Liputan6.com, Timbulsloko - Timbulsloko, sebuah desa di Kabupaten Demak kini mengalami perubahan drastis. Dahulu sawah subur, kini menyatu dengan laut.
Sularso dan keluarga serta warga setempat sudah tiga kali meninggikan lantai rumah.
Baca Juga
Sularso yang merupakan nelayan, bahkan sudah menghabiskan Rp22 juta sejak 2018. Meski rumahnya sudah 1,5 meter lebih tinggi, gelombang pasang tetap saja bisa masuk.
Advertisement
Generasi muda juga ikut terdampak. Ketimbang tinggal di kampung sendiri, pemuda Timbulsloko akui pilih bermain di luar.
Masih ada taman kanak-kanak yang dipertahankan, meski jalan-jalan tempat anak bermain kini sudah jadi kenangan.
"Depan rumah saya juga depan musala, itu dulu halaman untuk main anak-anak, bisa buat kegiatan pengajian setahun sekali, kegiatan agama, semuanya bisa. Jadi, beda jauh dengan zaman sekarang, anak nggak bisa main sepeda di sini. Nggak bisa main bola," kata Sulkan, guru yang juga warga Timbulsloko seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (27/7/2023).
Timbulsloko kian tenggelam seiring perubahan iklim, juga Penurunan tanah imbas penyedotan air tanah. Warga juga sempat membabat hutan bakau pada 1990-an.
Pakar menyebut air sudah mencapai lima kilometer jauh di Timbulsloko.
"Apa yang bisa kita lakukan? Kita harus mengembalikan fungsi sempadan pantai. Teknologi yang sudah dijalani pemerintah saat ini dengan membangun tanggul itu tidak cukup efektif," ujar Denny Nugroho Sugianto, Guru Besar Oseanografi Universitas Diponogoro.
Guna menekan penurunan tanah, "kedua sudah kami tawarkan dengan melakukan reklamasi. Bukan reklamasi untuk kepentingan komersial, tapi untuk kepentingan ekosistem, kepentingan konservasi," imbuh Denny.
Warga Berharap Pindah
Kendati demikian warga hanya bisa berharap untuk pindah. Juga bagi ibu rumah tangga yang sulit mengantara anak sekolah.
"Ya kalau air masuk pikirannya sedih. Rasanya mau pindah. Tapi kalau pindah semuanya harus ikut pindah," kata Koiriyah, ibu rumah tangga warga Timbulsloko.
Masih ada 200 warga lebih yang bertahan di Desa Timbulsloko yang kian tenggelam di Kabupaten Demak ini.
Kendati demikian jalanan di sana kini berganti papan kayu di atas air laut. Musala hingga pemakaman pun dikepung air. Kisah desa ini jadi alarm perubahan iklim bagi warga di seluruh pesisir Indonesia maupun dunia - dengan peneliti yang memperkirakan sebagian Jakarta tenggelam pada 2050.
Advertisement
Ahli Ungkap Potensi 2023 Jadi Tahun Terpanas dalam Sejarah Bumi
Sementara itu, temperatur global dilaporkan telah memecahkan rekor bulan ini. Suhu rata-rata global sejauh ini pada Juni 2023 meningkat hampir satu Celcius di atas level yang sebelumnya tercatat pada bulan yang sama.
Meski Juni belum usai dan rekor baru kemungkinan terpecahkan, para ilmuwan iklim menilai fenomena ini menunjukkan penguatan pemanasan global, yang dapat mencatat 2023 sebagai tahun terpanas melampaui tahun 2016.
"Terjadi pemanasan global yang luar biasa sejauh ini pada Juni," demikian laporan Copernicus, unit pengamatan Bumi Uni Eropa seperti dilansir The Guardian, Jumat (16/6/2023).
Laporan Copernicus menyebutkan bahwa pada sejumlah hari di awal Juni 2023, peningkatan suhu bahkan tembus 1,5 derajat Celcius dibandingkan dengan masa pra-industri.
"Ini mungkin pertama kalinya terjadi sejak industrialisasi," ungkap laporan Copernicus.
Peningkatan suhu Bumi, yang dipicu oleh pembakaran bahan bakar fosil, diduga akan diperparah oleh El Nino, fenomena alami memanasnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik di atas kondisi normal. El Nino lazimnya memicu lonjakan suhu di seluruh dunia.
Pekan lalu, Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional Amerika Serikat (NOAA) mengatakan bahwa El Nino telah tiba dan akan secara bertahap menguat hingga awal tahun depan.
"Anomali suhu permukaan saat ini berada pada atau mendekati rekor dan tahun 2023 hampir pasti akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah," ungkap Ilmuwan iklim dari Universitas Pennsylvania Michael Mann.
"Hal itu kemungkinan juga berlaku untuk hampir setiap tahun El Nino di masa depan, selama kita terus memanaskan planet ini dengan pembakaran bahan bakar fosil dan polusi karbon."
Ahli meteorologi Finlandia Mika Rantanen menuturkan bahwa suhu panas yang melonjak pada Juni 2023 "luar biasa" dan "nyaris dipastikan" akan menghasilkan rekor bulan Juni paling panas.
Tahun 2023 sendiri telah mencatat rekor gelombang panas parah yang mengguncang sejumlah wilayah, dari Puerto Riko ke Siberia hingga Spanyol, sementara suhu panas di Kanada membantu memicu kebakaran hutan yang menutupi langit New York dan Washington dengan asap beracun pekan lalu.
Laporan terbaru yang dirilis NOAA pada Rabu (14/6) menyebutkan bahwa dunia mengalami bulan Mei terpanas ketiga dalam rekor suhu 174 tahun, di mana Amerika Utara dan Amerika Selatan sama-sama menderita bulan Mei terpanas yang pernah tercatat.
Sebelumnya, pada Mei, Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) telah memperingatkan bahwa suhu global mungkin akan melonjak selama lima tahun ke depan. Pemicunya adalah El Nino dan emisi, dengan rekor tahun terpanas baru hampir pasti terjadi selama periode tersebut.
Butuh Langkah Radikal untuk Tangani Krisis Iklim
Sementara orang-orang merasakan panas di darat, semburan panas yang luar biasa dilaporkan terjadi di laut. NOAA mengonfirmasi bulan kedua berturut-turut rekor suhu permukaan laut yang tinggi pada Mei 2023.
Suhu panas ekstrem di lautan, yang menutupi 70 persen permukaan dunia, memengaruhi suhu global secara keseluruhan hingga mendorong kenaikan permukaan laut.
"Lautan terus memanas dan sekarang kita melihat rekor suhu yang tentunya mengkhawatirkan mengingat perkiraan El Nino akan menguat. Itu pasti akan berdampak pada seluruh dunia," ujar ilmuwan iklim NOAA Ellen Bartow-Gillies.
Bartow-Gillies mengatakan bahwa NOAA belum memproses data suhu untuk bulan Juni, namun memperkirakan peningkatan suhu panas akan berlanjut, sekalipun kelak El Nino bukan faktor utama.
"Kita memulai tahun ini dengan cukup panas, ini belum pernah terjadi sebelumnya, namun kita bisa lebih panas dengan El Nino," kata Bartow-Gillies.
Terlepas dari apakah tahun 2023 akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat, para ilmuwan memperingatkan bahwa dampak yang meningkat dari krisis iklim sekarang jelas terlihat dan tidak akan melambat sampai emisi gas rumah kaca dikurangi secara radikal.
"Tanpa pemangkasan emisi yang lebih kuat, perubahan yang kita lihat ini hanyalah awal dari dampak buruk yang bisa kita rasakan," tutur ilmuwan atmosfer dari Universitas Cornell Natalie Mahowald. "Tahun ini dan peristiwa-peristiwa ekstrem yang telah kita lihat sejauh ini harus menjadi peringatan."
Advertisement