Polemik Biaya Interkoneksi, Smartfren: Ini Urusan B2B

Presiden Direktur Smartfren, Merza Fachya mengungkap polemik biaya interkoneksi baru adalah ranah business-to-business (B2b) antar operator.

oleh Corry Anestia diperbarui 01 Sep 2016, 13:15 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2016, 13:15 WIB
Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Merza Fachys (tengah) memberi sambutan tentang layanan VoLTE Smartfren di Jakarta, Jumat (19/2/2016)
Presiden Direktur PT Smartfren Telecom Merza Fachys (tengah) memberi sambutan tentang layanan VoLTE Smartfren di Jakarta, Jumat (19/2/2016). Liputan6.com/Agustin Setyo Wardani

Liputan6.com, Jakarta - Polemik penetapan biaya interkoneksi baru sebesar Rp 204 untuk 18 skenario panggilan masih terus berlanjut. Pemerintah juga didesak sebagian pihak untuk membatalkan penetapan tersebut.

Kendati begitu, Presiden Direktur SmartfrenMerza Fachys justru menilai bahwa sejak awal biaya interkoneksi baru tersebut bukanlah ketetapan, melainkan acuan bagi operator sebelum mengajukan Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI).

"Ini bukan masalah dibatalkan atau tidak karena ini urusannya B2b antar operator. Nah, 1 September ini adalah start bagi operator yang ingin mengajukan DPI," paparnya yang dihubungi Tekno Liputan6.com, Rabu (31/8/2016) malam.

Perlu diketahui, biaya interkoneksi merupakan biaya yang wajib dibayarkan operator asal ke operator tujuan saat terjadi keterhubungan jaringan dengan operator lain (off-net). Adapun, perhitungan biaya interkoneksi dilakukan secara B2b.

Dalam menentukan biaya interkoneksi, operator diwajibkan menyerahkan DPI kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Telkomsel merupakan operator yang oposisi dengan acuan biaya interkoneksi baru. Pasalnya, biaya tersebut ditetapkan turun 26 persen dari Rp 250 menjadi Rp 204 dengan konsep simetrik (pukul rata)

Penurunan ini dianggap merugikan Telkomsel yang merupakan operator dominan dengan cakupan jaringan (network size) paling luas di Indonesia.

Menurut Merza, meski menggunakan konsep asimetrik (berdasarkan network size setiap operator), harus ada harmonisasi biaya interkoneksi antaroperator.

"Misal biaya interkoneksi Smartfren Rp 100 dan operator A Rp 200, itu tidak bisa. Harus sama, misalnya Rp 200. Tapi biaya Smartfren--operator B bisa berbeda dengan Smartfren--operator A. Kita sebut itu asimetrik," jelasnya.

Jika tidak sama, kata Merza, dampaknya akan mengarah pada peningkatan trafik layanan ke sesama operator (on-net). Pengguna akan cenderung malas mengirim SMS atau telepon ke operator lain.

Dihubungi terpisah, Alexander Rusli, CEO dan Presiden Direktur Indosat juga mengaku akan terus jalan meski ada desakan kepada pemerintah untuk membatalkan biaya interkoneksi.

"Kami terus jalan kok, kan sudah ajukan DPI. Biaya yang kami tawarkan (di DPI) Rp 86," kata pria yang akrab disapa Alex kepada tim Tekno Liputan6.com.

(Cas/Isk)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya