AS Tegaskan Opsi Militer atas Korut Masih Terbuka

AS mengatakan, tak segan menempuh opsi militer demi melindungi diri dan sekutu. Pernyataan itu adalah respons atas uji coba rudal Korut.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 06 Jul 2017, 07:48 WIB
Diterbitkan 06 Jul 2017, 07:48 WIB
Dubes AS untuk PBB Nikki Haley (baju merah) dalam pertemuan darurat DK PBB terkait peluncuran rudal Korut
Dubes AS untuk PBB Nikki Haley (baju merah) dalam pertemuan darurat DK PBB terkait peluncuran rudal Korut (AP Photo/Bebeto Matthews)

Liputan6.com, New York - Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB Nikki Haley mengatakan, uji coba rudal balistik antar benua (ICBM) terbaru yang dilakukan Korea Utara menunjukkan "eskalasi militer yang jelas dan tajam". Diplomat perempuan itu pun menegaskan, Washington tetap membuka opsi atas tindakan militer.

Pernyataan Haley tersebut disampaikan pada Rabu waktu New York dalam sebuah pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB. Sang dubes memperingatkan China dan negara lain yang mendukung Korut bahwa AS dapat memutus perdagangan dengan mereka jika mereka tak berhenti menyokong rezim Kim Jong-un.

"AS siap menggunakan seluruh kemampuannya untuk membela diri dan sekutu kami. Salah satu kemampuan kami terletak pada kekuatan militer yang cukup besar. Kami akan menggunakannya jika diharuskan, tapi kami lebih memilih untuk tidak ke arah sana," ujar Haley seperti dikutip dari CNN pada Kamis (6/7/2017).

Haley menambahkan "dunia memperhatikan" pertemuan yang digelar di markas besar PBB tersebut dan menyerukan "eskalasi respons dalam bidang diplomatik dan ekonomi". Ia mengimbau agar kelak tidak ada yang menentang resolusi PBB atas Korut.

"Ada negara-negara yang membiarkan, bahkan mendukung perdagangan dengan Korut, di mana hal itu melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB. Dan jika negara-negara tersebut ingin melanjutkan perdagangan dengan AS, maka itu tak akan terjadi," terang mantan gubernur South Carolina itu.

Secara khusus, Haley menyebut China. Sekitar 90 persen perdagangan Korut terjalin dengan Tiongkok.

"Sebagian besar beban penegakan sanksi PBB ada pada China. Kami akan bekerja sama dengan China...tapi kami tidak akan mengulang pendekatan canggung di masa lalu yang membawa kita pada masa-masa gelap ini," ungkap Haley.

Pada Rabu, 5 Juli 2017, Presiden Donald Trump melalui media sosial kesayangannya Twitter menuliskan, "Perdagangan antara China dan Korut tumbuh nyaris 40 persen pada kuartal pertama..."

Pertemuan Dewan Keamanan pada Rabu kemarin tersebut merupakan respons atas uji coba pertama ICBM oleh Korut. Menurut pejabat AS itu, rudal jenis baru yang diuji coba memiliki jarak tempuh sekitar 5.500 kilometer dan mampu mencapai Alaska.

Peringatan Haley tersebut tidak berdampak apapun terhadap China dan Rusia. Keduanya memiliki rencana sendiri untuk mendesak Korut menghentikan uji coba rudal.

Selain menempuh upaya diplomatik, Washington sudah berreaksi langsung atas peluncuran rudal antarbenua Korut, yakni dengan menggelar latihan gabungan bersama Korea Selatan.

Sementara itu, Wakil Dubes Rusia untuk PBB Vladimir Safronkov mengungkapkan ketidakyakinannya bahwa misil yang ditembakkan Korut adalah jenis ICBM. Menurutnya, sanksi bukanlah solusi atas keagresifan Korut.

"Sanksi tidak bisa menjadi obat bius politik" tutur Safronkov.

Adapun Dubes China untuk PBB Liu Jieyi yang saat ini menjabat sebagai presiden DK PBB belum memberikan pernyataan sikap dalam pertemuan tersebut. Di satu sisi ia mengkritik Korut, namun di sisi lain ia juga mengkritik AS dan Korsel yang menerapkan sistem pertahanan anti-rudal (THAAD) di Negeri Ginseng.

Liu menekankan bahwa penerapan THAAD "secara serius merongrong kepentingan keamanan strategis" China dan membuat upaya denuklirisasi Semenanjung Korea "tidak kondusif". Diplomat senior Tiongkok tersebut mengatakan, sanksi tambahan atas Korut harus berdasarkan kehendak anggota DK PBB.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya