Liputan6.com, Beijing - Xi Jinping kini dijuluki "Mao Zedong 2.0". Keduanya sama-sama pemimpin China, filosofi politik mereka juga diabadikan dalam Konstitusi Tiongkok.
Dan, ketika Ketua Mao berkuasa seumur hidup, jika mau, Xi Jinping kini juga bisa melakukan hal yang sama: jadi presiden hingga akhir hayat.
Advertisement
Baca Juga
Pada Minggu 11 Maret 2018, Kongres Rakyat China menghapuskan batas masa jabatan presiden yang awalnya dipatok selama dua periode. Keputusan itu menganulir aturan yang diberlakukan mantan pemimpin China, Deng Xiaoping pada tahun 1982.
Tujuan kala itu adalah untuk mencegah terulangnya kediktatoran seumur hidup pada era Mao Zedong, di mana gagasannya soal Revolusi Kebudayaan bermuara pada kekacauan dan pertumpahan darah.
Kini, dominasi Xi Jinping sebagai pemimpin China tak tergoyahkan. Pria tak banyak omong, kutu buku, yang dulu hanya dikenal sebagai 'suaminya penyanyi tenar Li Peng Yuan' menjelma sebagai sosok berkuasa.
Xi Jinping adalah kepala negara, pemimpin Partai Komunis Tiongkok, sekaligus panglima tertinggi angkatan bersenjata yang beranggotakan dua juta tentara aktif.
Keputusan Kongres Rakyat China mendapat dukungan nyaris mutlak: 2.958 setuju, 2 menentang, dan tiga abstain.
"Perubahan pada peran presiden dalam konstitusi akan memperkuat dan meningkatkan sistem kepemimpinan China," kata Sekretaris Jenderal Kongres Rakyat China, Wang Chen, soal perpanjangan masa jabatan Xi Jinping, seperti dikutip dari Sydney Morning Herald, Senin (12/3/2018).
Namun, tak semua sepakat. "Keputusan tersebut menandai kemunduran terbesar dalam sistem hukum China sejak era reformasi dan keterbukaan tahun 1980-an," ujar Zhang Lifan, seorang komentator politik independen yang berkantor di Beijing seperti dikutip dari Voice of America.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pun menanggapi perkembangan yang terjadi di China. Setengah bercanda, dalam pidato di acara makan siang dengan anggota Partai Repulik di Mar-a-Lago, miliarder nyentrik itu berkata, "Dia mampu melakukan itu. Saya pikir, itu hebat. Mungkin kita perlu menirunya suatu hari nanti...," kata dia seperti dikutip dari CNN.
Di sisi lain, Xi Jinping sendiri melihat dirinya sebagai sosok reformis, yang bisa memimpin proses modernisasi China pada 2035, dan menjadikan Tiongkok sebagai kekuatan global pada 2050. Menurut para pendukungnya, mimpi besar itu tak mungkin terwujud hanya dalam dua periode jabatan presiden.
Gagasan pemimpin berusia 64 tahun tersebut tercantum dalam doktrin politik "Xi Jinping Thought on Socialism with Chinese Characteristics for the New Era" atau "Pemikiran Xi Jinping tentang Sosialisme Berkarakteristik China menuju Era Baru".
Pemikiran yang dituangkan dalam 14 menit menunjukan agenda Xi Jinping yang hendak mengkombinasikan persatuan bangsa, kekuatan ekonomi, serta menggencarkan taji Tiongkok di kancah dunia.
Benarkah hanya itu alasannya?
Sinyal Kudeta di Partai Komunis?
Ini adalah rahasia umum: Xi Jinping dan keluarganya adalah korban kebijakan Mao Zedong.
Ayahnya, Xi Zhongxun dikenal sebagai pahlawan revolusi komunis China, petinggi partai, yang kemudian terpilih menjadi wakil perdana menteri di bawah PM Zhou Enlai.
Lahir pada 1953, empat tahun setelah deklarasi Republik Rakyat China, Xi Jinping menghabiskan masa kecilnya sebagai anak pejabat tinggi, bergelimang fasilitas.
Ia dan keluarganya tinggal di Zhongnanhai, kompleks 'kota terlarang' yang menjadi tempat tinggal para pemimpin dan pejabat tinggi Tiongkok. Xi Jinping kala itu melihat dunia luar, tanah airnya yang baru bangkit dari perang, dari balik kaca hitam mobil dinas sang ayah.
Namun, nasibnya berubah 180 derajat. Pada tahun 1965, ayahnya dilengserkan paksa dari jabatannya, ditangkap, diarak, disiksa saat diinterogasi, lalu dipaksa jadi pekerja pabrik traktor. Xi senior jadi korban 'pembersihan' partai atas perintah Mao Zedong.
Barisan pemuda radikal kemudian menyerbu rumahnya, memaksa Xi Jinping dan keluarganya melarikan diri. Salah satu saudara perempuannya tewas di tengah kekacauan tersebut.
Sampai-sampai, Xi Jinping dipaksa berpura-pura sebagai musuh revolusi di depan para pendukung Revolusi Kebudayaan. Kala itu, ia dikecam beramai-ramai, termasuk oleh ibunya sendiri yang terpaksa melakukannya, dengan hati remuk.
Selama sekolah, Xi Jinping kerap menjadi korban perisakan (bullying). Ia dijuluki 'anak geng hitam (black gang)' -- julukan pada para elite terguling. Masa mudanya juga pernah mencicipi tahanan remaja meski tak lama.
Saat usianya 15 tahun, Mao mengeluarkan dekrit yang memerintahkan jutaan anak muda turun ke desa, Xi pindah dari tahanan ke Desa Liangjiahe di Provinsi Shaanxi. Bersama sejumlah pemuda, ia bekerja di lahan pertanian, membangun waduk, dan memperbaiki jalan.
Tak ada kemewahan yang ia dapatkan. Setiap hari Xi makan bubur, lalapan sayur mentah, dan roti kukus sebagai bekal kerja keras. Malam harinya, ia sibuk membaca tulisan-tulisan Mao Zedong dengan mengandalkan temaram cahaya lentera. Selama itu, ia tinggal dalam gua.
"Ia sangat menderita di bawah pemerintahan Mao," kata Yongyi Song, seorang sejarawan sekaligus pustakawan di Los Angeles yang telah lama mempelajari Revolusi Budaya Tiongkok, seperti dikutip dari situs New York Times. Peruntungan Xi Jinping akhirnya kembali saat usianya 25 tahun. Kala itu sang ayah mendapatkan rehabilitasi dan kembali ke lingkaran kekuasaan.
Jika Xi Jinping pernah menderita di bawah Mao Zedong, mengapa kini ia menyusuri jalan yang sama?
Isu Kudeta
Sejumlah spekulasi beredar soal itu, termasuk soal dugaan perang antarfaksi dan bahkan usaha kudeta yang gagal di internal Partai Komunis.
Seperti dikutip dari Business Insider Australia, Senin (12/3/2018) meski China menganut sistem satu partai, diduga Partai Komunis yang berkuasa pecah jadi dua: "kubu populis dan elitis".
Menurut mantan Presiden Jiang Zemin, kubu elitis beranggotakan para 'pangeran' yang berasal dari keluarga para pejabat tinggi.
Xi Jinping, awalnya yang tidak memiliki aliansi ke faksi manapun, menjadi presiden lima tahun yang lalu, ketika koalisi Jiang Zemin, memiliki kontrol luas selama hampir dua dekade, demikian menurut SinoInsider, sebuah firma konsultasi yang berfokus pada kepemimpinan China.
"Sejak menjabat pada tahun 2012, Xi Jinping terlibat pertempuran mati-matian dengan faksi politik Jiang Zemin yang berpengaruh," tulis Don Tse, CEO SinoInsider, dan Larry Ong, seorang analis senior.
Pada tahun 2012 dan 2017, rumor beredar bahwa faksi Jiang merencanakan sebuah kudeta politik. Entah benar atau tidak, Xi kemudian ambil tindakan tegas.
"Caranya, dengan melakukan reformasi politik yang membantunya mengkonsolidasikan kekuatan dan meminggirkan faksi Jiang," kata Tse dan Ong, mengacu pada tindakan tegas antikorupsi yang dilakukan Xi Jinping.
Dalam pidato 2015, Xi menuduh lima anggota partai senior merencanakan, "konspirasi politik untuk menghancurkan dan memecah belah partai."
Para ahli menganggap, kalimat itu mengindikasikan adanya kudeta -- meski upaya pengambilalihan kekuasaan secara paksa, di atas kertas, nyaris tak mungkin terjadi di China.
Meski demikian, sejumlah pejabat sempat mengindikasikan terjadinya upaya kudeta. Salah satunya Liu Shiyu, Ketua Komisi Regulasi Sekuritas China. Ia menyebut, sejumlah kader partai berencana merebut kekuasaan.
Sejumlah nama ia sebut: Bo Xilai, Zhou Yongkang, Ling Jihua, Xu Caihou, Guo Boxiong, dan Sun Zhengcai. Semuanya kini tersingkir dari kekuasaan.
"Mereka memiliki posisi tinggi dan kekuasaan besar dalam partai, namun semuanya sangat korup dan berencana menggulingkan kepemimpinan partai dan merebut kekuasaan negara," kata dia dalam panel diskusi di sela-sela Kongres Partai Komunis China pada Oktober 2017, seperti dikutip dari South China Morning Post.
Advertisement
Pertaruhan Besar buat Xi Jinping
Kembalinya China ke figur pemimpin kuat -- yang mengarah pada kultus individu -- membangkitkan kenangan buruk kesengsaraan bangsa di bawah Mao Zedong.
Gagasan Ketua Mao tentang Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward) dan Revolusi Kultural tak hanya gagal mendongkrak perekonomian China, namun juga merenggut setidaknya 20 ribu jiwa.
Sejumlah pihak khawatir, Xi Jinping akan mengulangi kesalahan yang sama. Jika itu sampai terjadi, bukan hanya nasib China yang dipertaruhkan.
Tiongkok, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, adalah penyumbang terbesar pertumbuhan PDB global. Itu berarti, dampak kebijakan Beijing akan jauh melampaui batas negaranya.
Profesor Steve Tsang, Direktur SOAS China Institute di University of London berpendapat, Xi Jinping juga sedang bertaruh atas semua manuver politiknya. Pertaruhan yang besar.
"Xi telah menciptakan banyak musuh," kata Tsang seperti dikutip dari Time, Senin (12/3/2018). "Tak bisa dipastikan, setelah ia tak lagi berkuasa, pasca-tiga atau empat periode menjabat, ia dan keluarganya akan dibiarkan bebas."
Baru hitungan jam setelah Kongres Rakyat China menghapus batasan masa jabatan presiden, pendapat pro dan kontra bermunculan.
Barisan penentang meminta keputusan tersebut dibatalkan. Menurut mereka, amandemen tersebut berpeluang memicu sebuah bencana yang berisiko menenggelamkan China ke era baru pergolakan politik dan kediktatoran tunggal.
"Ini bisa menghancurkan China dan rakyatnya. Jadi saya tidak bisa berdiam diri. Saya harus membuat mereka tahu bahwa ada pihak yang menentang keputusan itu," ucap Li Datong, seorang pensiunan editor yang menjadi wajah oposisi liberal.
Sementara itu, pengamat politik Cary Huang mengatakan, upaya Xi untuk menjadi "penguasa de facto" China merupakan babak paling kontroversial dalam perkembangan sejarah politik negara berjuluk Negeri Tirai Bambu tersebut.
"Sejarah telah menunjukkan bahwa banyak pemimpin politik yang mengejar jabatan seumur hidup belum berhasil mewujudkan visinya. Beberapa dari mereka justru digulingkan ... sebagian lainnya dibunuh oleh lawan politiknya," tutur Huang.
Ia menambahkan, "Taruhannya sangat tinggi, yakni permusuhan baru di antara rival politik dan penindasan akibat perbedaan politik menempatkan China pada risiko mengulang tragedi era Mao."
Ada sisi positifnya?
Di sisi lain, sejumlah pihak mengajukan argumentasi berseberangan.
Dylan Loh Ming Hui, Peneliti dan Kandidat PhD di University of Cambridge menggarisbawahi beberapa hal positif yang mungkin dapat terjadi dalam kepemimpinan Xi Jinping saat ia resmi menjadi presiden seumur hidup.
"Stabilitas dan modal politik yang ia miliki akan berpengaruh besar pada keinginan China dalam melakukan reformasi keuangan dan sosial, memperbaiki sistem perbankan, mengatur kembali alokasi dan relokasi modal, mengerjakan kembali struktur regulasi negara, dan menghapus ketidakmerataan pembangunan ... Semua itu akan berdampak pada proses berkembangnya Tiongkok menjadi kekuatan ekonomi global," kata dia seperti dikutip dari The Wire.
Di sisi lain, lanjut Dylan, kepemimpinan seumur hidup Xi akan membuat kecewa banyak pejabat dan entitas yang korup atau berpotensi korup, mengingat betapa gencar dan efektif program pemberantasan rasuah yang dilakukan oleh sang presiden.
"Kampanye antikorupsi yang dilakukan oleh Xi Jinping, meski dinilai oleh banyak pihak memiliki agenda terselubung, justru memberikan banyak manfaat bagi perekonomian China," tambah dia,
Dylan melandaskan argumentasinya pada studi yang dilakukan oleh Erica Frantz dan Andrea Kendall-Taylor dari Bridgewater University.
Studi itu menunjukkan bahwa rezim otoriter yang terinstitusionalisasi dan didukung oleh seluruh elemen pemerintahan 'cenderung relatif stabil' jika dibandingkan dengan rezim otoriter yang tidak terinstitusionalisasi atau kediktatoran.
Efek ke Indonesia?
Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth sepakat pada deduksi bahwa jabatan presiden seumur hidup Xi Jinping mampu membawa reformasi dan stabilitas pada sejumlah aspek di China.
"Sosok Xi Jinping selalu diasosiasikan dengan pemimpin yang memproyeksikan China untuk menjadi kekuatan baru dunia, menggeser Amerika Serikat. Betul, China punya tekad untuk menyaingi AS dan menjadi kekuatan baru dunia. Tapi kita lihat konteks domestik mereka ... Dengan meraih tujuan global itu, dampaknyaa adalah menambah keuntungan tersendiri bagi pertumbuhan dalam negeri China," kata Adriana saat dihubungi Liputan6.com, Senin 12 Maret 2018.
Adriana melanjutkan, saat ini, pemerintah China pun begitu gencar berfokus pada pengembangan pertahanan, sains dan teknologi, industri, dan pertanian.
Adriana Elisabeth mengimbau agar Indonesia dan banyak negara lain justru memanfaatkan dengan cerdik dinamika politik di China menyusul situasi terbaru.
"Indonesia mesti lihat dengan bijak, taktis dan tak perlu khawatir. Kalau ada opportunity, bisa kita ambil. Kalau menguntungkan dan menuai hasil positif, kenapa tidak kita manfaatkan. Daripada kita sibuk khawatir dan menaruh curiga," kata Adriana.
Sementara, Pemerhati China yang merupakan Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Darang S Chandra menyoroti isu penegakan hak asasi manusia (HAM).
"Isu HAM tidak akan menjadi prioritas," ujar Darang saat dihubungi Liputan6.com, Senin 12 Maret 2018.
"Seperti Indonesia pada rezim Soeharto, China pada kepemimpinan seumur hidup Xi Jinping nanti akan lebih berfokus pada pembangunan ekonomi, militer, dan menajamkan taji negara di luar negeri," kata dia.
Darang menambahkan, apapun yang dianggap mengganggu stabilitas pemerintahan akan ditanggapi represif. "Suara masyarakat yang memprotes kebijakan pemerintah, akan diredam. Untuk itulah, HAM bukan menjadi fokus utama," lanjut Darang.
Lantas bagaimana dengan potensi dampak kepemimpinan kekal Xi Jinping bagi kawasan?
"Saat ini mereka telah mengembangkan pangkalan militer di Djibouti, Afrika dan kehadiran militer di Laut China Selatan ... Mungkin nanti setelah Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup, Tiongkok akan banyak berfokus ke dua wilayah itu dan lokasi lainnya dalam hal mempertahankan kehadiran mereka," kata Darang.
"Mungkin tidak melakukan peningkatan kuantitas dan aktivitas militer hingga berujung pada perang. Tapi China tetap akan mempertahankan status quo mereka di wilayah itu. Terutama di Laut China Selatan, karena 60 persen minyak dan gas mereka diangkut lewat jalur pelayaran maritim itu," lanjutnya.
Secara terpisah, George Magnus, Peneliti di China Centre Oxford University Inggris menilai bahwa dunia tidak boleh bersikap terlampau khawatir dan curiga dengan dinamika politik terkini terkait China dan Xi Jinping.
"Negara-negara harus menyetujui pendekatan kolektif non-agresif dengan China. Mereka harus tetap mengutamakan dialog, kompromi, dan tawar menawar ... begitu juga hubungan yang resiprokal," kata Magnus seperti dikutip dari Financial Times. "Namun, harus tetap waspada."