Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan seksual masih menjadi momok menakutkan bagi negeri ini. Tak hanya perempuan, permasalahan ini juga kerap menimpa anak-anak dan laki-laki, karena tak terbatas pada gender.
Semua orang, termasuk laki-laki, bisa jadi korban maupun pelaku kekerasan seksual kata Noval selaku selaku co-director dari Di Jalan Aman Tanpa Pelecehan (DEMAND) dan Program Manager Jakarta Feminist. Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) di surveinya mengatakan bahwa 3 dari 10 laki-laki pernah mendapatkan pelecehan. Ini pun masih berbentuk gunung es, karena banyak laki laki yang tidak mau menceritakan kasusnya.
"Jika seseorang mendapatkan kekerasan seksual, yang harus dilakukan adalah menenangkan diri dan tidak menyalahkan diri sendiri. Karena kekerasan seksual selalu 100 persen salah pelaku, terlepas dari gendernya," terang Noval pada Liputan6.com, Jumat, 3 Februari 2023.
Advertisement
Baca Juga
"Kita juga harus tau bahwa ada banyak orang dan lembaga yang dapat membantu kita untuk pulih, yang bisa dicek di carilayanan.com. disana ada lebih dari 110 lembaga layanan yang dapat membantu kita tanpa biaya," lanjutnya.
Sayangnya, Noval menambahkan, di masyarakat masih ada anggapan dan stigma yang membuat laporan pelecehan dan kekerasan seksual oleh laki-laki kurang dipercayai, atau malah diolok-olok. Ada kecenderungan untuk mempercayai bahwa pelecehan dan kekerasan seksual hanya terjadi pada perempuan, dan bahwa laki-laki terbatas sebagai pelaku kekerasan dan pelecehan seksual, bukan korban.
Laki-laki yang melaporkan kasus kekerasan seksual yang dihadapinya juga dianggap tidak kuat untuk melawan dirinya sendiri. Ini adalah bentuk bias gender dan sangat tidak adil. "Setiap orang, tanpa terkecuali, berhak untuk dilindungi dari pelecehan dan kekerasan seksual, dan laporan mereka harus diterima serta diamati dengan serius. UU TPKS yang sudah sudah disahkan tahun lalu, melindungi semua orang yang mendapatkan kekerasan seksual, termasuk laki laki," ucap Noval.
Ia mengakui, kekerasan seksual banyak terjadi karena adanya ketimpangan kuasa yang ada. Dan saat ini di masyarakat kita yang sayangnya masih patriarkis, lak-laki memiliki kuasa yang lebih banyak dibandingkan perempuan, membuat perempuan. Situasi itu membuat kelompok lain yang mempunyai kuasa lebih rendah di masyarakat jadi lebih rentan untuk mendapatkan kekerasan seksual.
Namun, selain identitas gender, status ekonomi, pendidikan dan identitas lainnya juga mempengaruhi kuasa seseorang juga. Mengenai maraknya kasus kekerasan seksual yan terjadi belakangan ini, menurut Noval bukan berarti ada lebih banyak kasus kekerasan seksual.
Ketimpangan Kuasa karena Patriarki
Kemungkinan juga terjadi peningkatan kesadaran di masyarakat, sehingga sekarang lebih banyak orang yang dapat mengidentifikasi kekerasan seksual dan melaporkannya. "Tapi sayangnya, ketimpangan kuasa yang disebabkan oleh patriarki masih menjadi realita banyak orang, masih banyak kekerasan berbasis gender yang terjadi di Indonesia," tuturnya.
Noval menambahkan, ada beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk berusaha mencegah terjadinya kekerasan seksual. Salah satunya, kita harus berhenti menormalisasi kekerasan seksual yang ada di sekitar kita, apapun bentuknya. “Ada metode BANTU dari komunitas Di Jalan Aman (DEMAND) yang bisa kita terapkan untuk mengintervensi secara aman. seterusnya, cari tahu kemana tempat aman yang bisa membantu kamu, yang bisa kamu cari di Cari Layanan," jelas Noval.
Mengenai lemahnya perlindungan maupun bias gender korban pelecehan seksual bisa dilihat dari kasus pelecehan seksual yang dialami Pradikta Wicaksono atau akrab yang disapa Dikta baru-baru ini. Mantan vokalis Yovie & Nuno itu menjadi korban pelecehan seksual setelah manggung di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat.
Usai Dikta turun panggung, penonton yang sebagian besar perempuan, langsung menyerbunya dan diduga salah satu fans memegang alat vital sampai meraba-raba tubuh Dikta. Dalam sebuah video yang menunjukkan aksi pelecehan seksual yang dialami Dikta itu, terlihat dirinya menahan sakit di bagian perutnya, sampai harus dibopong beberapa orang untuk membantunya berjalan. Video itu pun langsung memicu beragam komentar masyarakat dunia maya.
Advertisement
Jadi Lelucon
Sayangnya, di antara komentar bernada simpati dan miris, terselip komentar bernada mengejek bahkan menjadikannya lelucon. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran dan kepedulian masyarakat pada korban pelecehan seksual terutama pada laki-laki masih sangat minim. Beragam komentar para warganet tentang kasus pelecehan seksual Dikta memperlihatkan double standard atau standar ganda pada gender yang tak terhindarkan.
Segelintir masyarakat menganggap bahwa pria yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual seharusnya bisa melawan atau harus mampu melindungi dirinya sendiri. Sementara Dikta sendiri, sampai saat ini tidak mau berkomentar maupun memberi pernyataan tentang pelecehan yang dialaminya itu.
Menurut psikolog klinis Tara Adhisti de Thouars, laki-laki kerap lebih merasa kesulitan untuk mengakui dirinya merupakan korban pelecehan seksual karena masih adanya stereotipe di masyarakat yang menganggap laki-laki selalu menjadi pelaku. "Laki-laki malah lebih sulit lagi dia untuk menyatakan bahwa dia korban, karena kan ada anggapan bahwa laki-laki apalagi yang dewasa tidak mungkin jadi korban. Tetapi pada faktanya kan siapa pun bisa menjadi korban," kata Tara saat ditemui Liputan6.com beberapa waktu lalu di Jakarta.
Taa menyarankan, korban pelecehan maupun kekerasan seksual menceritakan apa yang terjadi pada orang yang tepat. Bagi korban, penting juga untuk diingat bahwa korban tidak menyalahkan diri sendiri dan berusaha memendam peristiwa.
Jangan Salahkan Korban
"Banyak korban merasa malu atau takut disalahkan lalu memendam peristiwa yang menimpanya dan pada akhirnya jadi masalah yang berkepanjangan. Jadi memang harus share dan cari pertolongan, juga penting sekali untuk tidak menyalahkan diri sendiri," tuturnya.
Menurut Tara, tidak ada orang yang menghendaki adanya peristiwa kekerasan seksual. Meski begitu, masih ada orang-orang yang beranggapan seharusnya korban kekerasan seksual bisa berpikir untuk melakukan sesuatu kala peristiwa tersebut terjadi, salah satunya dengan cara melawan atau memberontak.
Namun seringkali kejadian pelecehan atau kekerasan seksual membuat kondisi si korban terlalu syck, freezing, sehingga tidak mampu berbuat apa-apa. Karena itu penting bagi korban peristiwa itu untuk tidak menyalahkan diri sendiri, begitu pula bagi orang-orang sekitarnya untuk tidak menyalahkan korban.
"Banyak terjadi ketika korban menceritakan masalahnya, namun justru sang korban yang dipersalahkan. Misalnya mempertanyakan mengapa diam saja, tidak melawan atau berusaha berontak," kata Tara. Padahal menurut Tara, yang dibutuhkan korban saat itu adalah dipahami, dimengerti dan tidak dipersalahkan yang bisa mengganggu mentalnya menjadi lebih buruk lagi.
Tara mengingatkan orang-orang terdekat korban pelecehan seksual untuk menjadi pendamping yang tepat dan ikut membantu mencari pertolongan bila ternyata peristiwa tersebut mengganggu kondisi fisik dan mental yang bersangkutan.
Advertisement