Liputan6.com, Jakarta - Berita mengenai kekerasan seksual masih sering terdengar, tak hanya dialami wanita bahkan pria. Tentu keprihatinan bahwa kasus ini terus terjadi membuat banyak pertanyaan, bagaimana korban kekerasan seksual perlu mendapatkan dukungan untuk pulih dan agar kasus serupa tak terjadi?
Penyintas kekerasan seksual menurut Ester Lianawati, penulis buku "Ada Serigala Betina pada Diri Setiap Perempuan" adalah mereka yang telah mengalami peristiwa kekerasan seksual, penyintas biasanya sebutan bagi mereka yang telah secara sadar menerima peristiwa yang dialami. Sementara korban adalah sebutan bagi korban kekerasan seksual yang belum bisa keluar dari trauma yang dialami.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang dikutip dari laman Komnas Perempuan, Minggu (5/2/2023), kekerasan seksual adalah segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa persetujuan. Tindakan ini bisa dilakukan dengan unsur paksaan atau ancaman.
Termasuk dalam kekerasan seksual yaitu perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, dan pemaksaan prostitusi. Sampai di mana batas seseorang dikategorikan menerima kekerasan seksual, tentu bila salah satu pihak tidak mau, baik dalam kondisi sadar atau tidak.
Psikolog Klinis dan Grafolo, Dian Ibung mengungkapkan seorang korban kekerasan seksual akan mengalami efek psikologis atau fisik langsung yang panjang efeknya bahkan untuk pemulihan memerlukan bantuan profesional seperti dokter, psikiater atau psikolog. "Support sistem dari keluarga, lingkungan pertemanan, guru, sekolah, pihak berwenang, dari sisi hukum seperti pengadilan dan polisi diperlukan agar bisa pulih," ungkap Dian saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Jumat 5 Februari 2023.
Lebih lanjut Dian Ibung mengungkapkan, waktu yang dibutuhkan untuk pulih bagi korban kekerasan seksual berbeda-beda. Hal itu tergantung apakah korban bisa menerima dirinya. "Ada yang tidak menerima dirinya, tapi ada yang mau bangkit atau merasakan kesedihannya lama. Apakah korban bisa memaafkan dirinya dan mau melakukan terapi " kata Dian.
Waktu untuk Pulih
Â
Menurut Dian semakin tinggi risiko kekerasan seksual yang diterima, maka semakin membutuhkan waktu lama untuk pulih. Selain itu faktor lingkungan yang mendukungnya untuk pulih akan sangat berpengaruh sebab di Indonesia penghakiman akan kekerasan seksual masih dialamatkan kepada korban.Â
Masih sering ditemui penghakiman korban kekerasan seksual, daripada melindungi dan membantu mereka untuk pulih. Sementara penghakiman masyarakat dan lingkungan justru membuat korban makin trauma dan semakin lama pulih.Â
Diungkapkan Dian, masyarakat awam yang tidak mengerti bagaimana harus menyikapi korban kekerasan seksual seharusnya dapat memakai hati nuraninya sebagai manusia. "Jangan menghakimi dulu, tapi tahu dulu masalahnya apa," sambungnya.Â
Namun tidak serta-merta saat kejadian langsung menghujani dengan intervensi sebab korban justru akan bingung. Biarkan korban memulihkan dirinya dengan memberi dukungan karena untuk trauma itu perlu waktu berbulan-bulan bahkan tahunan. Agar bisa memutus trauma, pendampingan harus dilakukan dalam jangka panjang hingga bangkit dan pulih
Terlebih yang terjadi pada korban satu dengan lainnya berbeda. Biasanya korban mengalami perasaan takut, malu, marah bahkan sakit secara teknis sakit fisik yang tidak diketahui orang lain. "Bisa terkena penyakit kelamin, gangguan psikologis, depresi hingga gangguan kepribadian yang efeknya akan sangat panjang, memengaruhi cara bergaul pandangan ke lawan jenis bahkan saat sudah menikah," paparnya lagi.
Advertisement
Dukungan Lembaga
Salah satu lembaga bantuan untuk korban kekerasan seksual adalah Yayasan Samahita yang ada di Bandung. Mulanya organisasi ini tumbuh dari gerakan One Billion Raising yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian pada penyintas kekerasan seksual.Â
Kegiatan yang sudah jadi agenda tahunan ini juga memfasilitasi dan menediakan support system untuk penyintas dengan melakukan pendampingan. Pihak Samahita juga berjejaring dengan organisasi serupa untuk bisa saling mendukung korban kekerasan seksual.
"Dengan berjejaring yang bisa kita tawarkan pre-konseling selama mencoba pulih, mediasi ke LBH. Biasanya dalam laporan kita tanya dulu kebutuhannya apa," ungkap Wakil Direktur Samahita, Talissa Febra saat dihubungi Liputan6.com, Jumat 3 Februari 2023.Â
Samahita sendiri menurut Talissa fokus pada kekerasan dalam pacaran, sebab di sanalah kemampuan yang bisa diberikan lembaga tersebut. Menurut dia kekerasan dalam pacaran lebih rentan dibandingkan orang yang menikah lantaran pacaran tidak memiliki keterikatan secara hukum. Selain itu kekerasan dalam pacaran cenderung dialami oleh mereka yang masih terbilang muda.
"Kebutuhan korban yang datang ke Samahita biasanya mereka bingung tidak tahu harus bercerita ke siapa. Bisa terjadi pelaku kekerasan adalah orang terdekat di lingkungannya sehingga sulit dipercaya jika bercerita ke orang di lingkungan yang sama," tambah Talissa.
Talissa juga mengungkapkan masyarakat masih tidak ramah terhadap korban kekerasan seksual. Memberikan pertanyaan yang menyudutkan korban, sehingga sebenarnya masih dibutuhkan kesadaran untuk mengedukasi dirinya atas isu kekerasan seksual. Â
Kekerasan Seksual di Kampus
Lembaga untuk pengaduan kasus kekerasan seksual juga ada di kampus, di mana belakangan terkuak kasus tersebut. Salah satunya adalah Komite Anti Kekerasan Seksual Universitas Hasanudin yang sudah ada sejak 2019 sebagai biro media dan konseling dengan posko pengaduan Kekerasan Seksual.
Koordinator Umum Komite Anti Kekerasan Seksual Universitas Hasanudin, Arinda Widyani mengungkapkan setiap laporan kasus yang masuk, akan diterima oleh anggota konseling. Jika kebutuhan korban adalah untuk didengarkan dan menceritakan peristiwa yang dialami, konseling akan membantu dengan hadir dan bercerita bersama korban.
"Namun jika kasusnya korban trauma berat, kami akan bantu fasilitasi dan menemani mereka ke tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater," katanya.
Dia mengungkapkan di Catatan Akhir Tahun 2021 ada sebanyak 16 kasus kekerasan seksual yang tercatat di database. Pihaknya berharap program ini setidaknya menjadi wadah alternatif bagi para korban untuk mengetahui bahwa korban tidak sendiri.
"Ketika mendapati korban kekerasan seksual, hal yang paling minimal kita lakukan adalah mendengarkan korban dengan baik dan percaya pada mereka. Karena hal ini menjadi dasar mereka untuk tetap memperjuangkan kasus mereka dan tidak merasa sendiri. Selain itu, tentu edukasi adalah hal penting yang perlu terus diberikan," paparnya lagi.
Menurut Arinda, keluhan para korban biasanya mereka seringkali merasa sendiri dan tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitar, bahkan mendapati stigma negatif. Hal ini dikarenakan kekerasan seksual adalah pembahasan yang masih dianggap tabu dalam masyarakat.
Advertisement