Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Ban Ki-moon mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menghentikan pelaksanaan hukuman mati di Republik Indonesia (RI). Ban juga telah berbicara dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi atas sikapnya tersebut.
Menanggapi hal itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Armanatha Nasir mengatakan, pihaknya menyadari bahwa pelaksanaan eksekusi mati merupakan suatu isu yang sejak dulu hingga kini masih diperdebatkan di dunia internasional.
Para lembaga penegak hak asasi manusia (HAM) mendesak agar hukuman mati tidak diberlakukan. Namun menurut jubir Kemlu, langkah Indonesia dalam menerapkan hukuman mati itu sejatinya tak melanggar hukum internasional.
Dia menjelaskan, Indonesia menerapkan hukuman mati ini dengan catatan hanya dilakukan untuk kasus yang dianggap besar, termasuk kasus narkoba kelas kakap. Jika tidak, pemerintah tidak akan melakukan hal tersebut.
"Jadi ini untuk kejahatan yang serius, kita tidak melanggar hukum internasional," tegas pria yang karib disapa Tata itu saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Minggu (15/2/2015).
Armanatha Nasir menjelaskan landasan hukum atas hukuman mati terhadap pelaku kejahatan berat itu tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik Pasal 6.
"Kemudian, Mahkamah Konstitusi pada 2007 menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati tidak melanggar hukum," tandas Tata.
Presiden Jokowi sebelumnya menjelaskan Indonesia harus tegas dalam penegakan hukum terkait narkoba. Sebab, dalam setiap hari sebanyak 50 orang meninggal karena narkoba di Indonesia, sehingga dalam setahun jumlahnya mencapai 18 ribu orang meninggal karena narkoba.
Menurut Jokowi, fakta tersebut menunjukkan bahwa Indonesia dalam keadaan darurat narkoba. Untuk itu, dia menolak permohonan grasi yang diajukan para terpidana mati narkoba. "Ada 64 yang sudah diputuskan (hukuman mati), mengajukan grasi, saya pastikan semuanya saya tolak, tidak akan," ucap Jokowi.
Jokowi pun menyatakan tidak gentar meskipun mengaku mendapatkan tekanan dari berbagai pihak. Termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), lembaga swadaya masyarakat (NGO), hingga mendapatkan surat amnesti internasional.
"Kalau ada pengampunan untuk narkoba dan makin lama dibiarkan, hancurlah kita," tegas Jokowi. "Kalau pas (ada) yang ketangkap, tidak ada lagi yang gram, semuanya kilo (gram) atau ton." (Riz/Ali)