Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat dengan hati-hati menjajaki kemungkinan membuka kembali konsulat di Afghanistan yang dikuasai Taliban, menurut dokumen strategi yang baru dirilis oleh Departemen Luar Negeri AS.
Langkah tersebut menandakan potensi perubahan dalam kebijakan AS menuju keterlibatan terbatas dengan rezim Islamis yang terisolasi, dan pada saat yang sama bertujuan untuk mencapai berbagai tujuan dalam bidang keamanan, politik dan ekonomi.
Baca Juga
“Bersama Taliban, kami mengadvokasi akses konsuler, transparansi dan akuntabilitas bagi warga Amerika Serikat; kami juga mendukung pekerjaan Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Penyanderaan untuk membebaskan warga Amerika yang ditahan secara tidak adil,” demikian bunyi Strategi Terpadu Negara Afghanistan, yang disetujui pada Oktober 2023.
Advertisement
Dengan jatuhnya pemerintahan Afghanistan pada Agustus 2021, AS menutup kedutaan besarnya di Kabul, menandai berakhirnya secara simbolis hubungan militer dan politik selama dua dekade dengan Afghanistan.
Sejak itu, interaksi AS-Taliban terbatas pada pertemuan sporadis di luar Afghanistan, terutama di Doha, Qatar, tempat AS menempatkan kuasa usahanya untuk Afghanistan, dikutip dari laman VOA Indonesia, Sabtu (3/2/2024).
“Meskipun – dan selama – Amerika Serikat tidak mengakui Taliban sebagai pemerintah sah Afghanistan, kita harus membangun hubungan fungsional yang mendukung tujuan kita, dan meningkatkan pemahaman kita tentang kesiapan dan kemampuan Taliban untuk memenuhi komitmen mereka kepada kita,” demikian dinyatakan dalam makalah strategi.
Strategi baru AS menguraikan empat bidang misi strategis, yaitu kontraterorisme, bantuan ekonomi, keterlibatan lokal, dan layanan konsuler bagi warga AS di Afghanistan dan membantu warga Afghanistan yang ingin bermigrasi ke Amerika.
Strategi tersebut menyatakan bahwa Washington akan “terus menyuarakan hak-hak dasar rakyat Afghanistan, terutama perempuan dan anak perempuan.”
Para pejabat AS telah berulang kali mengatakan bahwa normalisasi apa pun dengan Taliban, termasuk mengakhiri sanksi yang telah berlangsung puluhan tahun terhadap para pemimpin mereka, bergantung pada perubahan kebijakan represif Taliban dan pembentukan pemerintahan Afghanistan yang inklusif.
Risiko keamanan dan politik
Meskipun tidak mengakui pemerintahan sementara Taliban, beberapa negara, termasuk sejumlah sekutu AS seperti India, Jepang, dan Turki, tetap mempertahankan misi diplomatik di Kabul.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk misi politiknya, juga tetap beroperasi di negara tersebut.
Tahun lalu, sebuah penilaian independen yang disponsori oleh PBB menyerukan peningkatan dan keterlibatan langsung komunitas internasional dengan otoritas de facto Taliban.
“Dari sudut pandang logistik, akan lebih mudah bagi AS untuk membantu warga Afghanistan yang berupaya pergi ke AS, jika staf dan fasilitas konsuler tersedia di sana,” Michael Kugelman, direktur Institut Asia Selatan di Wilson Center, mengatakan kepada VOA.
Namun, Kugelman memperingatkan tentang risiko politik dan keamanan jika AS kembali hadir ke Afghanistan, terutama selama tahun pemilu AS.
“Pemerintahan Biden kemungkinan besar akan merasa risiko keamanannya terlalu besar,” katanya.
Advertisement
Angka Kekerasan
Kekerasan terkait terorisme di Afghanistan telah menurun sebesar 75 persen selama dua tahun terakhir, menurut Indeks Terorisme Global 2023 dari Institute for Economics & Peace.
Penurunan tersebut tampaknya disebabkan oleh berakhirnya perang Taliban melawan pemerintah lama Afghanistan yang didukung AS.
Terlepas dari klaim Taliban untuk memulihkan perdamaian, kelompok teroris seperti cabang ISIS Khorasan, telah melakukan serangan di Afghanistan yang menewaskan ratusan orang yang sebagian besar adalah penganut agama minoritas.
“Keamanan nampaknya bukan masalah utama, namun bagaimana membuat keputusan terkait hubungan dengan Taliban, adalah masalah utama,” kata Kathy Gannon, mantan kepala biro Associated Press di Afghanistan dan Pakistan, kepada VOA.
Gannon berargumentasi bahwa Amerika Serikat, seperti negara-negara lain, perlu berinteraksi dengan 40 juta warga Afghanistan di dalam negara itu, untuk membuat kebijakan yang efektif.