Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI melakukan evakuasi tahap ketiga Warga Negara Indonesia (WNI) dari Sudan. Dalam proses terbaru itu sebanyak 75 orang dipulangkan dan tiba di Tanah Air pada Senin (1/5/2023) dengan menggunakan pesawat TNI Angkatan Udara.Â
"Sebagian besar yang dievakuasi merupakan pelajar dan tiga diantaranya PMI," demikian seperti dikutip dari keterangan pers Kementerian Luar Negeri.
Baca Juga
Sebelumnya, pemerintah telah berhasil memulangkan 385 WNI pada 28 April 2023 dan 363 WNI pada 30 April 2023.
Advertisement
Total warga Indonesia yang berhasil dievakuasi dari wilayah konflik di Sudan menuju Tanah Air sebanyak 823 orang, yang terdiri dari 555 laki-laki dan 268 perempuan.
WNI yang telah dipulangkan ke Tanah Air akan menginap di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur terlebih dahulu untuk penanganan lebih lanjut oleh kementerian atau lembaga terkait. Setelah itu, mereka baru dipulangkan ke daerah asal masing-masing.
"Kementerian Luar Negeri mengucapkan terima kasih kepada seluruh kementerian atau lembaga terkait yang telah mendukung upaya evakuasi serta penanganan WNI tersebut di dalam negeri," tambah pernyataan tersebut.
Konflik militer di Sudan antara Sudan Armed Forces dan Rapid Support Forces (RSF) terjadi pada 15 April 2023. Konflik tersebut mengancam situasi keamanan di Sudan sehingga KBRI Khartoum menetapkan status Siaga II pada tanggal 16 April 2023.
Dengan meningkatnya eskalasi konflik tersebut, pada tanggal 20 April 2023, KBRI Khartoum menetapkan status Siaga I.
Perang Saudara Sudan: 411 Warga Sipil Tewas, 2 Ribu Terluka, dan 50 Ribu Orang Mengungsi
Tembakan senjata dan tembakan artileri berat berlanjut di beberapa bagian ibu kota Sudan, Khartoum, pada Sabtu 29 April 2023, kata penduduk. Pertempuran berlanjut meskipun ada perpanjangan gencatan senjata antara dua jenderal tertinggi negara itu, yang tengah berebut kekuasaan atas negara Afrika tersebut.
Korban tewas dari warga sipil melonjak ke angka 411 orang, menurut Asosiasi Dokter Sudan yang melakukan pemantauan jumlah korban. Sebanyak 2.023 warga sipil lainnya terluka, tambah kelompok itu, seperti dikutip dari Independent.ie (30/4/2023).
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan Sudan menyebut, jumlah kematian keseluruhan terbaru mencapai 528 orang, dengan 4.500 lainnya terluka. Angka itu termasuk militer dan milisi yang saling bertempur.
Khartoum, sebuah kota berpenduduk lima juta orang, telah berubah menjadi garis depan dalam konflik sengit antara Jenderal Abdel Fattah Burhan, komandan militer Sudan, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo (alias Hemedti) yang memimpin kelompok paramiliter yang dikenal sebagai Rapid Support Forces (RSF).
Negara asing terus mengevakuasi staf diplomatik dan warga negara sementara ribuan orang Sudan melarikan diri melintasi perbatasan. Inggris mengatakan akan mengakhiri penerbangan evakuasi pada Sabtu 29 April setelah permintaan menurun.
Lebih dari 50.000 pengungsi --kebanyakan wanita dan anak-anak-- telah melintasi perbatasan dengan Chad, Mesir, Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah, kata PBB. Angka itu menimbulkan kekhawatiran ketidakstabilan lintas negara yang lebih luas.
Negara-negara yang menjadi tujuan pengungsi sedang mengalami situasi instabilitasnya masing-masing. Pertikaian dan kekacauan etnis telah melukai Sudan Selatan dan Republik Afrika Tengah, sementara transisi demokrasi Chad terhenti setelah kudeta.
Mereka yang melarikan diri dari Khartoum menghadapi lebih banyak rintangan. Perjalanan darat ke Port Sudan, tempat kapal kemudian mengevakuasi orang melalui Laut Merah, terbukti panjang dan berisiko.
Pengangkutan udara dari negara itu juga menimbulkan tantangan, dengan sebuah pesawat Turki terkena tembakan di dekat Khartoum pada Jumat 28 April.
Mantan perdana menteri Abdalla Hamdok, yang digulingkan dalam kudeta 2021, mengimbau masyarakat internasional untuk segera menghentikan konflik tersebut. Dia memperingatkan bahwa perang saudara besar-besaran di negara yang berlokasi strategis itu akan memiliki konsekuensi tidak hanya bagi Sudan tetapi juga bagi dunia.
Ketua Uni Afrika Moussa Faki mengatakan dia akan membantu memulai proses politik yang "dipimpin oleh Sudan".
"Saya sudah siap untuk pergi ke sana, bahkan melalui jalan darat," kata Faki. "Kami meminta kedua jenderal untuk menciptakan kondisi bagi kami untuk pergi ke Khartoum."Â
Advertisement