Liputan6.com, Naypyitaw - Junta militer Myanmar membantah laporan pembunuhan massal baru warga sipil oleh pasukannya. Mereka justru menyalahkan kelompok pro-demokrasi atas kematian lebih dari 20 orang, termasuk tiga biksu Buddha dan seorang wanita.
Anggota kelompok perlawanan bersenjata yang menentang junta militer mengungkapkan temuan 22 (sebelumnya dilaporkan 28) jenazah di kompleks biara Buddha di Desa Nam Nein, Negara Bagian Shan, pada Sabtu (11/3/2023) malam. Mereka menyalahkan militer atas kematian tersebut.
Baca Juga
Tidak ada saksi independen yang muncul. Pembatasan ketat junta militer pada perjalanan dan informasi membuat hampir tidak mungkin memverifikasi rincian tragedi semacam itu.
Advertisement
Juru bicara junta militer Myanmar Mayor Jenderal Zaw Min Tun mengatakan bahwa kekerasan diprakarsai oleh pasukan perlawanan yang menyergap pasukan tentara dan anggota pasukan milisi terkait dan kemudian memasuki desa tempat pertempuran berlanjut.
Dia menggambarkan pasukan perlawanan, Partai Progresif Nasional Karenni -milisi etnis minoritas yang memerangi tentara- dan sekutunya Pasukan Pertahanan Nasionalitas Karenni dan Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF), sebagai kelompok teroris yang telah mengancam daerah tersebut sejak awal bulan ini.
Karenni telah berjuang selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar, sementara Pasukan Pertahanan Rakyat dibentuk oleh gerakan pro-demokrasi setelah kudeta militer tahun 2021. Mereka bersekutu dengan sejumlah kelompok, termasuk Karenni.
"Ketika (para) kelompok teroris melepaskan tembakan dengan keras, terlihat bahwa beberapa penduduk desa tewas dan terluka," kata Zaw Min Tun dalam wawancara yang diterbitkan pada Selasa (14/3/2023) di surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah, seperti dilansir AP, Rabu (15/3).
Zaw Min Tun mengatakan bahwa tentara hanya melakukan serangan balik terhadap tiga kelompok perlawanan tersebut. Laporan yang menyebutkan pihaknya bertanggung jawab atas pembunuhan penduduk desa, sebut Zaw Min Tun, adalah informasi yang salah.
Ciri Kekejaman Militer
Seorang warga Nam Nain berusia 45 tahun yang meninggalkan desa pada akhir Februari karena pertempuran mengatakan kepada AP bahwa dia telah berhubungan setiap hari melalui telepon dengan biksu ketua biara, yang menolak untuk pergi.
"Biksu itu menelepon saya pada pukul 08.00 pagi pada Sabtu. Dia mengatakan 'Mereka masuk ke desa. Saya bisa mendengar suara tembakan dan artileri' dan dia tiba-tiba menutup telepon," kata warga desa, yang berbicara tanpa menyebut nama karena takut dihukum oleh pihak berwenang.
"Dia tidak bisa mengatakan kelompok mana yang masuk. Jadi, tidak jelas siapa yang membunuh orang-orang itu," kata warga tersebut, yang menambahkan bahwa biksu itu, yang merupakan keponakannya dan dua saudara iparnya, termasuk di antara korban tewas.
Seorang sesepuh desa yang juga meninggalkan Nam Nein pada akhir Februari mengatakan kepada AP bahwa semua yang terbunuh di kompleks biara adalah warga sipil yang tetap tinggal untuk membantu merawat para biksu.
Manny Maung, peneliti Human Rights Watch, berspekulasi bahwa letak desa yang relatif dekat dengan ibu kota negara mungkin menyebabkan militer bertindak untuk mencegah aktivitas gerilya di daerah tersebut.
"Tidak mungkin bagi pemverifikasi independen atau peneliti independen untuk masuk. Tapi tragedi itu memiliki ciri klasik kekejaman militer," katanya.
Advertisement
Perlawanan terhadap Junta Militer Telah Menjadi Perang Sipil
Desa Nam Nein terletak sekitar 80 kilometer di timur ibu kota, Naypyitaw. Daerah tersebut merupakan bagian dari Zona Pemerintahan Sendiri dari etnis minoritas Pa-O, yang diatur oleh Organisasi Nasional Pa-O (PNO), yang bersekutu dengan junta militer. Kelompok Pa-O lainnya mendukung perlawanan.
Laporan pembunuhan massal di Desa Nam Nein itu muncul setelah tuduhan bahwa awal bulan ini pasukan militer mengamuk di sejumlah desa di Myanmar barat, melakukan pemerkosaan dan pemenggalan serta menewaskan sedikitnya 17 orang.
Kritik terhadap militer mengatakan ada bukti kuat bahwa tentara telah berulang kali melakukan kejahatan perang sejak merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Menurut para ahli PBB, perlawanan terhadap junta militer telah berubah menjadi perang sipil.
Awal bulan ini, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Türk menuduh para jenderal yang berkuasa menerapkan kebijakan bumi hangus dalam upaya untuk membasmi oposisi.