Liputan6.com, Vatikan City - Setelah bertemu dengan para pemimpin muslim di Arab Saudi dan mengunjungi Israel serta Palestina, Presiden Donald Trump kini mendarat di Roma, Italia. Salah satu agenda utamanya di sana adalah bertemu dengan Paus Fransiskus di Istana Apostolik. Pertemuan dua tokoh terjadi pada Rabu 24 Mei 2017.Â
"Ini merupakan pertemuan yang dinantikan jutaan orang, sebuah pertemuan antara dua karakter yang paling menarik dan kompleks di dunia: orang suci dalam balutan busana putih yang membawa kabar baik kepada warga miskin dan pengusaha kasar dalam setelan gelap yang menjelmakan pemborosan Amerika," tulis CNN mengomentari pertemuan Trump dan Paus Fransiskus yang Liputan6.com kutip pada Rabu (24/5/2017).
Baca Juga
Pendeta Antonio Spadaro, orang dekat Paus Fransiskus yang juga editor jurnal Civilta Cattolica mengatakan, "Ini merupakan sebuah pertemuan tanpa 'tembok'."
Advertisement
Mungkin saja alasan Spadaro menyinggung tembok karena itu merupakan subjek perseteruan Trump dan Paus Fransiskus. Salah satu kebijakan kontroversial Trump adalah membangun tembok perbatasan antara AS-Meksiko.
Trump menilai, Meksiko terlalu banyak mengambil keuntungan dari AS. Di samping itu ia tegaskan, tembok dibangun untuk mencegah masuknya imigran gelap dan penyelundup narkoba.
Tidak lama setelah merayakan misa di perbatasan Meksiko tahun lalu, Paus Fransiskus mengatakan, bahwa orang-orang yang berpikir untuk mendirikan tembok alih-alih jembatan bukanlah umat Kristen.
Pernyataan tersebut ditanggapi Trump. Ia menyebut komentar Paus Fransiskus memalukan. Tak cukup sampai di situ, presiden AS itu juga melabeli Fransiskus sebagai pion pemerintah Meksiko.
Belakangan, pihak Vatikan menjelaskan bahwa pernyataan Paus Fransiskus bukanlah serangan pribadi. Sementara Trump menegaskan, ia tidak suka bertengkar dengan pemimpin tertinggi umat Katolik tersebut.
Meski demikian, Paus Fransiskus tetap mengutuk retorika politik Trump walaupun ia tidak pernah menyinggung nama ayah lima anak tersebut. Satu hari sebelum pemungutan suara pilpres AS, Paus Fransiskus sempat mengingatkan umat Kristen untuk tidak tergoda oleh "keamanan fisik palsu atau tembok sosial."
"Saudara-saudaraku terkasih, seluruh tembok runtuh. Seluruhnya. Jangan tertipu," kata Paus Fransiskus saat itu.
Setelah pemilu, sejumlah orang yang dekat dengan Fransiskus juga mengambil sikap serupa: menentang Trump. Kardinal Joseph Tobin dari New Jersey dan Uskup Daniel Flores di Texas merupakan orang-orang yang menyuarakan kekhawatiran terkait kebijakan pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.
"Warga di sini, melihat sosok Paus sebagai seseorang yang membela integritas identitas imigran. Mereka berharap, saat (Paus) bertemu presiden, akan ada kemajuan dalam pemahaman, terutama dalam upaya menghentikan dehumanisasi populasi imigran," ungkap Uskup Flores.
Dalam sebuah konferensi pers baru-baru ini, Paus Fransiskus memperjelas sikapnya soal Trump. Ia sampaikan tidak akan menghakimi suami Melania tersebut hingga mereka bertatap muka atau Trump mengubah kebijakannya.
Sementara itu, Trump, dalam pidato mingguannya pada Jumat lalu mengungkapkan, ia berharap dalam pertemuannya dengan Paus Fransiskus ia dapat berdiskusi tentang bagaimana ajaran Kristen dapat membantu membawa dunia menuju "keadilan, kebebasan, dan kedamaian."
Sama seperti lawatannya ke Timur Tengah, dalam kunjungannya ke Eropa, Trump juga didampingi sang istri, Melania, putri kesayangannya Ivanka, dan menantu sekaligus penasihat seniornya Jared Kushner. Turut serta beserta Menteri Luar Negeri Rex Tillerson.
"Paus tidak tersenyum saat menyapa Trump. Bapak Trump yang tampak tenang mengatakan, 'ini merupakan sebuah kehormatan'," demikian laporan pertemuan Trump dan Fransiskus seperti Liputan6.com kutip dari Telegraph.
Trump Keliru?
Massimo Faggioli, profesor sejarah Katolik di Villanova University menilai Trump keliru mengartikan pertemuan antara Paus dan seorang politisi.
Takhta Suci Vatikan, selain merupakan "rumah" spiritual bagi umat Katolik dunia juga merupakan sebuah negara berdaulat. Vatikan menempatkan diplomatnya di seluruh dunia, termasuk di Negeri Paman Sam.
"Ketika Paus berbicara dengan kepala negara, mereka tidak membahas tentang agama. Mereka bicara tentang isu global, seperti perdagangan manusia, krisis pengungsi, dan lingkungan," jelas Faggioli seperti dilansir CNN.
Terlepas dari konfrontasi Trump dan Fransiskus, menurut Faggioli keduanya memiliki sejumlah persamaan. Bisnis Trump sempat diguncang kebangkrutan sebelum akhirnya ia menjadi miliarder, sementara Francis sempat diasingkan komunitas Yesuit sebelum akhirnya ia terbebas setelah diangkat menjadi uskup.
Trump adalah presiden AS pertama tanpa pengalaman politik atau militer, sementara Fransiskus adalah keturunan Amerika Latin pertama yang ditahbiskan menjadi paus.
"Mereka berdua orang 'luar', keduanya selamat dari tantangan besar," terang Faggioli.
Trump dan Paus Fransiskus tercatat memiliki perbedaan kebijakan yang cukup mencolok di sejumlah isu. Pertama soal perubahan iklim dan lingkungan. Jika Paus Fransiskus menyerukan tindakan bersama untuk menghentikan pemanasan global dan mencegah penggunaan bahan bakar fosil maka Trump mengancam akan menarik AS dari kesepakatan Paris 2015.
Kesepakatan tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Lantas pada Maret lalu, Trump menandatangani perintah eksekutif yang "membongkar" peraturan tentang lingkungan yang diberlakukan di bawah pemerintahan Barack Obama.
Isu kedua yang mempertajam perbedaan sikap keduanya adalah soal pengungsi dan imigran. Paus Fransiskus telah berulang kali menunjukkan belas kasihnya terhadap para imigran mengingat ia sendiri merupakan imigran Italia yang bermigrasi ke Argentina.
Sebaliknya, Trump jelas-jelas melarang pengungsi dari sejumlah negara muslim masuk ke AS. Dan ia juga ingin membangun tembok di sepanjang perbatasan Meksiko.
Advertisement