Jangan Musuhi Plastik, tapi...

Bukan plastik yang salah, tapi manusianya yang tak bisa memilah dan memanfaatkannya dengan bijak.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 14 Jun 2019, 17:04 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2019, 17:04 WIB
Jangan Musuhi Plastik, tapi...
Produk hasil daur ulang plastik. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Sampah plastik yang bertebaran dan mencemari lingkungan mulai mendapat perhatian. Tak sedikit isi kampanye yang bernada ajakan untuk 'memusuhi' plastik, khususnya kantong plastik, demi menekan produksi sampah.

Jargon-jargon diet plastik digembar-gemborkan dan bergaung ke mana-mana. Larangan penggunaan kantong plastik atau styrofoam mulai dijadikan legal di beberapa tempat. Tapi, apakah kita memang harus menghindari plastik sepenuhnya?

Jawabannya tidak. Guru Besar Pengelolaan Udara dan Limbah Institut Teknologi Bandung, Profesor Enri Damanhuri melarang kita memusuhi plastik karena kenyataannya manusia memang membutuhkan benda polimer itu.

Plastik dipakai di hampir semua lini kehidupan. Selain fleksibel, plastik juga bernilai ekonomis dibandingkan kemasan lainnya, seperti beling atau kaleng.

"Tidak ada plastik, kita tidak bisa hidup. Yang salah itu manusia yang memperlakukan plastik seenaknya," ujar Enri dalam acara peluncuran Gerakan Plastic Reborn #Berani Mengubah di Jakarta, Kamis sore, 14 Juni 2019.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Diskriminasi Plastik

Jangan Musuhi Plastik, tapi...
Macam-macam plastik. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Merujuk data Menteri Perindustrian 2018, kebutuhan plastik per kapita orang Indonesia itu terbilang rendah, hanya 22 kilogram per tahun. Sementara, warga negara maju seperti Jepang mencapai 140 kilogram per orang per tahun.

"Dengar-dengar sudah naik lagi menjadi 27 kilogram per orang per tahun," katanya.

Namun, kuantitas yang terbilang rendah itu malah jadi awal mula masalah besar. Pasalnya, belum banyak orang Indonesia yang tertib memperlakukan plastik secara tepat, setidaknya dimulai dengan mengumpulkan dengan baik.

"Mungkin hanya sebagian yang terbiasa memilah dari rumah, tapi sebagian besar lainnya karena tidak ada law enforcement, ya tak acuh saja," ujarnya.

Di sisi lain terjadi diskriminasi plastik di kalangan pemulung. Mengingat mereka mengumpulkan plastik karena butuh duit, bukan karena peduli lingkungan, pemulung hanya akan mengambil plastik yang dinilai berharga.

"Ada diskriminasi plastik dalam pengumpulan. Yang paling banyak diambil ya kemasan PET karena memang ada permintaan pasarnya tinggi. Sementara yang lain, dibuang," kata Enri sambil menyebut hanya 40 persen plastik yang laku.

"Karena itu, kantong plastik banyak bertebaran di jalan. Karena kalau dijual, enggak laku," katanya.

Rencana Solusi

Jangan Musuhi Plastik, tapi...
Coca-cola meluncurkan gerakan Plastic Reborn #beranimengubah. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Bila kebanyakan plastik dibuang bebas ke lingkungan, tentu dampaknya buruk. Enri menyebut bahaya paling besar dari plastik dalam bentuk mikroplastik. Tak kasat mata, tetapi bisa masuk ke daging hewan dan bila dimakan manusia, berarti akan menumpuk di tubuh manusia.

"Berarti manusia makan plastik," katanya sembari mengajak warga untuk mengumpulkan dan memilahnya.

Merespons hal itu, Coca-cola sebagai salah satu industri yang menggunakan plastik dalam skala besar berusaha memberi solusi. Salah satunya dengan rencana penggunaan botol plastik jernih untuk setiap produk minuman yang dijual.

Public Affairs and Communications Director Coca-cola Indonesia, Triyono Prijoesosilo mengaku perusahaannya sedang merintis ke arah itu sekarang. Targetnya secara global, botol plastik yang digunakan akan mengandung 50 persen bahan daur ulang.

"Kami akan ubah (botol) yang masih berwarna jadi lebih clear sehingga harga jual produk lebih fleksibel," kata Tri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya