Liputan6.com, Jakarta Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita, mengatakan Bank Indonesia tidak perlu menaikkan suku bunga BI (7 days reversed repo rate). Walaupun The Fed diprediksi akan menaikkan suku bunga tahun ini maksimal sampai 250 basis poin (bps).
Sehingga, secara keseluruhan suku bunga kebijakan The Fed akan mencapai 2,75 persen di akhir 2022. Kemudian pada tahun 2023, The Fed juga diprediksi akan mengerek suku bunga sebanyak 2 kali hingga akhir 2023, targetnya diprediksi mencapai 3,25 persen.
Baca Juga
Kalau itu terjadi, memang akan berpengaruh pada yield surat utang di Amerika, terutama yang bertenor panjang seperti 10 tahun ke atas.
Advertisement
Artinya, tahun ini US Treasury bond bisa terkerek sampai 3 persen dan tahun depan bisa maksimum sampai 3,5 persen.
“Jika menaikan suku bunga saat ini bisa mengganggu kinerja kredit dan investasi nasional, otomatis akan langsung berpengaruh pada kapasitas ekonomi nasional dalam menyerap tenaga kerja alias akan semakin memperburuk angka pengangguran nasional,” kata Ronny kepada Liputan6.com, Kamis (9/6/2022).
Menurutnya, keputusan BI untuk bertahan dengan suku bunga hari ini sangat tepat. BI tidak perlu terlalu reaktif dalam menyikapi berbagai rumor dan isu terkait suku bunga The Fed.
“Jika nanti harus dilakukan, maka harus berdasarkan pertimbangan makroprudensial yang komprehensif dan multiperspektif yang dikaitkan langsung dengan prospek performa ekonomi nasional ke depan,” ujarnya.
Maka secara kasat mata, naikknya suku bunga The Fed akan berpengaruh pada Indonesia yang masih mempertahankan suku bunga BI (7 days reversed repo rate) di angka 3,50. Karena yield SBN akan terpaut tipis dengan US Treasury Bond.
“Saya menduga, BI pun, selain melihat inflasi nasional secara komparatif yang masih rendah, juga melihat faktor pengangguran nasional yang terbilang kembali meninggi akibat pandemi,” pungkasnya.
The Fed Perketat Kebijakan Moneter, Apa Dampaknya ke Indonesia?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan The Fed sudah mulai mengambil langkah kebijakan moneter untuk mengatasi lonjakan inflasi di Amerika Serikat.
Salah satunya dengan menghentikan quantitative easing yang diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan, serta pengurangan balance sheet secara signifikan.
"Hal ini berpotensi membuat likuiditas global semakin ketat," kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna ke-24 di Gedung DPR-RI, Jakarta, Selasa (31/5).
Kombinasi dari kebijakan tingkat bunga dan penyesuaian balance sheet tersebut telah mendorong peningkatan yield surat utang yang berbasis US Treasury. Hal ini tentu saja akan memengaruhi berbagai kebijakan dan juga berpengaruh pada negara maju lainnya.
Sehingga berpotensi membuat volatilitas di pasar keuangan global meningkat. Mendorong keluarnya arus modal seiring dengan peningkatan risiko yang terjadi di negara berkembang.
Termasuk membuat cost of fund menjadi lebih tinggi. Selain itu, kebijakan dolar kuat (strong dollar policy) juga ditempuh oleh AS untuk mengatasi inflasi.
"Kombinasi tingginya suku bunga dan dolar yang kuat akan menyebabkan bertambah ketatnya akses pembiayaan serta meningkatnya beban pembayaran utang (debt services)," kata dia.
Advertisement
Kejadian di 2018
Berkaca pada peristiwa serupa di tahun 2018 lalu. Hal ini akan sangat berdampak pada cost of fund pemerintah. Sehingga kenaikan imbal hasil pada SBN tidak bisa lagi terhindarkan.
"Peningkatan tersebut akan berdampak pada peningkatan beban bunga APBN," ungkapnya.
Apalagi di tengah ketidakpastian global saat ini, diperkirakan kebijakan serupa akan terus diambil The Fed di tahun 2023. Sehingga mau tidak mau pemerintah harus meningkatkan tingkat suku bunga SBN 10 Tahun yang lebih tinggi daripada tahun 2022.
Namun demikian, kata dia, Pemerintah secara konsisten mengupayakan agar dapat menekan peningkatan suku bunga. Tujuannya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan menekan biaya utang dalam jangka panjang.
Selain itu pengembangan pasar keuangan dilakukan secara konsisten untuk mendorong terciptanya pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid. Sehingga berdampak dapat memberikan imbal hasil yang relatif rendah bagi Pemerintah.
"Kementerian Keuangan bersama dengan anggota KSSK lainnya (BI, OJK dan LPS), berkomitmen untuk memperkuat koordinasi dan sinergi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, menjaga volatilitas suku bunga serta menjaga pergerakan nilai tukar rupiah pada kisaran yang ditargetkan agar memberikan kepastian bagi para pelaku ekonomi," pungkasnya.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com