Liputan6.com, Naypyidaw - Rencana junta militer Myanmar untuk menggelar pemilu pada tahun ini akan memicu kekerasan yang lebih besar. Hal tersebut disampaikan oleh utusan khusus PBB untuk Myanmar, Noeleen Heyzer, pada Selasa (31/1/2023).
"Setiap pemilihan yang diselenggarakan militer akan memicu kekerasan yang lebih besar, memperpanjang konflik, dan membuat kembali ke demokrasi dan stabilitas lebih sulit," kata Heyzer dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari The Straits Times, Rabu (1/2).
Baca Juga
Dia menyerukan komunitas internasional untuk memiliki sikap bersama yang teguh menentang rencana pemilu di Myanmar.
Advertisement
Heyzer bertemu dengan para pemimpin senior junta militer Naypyitaw pada Agustus 2022 selama
Kunjungan pertama Heyzer ke Myanmar terjadi 10 bulan setelah pengangkatannya, yaitu pada Agustus 2022, di mana ia bertemu dengan para pemimpin senior junta militer. Lawatan itu tidak berjalan mulus. Aksesnya untuk bertemu Aung San Suu Kyi ditolak dan junta militer kemudian menuduhnya mengeluarkan pernyataan sepihak soal apa yang telah dibahas.
Myanmar masih berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi hampir dua tahun lalu.
Status darurat yang diberlakukan junta militer akan berakhir pada akhir Januari, setelah konstitusi menyatakan pihak berwenang harus menjalankan rencana untuk mengadakan pemilu.
Penolakan dan Dukungan
Amerika Serikat menegaskan bahwa pemilu apapun yang akan digelar di Myanmar palsu.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan pada Senin (30/1), dia prihatin dengan niat militer untuk mengadakan pemilihan di tengah penangkapan, intimidasi, dan pelecehan yang terus berlanjut terhadap para pemimpin politik, tokoh masyarakat sipil, dan jurnalis.
"Tanpa syarat yang memungkinkan rakyat Myanmar untuk secara bebas menggunakan hak politik mereka, jajak pendapat yang diusulkan berisiko memperburuk ketidakstabilan," kata pernyataan itu.
Adapun Rusia, yang digambarkan sebagai sekutu junta militer mendukung penyelenggaraan pemungutan suara.
Advertisement
Sedikit Kemajuan
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi pertamanya tentang situasi di Myanmar pada Desember 2022, mendesak junta militer untuk membebaskan Aung San Suu Kyi dan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang.
Anggota tetap Dewan Keamanan China dan Rusia abstain, memilih untuk tidak menggunakan veto. India, yang memiliki hubungan dekat dengan junta militer, juga abstain.
Upaya diplomatik untuk menyelesaikan kebuntuan berdarah Myanmar yang dipimpin oleh PBB dan ASEAN hanya sedikit membuat kemajuan, dengan para jenderal menolak untuk terlibat dalam pembicaraan dengan oposisi.