Buruh Minta UMP 2015 Direvisi, Ini Jawaban Menko Perekonomian

Seluruh pemerintah daerah telah menetapkan UMP 2015. Namun masih banyak buruh yang tidak puas dengan hasil keputusan tersebut.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Nov 2014, 15:08 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2014, 15:08 WIB
Ilustrasi Upah Buruh
Ilustrasi Upah Buruh (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Seluruh pemerintah daerah (pemda) telah menetapkan Upah Minimum Provinsi atau UMP 2015 pada 20 November ini. Sayang dari pengumuman tersebut, masih banyak buruh yang tidak puas dengan hasil keputusannya sehingga mendesak pemerintah untuk merevisi kebijakan itu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil mengatakan, akan melihat permasalahan ini secara menyeluruh. Namun revisi UMP merupakan wewenang pemda.

"Kita akan lihat case by case. Saya pikir itu wewenang ada di pemda," ujar dia kepada wartawan di Jakarta, Selasa (25/11/2014).

Lebih jauh dirinya mengaku, pemerintah akan melihat daerah-daerah tertentu yang hanya memberikan UMP terjangkau namun banyak tumbuh industri padat karya. Dalam hal ini pemerintah akan memberikan insentif.

"Supaya di masa yang akan datang, jika sundulan UMP naik, buruh punya rumah di sana. Misalnya saja rusunami, sekolah, rumah sakit karena selama ini komponen besar buruh ada disitu," terang dia.

Sebagai contoh, kata Sofyan, pemerintah akan membangun perumahan, fasilitas kesehatan, sekolah, akses transportasi umum untuk buruh di kawasan industri.

"Kalau perlu terkoneksi dengan pelabuhan, kereta api, jalan tol, kita akan koneksikan sehingga ongkos logistik perusahaan jadi lebih efisien," paparnya.

Dia menyebut, daerah potensial untuk menggenjot industri manufaktur di Pantai Utara (Pantura) Jawa, Jawa Tengah, Jawa Timur, Pantai Timur Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Misalnya saja, daerah Sulawesi sangat berpotensi untuk dibangun kilang minyak, smelter dan lainnya.

"Sekarang sudah mulai dibicarakan dengan Menteri Perindustrian. Anggarannya dari penghematan BBM subsidi dan pemotongan anggaran perjalanan dinas, karena setiap sen dari alokasi itu akan digunakan untuk tujuan produktif," ucap Sofyan.

Dengan begitu, dijelaskannya, industri manufakturing di Indonesia akan bertumbuh pesat mengingat dalam kurun lima tahun tarakhir sektor ini mencatatkan pertumbuhan negatif. Akibatnya, Indonesia selalu impor barang baku, dan sebagainya.

"Sebab industri manufaktur kita tumbuh negatif karena harga komoditas saat itu mahal, akhirnya banyak orang punya pabrik meninggalkan pabriknya dan menjadi importir. Jadi manufakturing harus dihidupkan lagi dengan memberi insentif," tandas dia. (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya