Hasil Pertanian dari Atas Tanah yang Masih Diperjuangkan

Sejumlah petani di Jambi yang masih berjuang di atas tanah garapannya memamerkan hasil komoditi pertaniannya dalam PRLH Walhi 2022. Mereka berharap adanya keadilan.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 05 Jun 2022, 12:00 WIB
Diterbitkan 05 Jun 2022, 12:00 WIB
Hasil Tani
Hasil komoditi pertanian petani dampingan Walhi Jambi di PRLH 2022 di depan Kantor Gubernur Jambi, Sabtu (4/6/2022). Para petani yang menghasilkan komoditi pertanian ini masih berjuang agar diakui negara atas hak tanah garapannya. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Memasuki lokasi pameran Pekan Rakyat Lingkungan Hidup (PRLH) 2022 yang digelar organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di pelataran kantor Gubernur Jambi, stan-stan berjejer pamerkan produk unggulan. Sabtu sore (4/6/2022), pengunjung mulai berdatangan ke lokasi pameran.

Alunan musik dari atas panggung mengiringi telinga para pengunjung yang lalu lalang di sana. Di pameran itu, pengunjung selain bisa membeli berbagai produk juga bisa bertanya terkait proses pembuatan produk kepada si empunya produk.

Di sebelah kanan dekat pintu gerbang masuk, stan-stan itu memamerkan produk olahan makanan. Sementara di stan sebelah kiri berbagai produk hasil kerajinan masyarakat desa yang jadi dampingan organisasi lingkungan itu dipamerkan.

Ada juga beberapa hasil hutan bukan kayu dan berbagai karya warga desa yang turut mengisi stan. 

Yang tak kalah menarik, di antara stan itu terdapat berbagai komoditi hasil pertanian dari para petani. Komoditi pertanian itu dihasilkan petani dampingan Walhi Jambi yang sedang berjuang  agar negara mengakui hak atas tanah mereka.

Aneka produk pertanian di atas tampah ada ubi kayu sebesar lengan orang dewasa, labu, jantung pisang, nangka, tebu, ketela rambat, pisang, jengkol itu dan dipajang di etalase dengan latar belakang gambar peta "sebaran wilayah kelola rakyat" di Provinsi Jambi.

Halim, seorang petani kelompok tani Sekato Jayo dari Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, Jambi, dan sejumlah kelompok lainya sengaja menempuh jarak seratusan kilometer datang ke Kota Jambi, ibu kota Provinsi Jambi, membawa hasil pertanian.

"Kami membawa 18 jenis hasil tani. Macam-macam ada sayur mayur, itu semua kami tanam di lahan yang sampai sekarang masih kami perjuangkan" ujar Halim kepada Liputan6.com.

Melalui produk hasil pertanian itu mereka ingin membuka mata dan mengetuk pemerintah agar berlaku adil kepada petani kecil di desa. Sebagian besar hasil pertanian itu berasal dari atas lahan yang tengah berkonflik dengan perusahaan dan industri ekstraktif.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi sebelumnya pernah mencatat bahwa jumlah konflik agraria di Provinsi Jambi mencapai 156 kasus konflik yang sampai sekarang belum terselesaikan. Dari total jumlah kasus konflik ini di antaranya 19 desa menjadi prioritas untuk penyelesaian dengan diadvokasi Walhi.

Dari 19 desa yang berkonflik dengan korporasi ini tersebar di Kabupaten Tebo, Muaro Jambi, Batanghari, Tanjung Jabung Barat. Jumlah masyarakat yang berkonflik mencapai sekitar 3.500 kepala keluarga (KK).

Perusahaan pemegang izin konsesi HTI masih mendominasi konflik dengan masyarakat atau mencapai 70 persen, kemudian disusul perkebunan kelapa sawit 20 persen, dan konsesi perusahaan restorasi ekosistem 10 persen.

"Alhamdulillah petani di desa kami masih bisa bertani, meski belum tenang karena masih dibayangi ancaman kriminalisasi dari perusahaan. Di sini kami ingin menunjukan bahwa kami (petani) enggak main-main bertani. Dari pertanian inilah yang bisa menopang kehidupan kami," kata Halim.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Wilayah Kelola Rakyat untuk Keadilan Ekologi

Konferensi Walhi
Direktur Walhi Nasional (tengah) Zenzi Suhadi saat menyampaikan konferensi pers dalam PRLH 2022 di Jambi, Rabu (1/6/2022). (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Wilayah Kelola Rakyat (WKR), begitu organisasi lingkungan Walhi itu menamakan sebuah sistem kelola yang integratif dan partisipatif baik, yakni proses tata kelola, produksi, distribusi, dan konsumsi.

Melalui Pekan Rakyat Lingkungan Hidup (PRLH) 2022 itu Walhi ingin menunjukan sebuah mekanisme penyelenggaraan yang senantiasa memperhatikan fungsi sumber daya alam dan lingkungan berdasarkan nilai kearifan. Hal itu dilakukan untuk mewujudkan kemakmuran yang berkeadilan dan berkelanjutan.

"Kami minta komitmen pemerintah untuk membangun dan mendukung sistem bagi pengembangan Wilayah Kelola Rakyat di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi di sela kegiatan Pekan Rakyat Lingkungan Hidup 2022.

Sementara itu, dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2022, Walhi menggelar Pekan Rakyat Lingkungan Hidup di Jambi dengan tema "Menghimpun Kekuatan dan Membangun Wilayah Kelola Untuk Mewujudkan Keadilan Ekologi"

Pekan Rakyat Lingkungan Hidup ini juga dirangkai dengan kegiatan seminar, talkshow, workshop, dan penguatan jaringan petani. Selain itu ada pameran produk WKR dari 28 provinsi di Indonesia. 

Kini WKR yang didampingi Walhi tercatat mencapai 1.040.659 hektare dengan penerima manfaat dari perlindungan dan pengembangan wilayah kelola rakyat ini sebanyak 160.033 kepala keluarga. Jumlah berada di 28 Provinsi yang tersebar di 99 kabupaten, 181 kecamatan dan 305 desa.

Sementara itu, Direktur Walhi Jambi Abdullah mengatakan Pekan Rakyat Lingkungan Hidup ini secara umum ditujukan untuk mengonsolidasikan kembali jaringan dan gerak Walhi dalam memperjuangkan hak rakyat, membangun wilayah kelola rakyat. Selain itu kegiatan ini juga untuk memperkuat demokratisasi Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia dalam mewujudkan keadilan ekologis.

Sejumlah kelompok dan individu-individu perwakilan masyarakat dari 8 Kabupaten di Provinsi Jambi dan Walhi Jambi memiliki cita-cita perubahan bangsa ini ke arah yang lebih baik. 

Mereka mendeklarasikan dan mendorong lahirnya kebijakan pengakuan terhadap Wilayah Kelola Rakyat, dan Perlindungan Wilayah Kelola Rakyat dari Ancaman Industri Ekstraktif (tambang, perkebunan sawit, kebun kayu/HTI), maupun pembangunan infrastruktur skala besar.

Selain itu mereka juga mendorong pelibatan aktif masyarakat, khususnya masyarakat adat, perempuan, petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota, dalam setiap perencanaan, pengambilan kebijakan dan implementasi program pembangunan yang berimplikasi terhadap hajat hidup orang banyak.

Halim dan mungkin petani lainnya yang masih berjuang di atas tanah garapannya masih dibayangi sistem yang bagi mereka belum adil. Petani seperti mereka kata Halim, hanya membutuhkan pengakuan atas hak tanah dan lingkungan yang sehat untuk menyambung hidup mereka dari generasi ke generasi selanjutnya.

"Negara itu ya harus mengakomodir kemauan rakyat," ujar Halim.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya