Presiden Erdogan: Vladimir Putin Ingin Akhiri Perang di Ukraina

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberikan kabar terbaru tentang invasi Rusia.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 20 Sep 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 20 Sep 2022, 18:00 WIB
Angkat Bicara, Pejabat Dunia Kecam Kebijakan Trump Soal Yerusalem
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. (Yasin Bulbul / Pool via AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memberikan kabar terbaru dari Presiden Rusia Vladimir Putin. Kedua pemimpin baru-baru ini bertemu di Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Samarkand, Uzbekistan.

Pada wawancara bersama PBS, Presiden Erdogan mengakui bahwa situasi terbilang bermasalah. Namun, ia menyebut Presiden Putin ingin mengakhiri perang.

"Di Uzbekistan, saya bertemu dengan Presiden Putin kami berdiskusi panjang dengannya," ujar Presiden Recep Tayyip Erdogan seperti dilansir media pemerintah Rusia, TASS, Selasa (20/9/2022).

"Ia (Presiden Putin) ingin mengakhiri ini secepat mungkin," ucap Presiden Erdogan.

Lebih lanjut, Presiden Erdogan berkata langkah signifikan akan diambil ke depannya.

"Apa yang kita inginkan adalah pertempuran ini berakhir dengan damai," jelas Presiden Erdogan. Saat ini, Presiden Erdogan berada di Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Umum PBB 2022.

Rusia dan Ukraina sama-sama mitra dagang penting bagi Turki. Tak heran jika ekonomi Turki ikut terdampak invasi Rusia. Sejak perang dimulai pada Februari 2022, Presiden Erdogan berkali-kali mendorong adanya negosiasi antara kedua negara. 

Pada Juli 2022, Presiden Erdogan juga membantu memuluskan perjanjian tentang pengiriman gandum Ukraina. Perjanjian itu melibatkan PBB sebagai penengah antara Ukraina dan Rusia. 

Pada September 2022, pasukan Ukraina mulai merebut wilayah-wilayah yang sempat diduduki Rusia, seperti Izyum. Namun, kuburan massal ditemukan di kota tersebut. 

BBC menyebut ada ratusan makam yang ditemukan di Izyum usai kota itu dibebaskan dari cengkeraman Rusia. Kuburan itu tak bernama, namun diberikan salib kayu. Otoritas Ukraina memperkirakan ada 400 jenazah di kuburan massal Izyum.

Tentara Rusia Kabur Tinggalkan Tank di Izyum, Kini Jadi Tempat Selfie

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. (Foto: Dok. Instagram terverifikasi @zelenskiy_official)
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. (Foto: Dok. Instagram terverifikasi @zelenskiy_official)

Serangan balasan Ukraina masih terus berlanjut. Salah satu kota yang berhasil dibebaskan Ukraina adalah Izyum yang berada di sebelah tenggara Kharkiv.

Berdasarkan laporan BBC, Jumat (16/9), tank-tank Rusia terpantau ditinggalkan begitu saja. Bendera Ukraina lantas dikibarkan di salah satu tank tersebut, sementara bendera Rusia ada di tempat sampah. 

Para tentara Ukraina tampak bersukacita dan saling berpelukan setelah merebut kembali kota mereka. Mereka juga berusaha menderek tank Rusia yang terjebak di kubangan.

Ada pula tank Rusia yang ditinggal di tengah jalan. Alhasil, tank itu digunakan sebagai tempat selfie.

meski demikian, invasi Rusia meninggal kehancuran yang bertampak pada aliran listrik dan air. Banyak gedung-gedung yang hancur akibat serangan. 

Wanita bernama Tatiana (69) melihat bangunan tempat ia tinggal selama 22 tahun yang hancur akibat serangan yang terjadi pada pagi hari. Untungnya Tatiana sudah evakuasi.

Seorang wanita lain bernama Larissa (61) dan sahabatnya kembali ke Izyum untuk pertama kalinya sejak evakuasi. Ia evakuasi ketika invasi baru dimulai. Larissa mengaku senang bisa kembali, tetapi rumahnya rusak. Ia pun memilih tinggal bersama teman-temannya.

Warga yang mencari bantuan pangan, seperti pickles hingga air botol.

Otoritas setempat masih menghitung jumlah warga yang tewas akibat serangan udara Rusia. Sejauh ini, ada 47 orang dilaporkan meninggal, termasuk anak-anak.

Pasukan Ukraina masih terus berusaha merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki Rusia. Kota Kherson menjadi salah satu target berikutnya.

Senator AS Berencana Tetapkan Rusia Sebagai Sponsor Negara Terorisme

Ekspresi Vladimir Putin saat Perayaan 8 Tahun Rusia Merebut Krimea
Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan pidatonya pada konser perayaan delapan tahun referendum tentang status negara bagian Krimea dan Sevastopol serta penyatuannya kembali dengan Rusia, di Moskow, Rusia (18/3/2022). (Ramil Sitdikov/Sputnik Pool Photo via AP)

Sebelumnya dilaporkan, Senator AS Lindsey Graham dan Richard Blumenthal mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) para Rabu (14/9). RUU tersebut nantinya akan menetapkan rusia sebagai “sponsor negara terorisme,” beberapa bulan setelah anggota Komite Kehakiman Senat meminta pemerintahan Biden untuk melakukannya.

Graham dan Blumenthal bermaksud menjadikan Rusia sebagai negara kelima yang masuk dalam daftar negara sponsor terorisme AS, bergabung dengan Korea Utara, Iran, Suriah, dan Kuba, seperti dikutip dari laman The Hill, Kamis (15/9).

Penetapan tersebut akan menghapuskan hak kedaulatan Rusia di hadapan pengadilan AS dan mengurangi bantuan asing dan ekspor ke negara itu, demikian menurut sebuah rilis. 

Undang-Undang terkait penetapan Rusia sebagai Sponsor Negara Terorisme yang baru diperkenalkan ini merupakan tindaklanjut dari keputusan senat pada akhir Juli lalu yang mendesak Menteri Luar Negeri Antony Blinken untuk menerapkan status tersebut terhadap Rusia.

“Jika Rezim Putin bukan Sponsor Negara Terorisme setelah semua ini, maka penetapan itu tidak ada artinya,” kata Graham, dalam sebuah pernyataan saat pengumuman terkait RUU itu diungkap.

Akan tetapi, awal September ini Biden mengatakan bahwa ia tidak berpikir Rusia harus menerima label Negara Sponsor Terorisme.

Sekretaris pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan dalam sebuah briefing baru-baru ini bahwa presiden berpikir langkah tersebut bukanlah jalan yang paling efektif atau terkuat ke depannya untuk meminta pertanggungjawaban dari Rusia dan hal itu memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan untuk Ukraina dan dunia.

Jean-Pierre mengatakan bahwa penetapan itu dapat mengekang kemampuan AS untuk mengirimkan bantuan ke Ukraina dan memfasilitasi ekspor makanan dari negara tersebut, penetapan itu juga dapat membahayakan kesepakatan baru-baru ini untuk mengizinkan beberapa ekspor melalui Laut Hitam yang sempat diblokade.

Jokowi Pertimbangkan Pilihan Beli Minyak Rusia di Tengah Kenaikan

Presiden Jokowi Bertemu Vladimir Putin
Presiden Joko Widodo (kiri) berjabat tangan dengan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) usai menyampaikan pernyataan bersama di Istana Kremlin, Moskow, Rusia, Kamis (30/6/2022). Presiden menyatakan siap menjadi jembatan komunikasi antara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy dan Presiden Rusia Vladimir Putin agar kedua pihak mencapai perdamaian. (FOTO: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Beralih ke dalam negeri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan jika Indonesia melihat semua opsi terkait kemungkinan untuk bergabung dengan ekonomi Asia lainnya termasuk India dan China untuk membeli minyak Rusia demi mengimbangi melonjaknya biaya energi.

Indonesia belum mengimpor minyak dalam jumlah besar dari Rusia selama bertahun-tahun, tetapi pemerintah Jokowi berada di bawah tekanan yang meningkat untuk mengekang kenaikan biaya setelah dipaksa untuk menaikkan beberapa harga bahan bakar hingga 30 persen bulan ini.

Setiap langkah untuk membeli minyak Rusia dengan harga di atas batas yang ditetapkan oleh negara-negara G7 dapat membuat Indonesia rentan terhadap sanksi AS karena bersiap untuk menjadi tuan rumah KTT G20 di Bali pada bulan November. Jokowi telah mengundang para pemimpin dunia termasuk Vladimir Putin dari Rusia dan Volodymyr Zelenskyy dari Ukraina ke pertemuan tersebut.

“Kami selalu memantau semua opsi. Jika ada negara [dan] mereka memberikan harga yang lebih baik, tentu saja,” kata Widodo dalam wawancara dengan Financial Times menanggapi pertanyaan apakah Indonesia akan membeli minyak Rusia, Senin (12/9).

“Ada kewajiban bagi pemerintah untuk mencari berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan energi rakyatnya. Kami ingin mencari solusi,” tambah dia.

Komentar Jokowi menggarisbawahi kesulitan bagi banyak negara ketika mereka mencoba menavigasi geopolitik dan krisis energi yang melanda rumah tangga dan bisnis di seluruh dunia.

Indonesia, ekonomi terbesar di Asia Tenggara, telah lama mengikuti kebijakan non-alignment dengan negara adidaya.

Presiden Jokowi sempat mengunjungi Moskow dan Kyiv pada bulan Juni, hanya beberapa bulan setelah invasi Rusia ke Ukraina pada bulan Februari, untuk secara pribadi mengundang para pemimpin mereka ke KTT G20.

Infografis Pro-Kontra Rencana Kehadiran Putin di KTT G20 Bali. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Pro-Kontra Rencana Kehadiran Putin di KTT G20 Bali. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya