari Presiden Trump kepada Iran, negara yang menjadi seteru utama Israel di Timur Tengah.
Selain itu, The New York Times juga memprediksi bahwa pihak Israel akan memilih untuk tidak memberikan keterangan seputar peristiwa tersebut.
Akan tetapi, Duta Besar Israel untuk AS menyatakan bahwa hubungan kedua bilateral Washington dan Tel Aviv akan tetap solid.
"Kami percaya hubungn dengan AS, termasuk dalam bidang pertukaran informasi intelijen, tetap akan mumpuni untuk tahun-tahun ke depan," ujar Ron Dermer, Duta Besar Israel untuk AS kepada The New York Times melalui surat elektronik.
Pada 16 Mei 2017, Presiden Trump menyatakan sebuah respons pribadi atas dugaan peristiwa pembocoran informasi di Oval Office, ruang kerja kepresidenan di Gedung Putih, saat sang presiden menjamu Sergey Lavrov dan Sergey Kislyak, Rabu, 10 Mei 2017.
"Sebagai presiden, saya dapat dan ingin berbagi informasi dengan Rusia (dalam sebuah pertemuan terbuka rutin di Gedung Putih). Dan saya memiliki hak mutlak untuk melakukannya, seperti informasi tentang isu terorisme dan keamanan penerbangan, juga isu kemanusiaan," kata Trump dalam akun Twitter-nya, seperti yang dikutip dari CNN, Selasa, 16 Mei 2017.
Memang, pada saat dugaan pembocoran informasi itu terjadi, sang presiden tidak menyebut lembaga intelijen maupun Israel sebagai sumber utama info.
Akan tetapi, sejumlah analis intelijen menilai bahwa Rusia memiliki kapabilitas untuk mengetahui dengan mudah sumber informasi tersebut dengan menggunakan keterangan yang dibeberkan oleh Presiden Trump.
"Saat itu, (Trump) tidak menyebut soal sumber lembaga intelijen dan metode yang digunakan untuk memperoleh informasi tersebut. Bahkan ia tidak menyebut operasi militer apa yang hingga saat ini publik masih belum ketahui. Aku di ruangan itu, dan (pembocoran informasi) itu tidak terjadi," sangkal penasehat keamanan nasional Gedung Putih, HR McMaster.
Skandal tersebut juga menjadi noktah hitam jelang kunjungan kenegaraan Presiden Trump ke luar negeri.
Pada awal kunjungannya, sang presiden ke-45 Amerika Serikat itu akan singgah pertama kali di Arab Saudi pada 19 Mei 2017 dan kemudian Israel pada 22 - 23 Mei 2017, seperti yang dikutip oleh The Los Angeles Times, Selasa, 16 Mei 2017.
Saksikan juga video berikut ini: