Liputan6.com, London - Jumat 13 September 1940, sekitar pukul 11.00, sebuah pesawat bomber Luftwaffe muncul dari balik awan yang menggantung rendah di langit Inggris. Jet tempur milik Nazi itu mengarah ke Istana Buckingham, di mana Raja Britania Raya, George VI berada.
Lima 'bom tongkat' berdaya ledak tinggi dijatuhkan ke istana, dua di antaranya meledak di taman dalam, yang ketiga jatuh di Royal Chapel atau kapel kerajaan di Sayap Selatan, dan dua lainnya mendarat di halaman depan serta di jalan antara gerbang istana dan Victoria Memorial.
Advertisement
Baca Juga
Ledakan di halaman dalam memecahkan sebuah saluran air dan menghempaskan sebagian besar jendela di sisi selatan dan barat. Bagian dalam Royal Chapel hancur. Empat pekerja terluka, satu di antaranya dinyatakan meninggal dunia.
Beberapa potret yang terpajang di koridor istana rusak. Karpet merah yang mewah dan tebal tertutup debu. Raja George VI dan istrinya, Ratu Elizabeth ada di istana saat itu. Sedang minum teh. Mereka nyaris saja tewas. Namun, nasib baik masih berpihak, keduanya berhasil lolos tanpa cedera.
"Kami mendengar deru pesawat Jerman. Kami berkata, 'ah, Jerman'. Sebelum ada yang sempat bicara, jet itu dipacu dengan kecepatan tinggi, dan kemudian terdengar desingan bom," demikian diungkap Ratu Elizabeth yang kemudian menjadi ibu suri kerajaan Inggris dalam biografinya, seperti dikutip dari The Telegraph, Selasa (12/9/2018).
Insiden tersebut terjadi dengan cepat. Mereka yang ada dalam istana hanya bisa saling berpandangan ketika desingan bom terdengar diikuti ledakan dahsyat di taman dalam istana.
"Saya melihat kepulan asap dan tanah terlempar ke udara, kami semua menunduk ketika kilatan cahaya memasuki koridor," tambah Lady Elizabeth Bowes-LyonLedakan kembali terjadi.
Raja, ratu, dan dua pelayan berada di sebuah koridor, jauh dari tangga dan jendela, menghindar dari lontaran pecahan kaca.
"Kemudian, terdengar teriakan meminta 'perban'. Petugas pertolongan pertama bertindak luar biasa pada saat itu, merawat tiga korban dengan tenang dan tepat. Saya tidak tahu apakah mereka selamat."
Salah satu dari tiga korban, Alfred Davies belakangan meninggal dunia akibat luka-luka yang ia derita. Raja dan ratu memutuskan untuk merahasiakan apa yang terjadi saat itu, bahkan dari Winston Churchill sekalipun, khawatir sang perdana menteri akan meminta mereka pindah dari London bahkan lari ke luar negeri.
Belakangan, Churchill menulis, "Seandainya jendela ditutup dan tidak terbuka, seluruh kaca akan hancur dan pecahannya mengenai wajah raja dan ratu, memicu cedera parah. Sangat sedikit yang mereka ungkapkan sehingga bahkan saya...tak pernah menyadari dalam waktu lama apa yang sebenarnya terjadi."
Beberapa jam kemudian, setelah makan siang di bunker serangan udara, Raja George dan istrinya mengunjungi West Ham di East Ham, London.
"Saya merasa seperti berjalan di kota mati...semua penghuni dievakuasi. Namun, dari jendela yang rusak, bisa dilihat harta benda mereka yang tersisa, foto dalam bingkai, tempat tidur, dalam kondisi ketika ditinggalkan," tulis sang ratu.
Sebelumnya keluarga kerajaan menolak saran Kementerian Luar Negeri untuk lari dari Inggris.
"Anak-anak tak akan pergi tanpa aku. Aku akan pergi tanpa ayah mereka. Dan, raja tak akan meninggalkan negara ini dengan alasan apapun," kata ratu Inggris itu.
Â
Saksikan video tentang Inggris berikut ini:Â
Jabat Tangan Pemimpin Israel dan Palestina
Tak hanya bom di Istana Buckingham, sejumlah kejadian bersejarah terjadi pada 13 September. Pada 1993, untuk kali pertama di depan publik, pemimpin Israel dan Palestina berjabat tangan.
Kala itu, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Presiden Palestina Yasser Arafat bertemu dan sepakat berdamai di Washington DC, Amerika Serikat.
Seperti dimuat laman BBC on This Day, dalam kesepakatan damai yang dimediasi Presiden Amerika Serikat Bill Clinton ini, Israel sepakat untuk menarik pasukannya dari Perbatasan Gaza dan Tepi Barat mulai April 1994.
Selain itu, Negeri Zionis juga setuju menghentikan pendudukan di Tanah Palestina, di mana penarikan pendudukan koloninya akan berlangsung sejak perjanjian hingga Februari 1999.
Pada momen langka tersebut, Clinton berpidato memperkenalkan Rabin dan Arafat secara khusus kepada khalayak di Gedung Putih dan menyerukan perdamaian. Hadir pula mantan Presiden Jimmy Carter dan George HW Bush yang juga mendukung perdamaian kedua negara.
"Kesepakatan damai ini merupakan langkah yang berani, dan merupakan sesuatu yang selama ini kita impikan," ujar Clinton di hadapan Rabin dan Arafat.
"Ini bisa dibilang sebuah keajaiban yang luar biasa. Kami tahu betul betapa sulitnya bagi kedua pihak untuk berdamai. Sebab ada saja ganjalan-ganjalan yang menerpa sebelumnya," imbuh dia.
Sementara itu, pada 1923, kudeta militer terjadi di Spanyol yang memberi jalan bagi Miguel Primo de Rivera untuk menjadi diktator. Lalu pada 1939, Kanada memasuki Perang Dunia II.
Advertisement