Kisah Letusan Gunung di Indonesia yang Mengubah Dunia

Pada 1816, belahan utara bumi menjadi yang paling menderita akibat kekurangan pangan karena salju turun pada bulan Juni.

oleh Alexander Lumbantobing diperbarui 04 Jul 2017, 06:54 WIB
Diterbitkan 04 Jul 2017, 06:54 WIB
Kaldera Gunung Tambora
Kaldera Gunung Tambora (Wikipedia)

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan iklim masih saja diperdebatkan dengan sengit, walaupun kita semua sepakat bahwa perubahan iklim bukanlah hal baru. Tahun 1816 dikenal dalam sejarah sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas", "Tahun Kemelaratan", atau "Seribu Delapan Ratus dan Mati Membeku."

Alasan penamaan itu adalah suatu anomali cuaca yang menyebabkan suhu global anjlok 0,7 hingga 1,3 derajat Fahrenheit. Saat itu, belahan utara Bumi menjadi yang paling menderita akibat kekurangan pangan karena salju turun pada bulan Juni. Bulan Agustus pun membeku.

Dikutip dari The Vintage News, Senin (3/7/2017), penyebab keadaan ekstrem itu tidak dimengerti sepenuhnya, tapi ada beberapa teori yang mengaitkannya dengan letusan gunung berapi pada dua tahun sebelumnya.

Pada 1815, terjadi letusan dahsyat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Indonesia, yang saat itu masih berada di bawa kekuasaan VOC Belanda. Letusan itu dilaporkan berada pada skala 7 menurut Volcanic Explosivity Index (VEI). Banyak materi vulkanik terlontar ke atmosfer.

Suatu letusan lain yang diduga menyebabkan Tahun Tanpa Musim Panas adalah letusan Gunung Mayon di Filipina pada 1814.

Apalagi, bumi baru saja melewati pendinginan global selama beberapa abad, yang dikenal dengan Zaman Es Kecil, yang berlangsung dari Abad ke-16 hingga 19. Masa itu pun sudah menyebabkan krisis pertanian yang terasa dan kemiskinan di seantero Eropa.

Ahli sejarah John D Post menjelaskan peristiwa 1816 sebagai "krisis terbesar kemiskinan di dunia Barat." Pada saat itu, New England, Kanada Atlantik, dan sebagian besar Eropa Barat diduga paling terpukul.

Pertanian terganggu dan terjadi gagal panen sehingga muncul berbagai kerusuhan di Inggris dan Prancis. Keadaan di Swiss lebih parah lagi sehingga pemerintah menetapkan keadaan darurat nasional. Keadaan diperburuk dengan hujan lebat terus menerus yang menyebabkan meluapnya sungai-sungai besar Eropa.

Dampak Bencana pada Perabadan

Ilustrasi Frankenstein (Wikipedia)

Walau banyak hal buruk yang diakibatkannya, tingginya kadar tephra, yaitu bahan vulkanik yang terlepas dari angkasa ke atmosfer, telah menciptakan pemandangan unik matahari terbenam.

Fenomena itu ditangkap dalam lukisan-lukisan pelukis Inggris bernama MW Turner yang menjadikannya inspirasi lukisan. Fenomena serupa juga terlihat setelah letusan Krakatoa (Krakatau) pada 1883 dan Gunung Pinatubo, Filipina, pada 1991.

Kenyataannya, manusia adalah makhluk yang gigih. Dalam suasana muram itu hadirlah beberapa temuan yang bernilai. Kelangkaan pangan meniadakan umpan bagi kuda-kuda sehingga Karl Drais dari Jerman menciptakan alat transportasi baru, yaitu draisine atau velocipede, cikal bakal sepeda.

Justus von Liebig, seorang ahli kimia yang juga mengalami penderitaan kelaparan semasa kanak-kanak di Jerman, kemudian mengabdikan hidupnya mempelajari nutrisi tanaman dan mengembangkan penggunaan pupuk mineral.

Amolasi itu juga membawa perubahan-perubahan sosial. Kegagalan panen di Amerika Utara ikut membentuk komunitas "American Heartland" karena banyak keluarga meninggalkan New England dan hijrah ke tempat-tempat dengan cuaca yang lebih ramah semisal di kawasan Midwest.

Migrasi itu berperan dalam pendirian negara bagian Indiana pada Desember 1816 dan Illinois dua tahun kemudian. Ahli sejarah LD Stillwell juga mengamati bahwa negara bagian Vermont mengalami penyusutan pesat jumlah penduduk sebanyak 15 ribu orang, setara dengan pertumbuhan jumlah selama 7 tahun sebelumnya.

Draisine buatan 1818, cikal bakal sepeda yang tercipta akibat dampak perubahan iklim di Abad ke-19. (Sumbe Wikimedia Commons)

Perubahan-perubahan besar juga terjadi dalam setiap bidang kemasyarakatan.

Dalam dunia sastra, hujan lebat turun terus-menerus di Eropa. Di Swiss, Mary Godwin, Percy Shelley, Lord Byron, dan John William Polidori sedang berlibur dan menginap di Villa Diodati di tepi Danau Jenewa.

Karena terjebak dalam vila, mereka mengisi waktu dengan berlomba mengarang cerita paling menyeramkan. Lahirlah kisah Frankenstein atau Modern Prometheus oleh Mary Godwin (kemudian menjadi Mary Shelley).

Sementara itu, Lord Byron menuliskan A Fragment yang menjadi inspirasi bagi Polidori untuk menulis The Vampyre, cikal-bakal novel horor Dracula di zaman Victoria.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya