Persiapan Jurnalis Indonesia ke Medan Perang Ukraina, Rompi Anti-Peluru hingga Beban 13 Kg

Tiga jurnalis perang Indonesia, diharuskan membawa beban lebih dari 13 kg setiap harinya. Selain fisik, banyak hal lain yang juga harus dipersiapkan untuk melakukan liputan di Ukraina.

oleh Yasmina Shofa Az Zahra diperbarui 24 Feb 2023, 18:02 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2023, 18:02 WIB
Atribut Jurnalis Perang Ukraina
Atribut Pelindung Jurnalis Perang Indonesia di Ukraina. (Liputan6.com/Yasmina Shofa)

Liputan6.com, Jakarta - Melalui kegiatan “Covering the War in Ukraine: The View from Indonesian Journalists”, Kamis (23/2/2023), tiga orang jurnalis Indonesia membagikan pengalamannya meliput berita langsung ke medan perang, Ukraina.  

Tiga jurnalis Indonesia yaitu Teungku Fajri Sabri, jurnalis TVRI; Kris Mada, jurnalis Harian Kompas; dan Raymundus Rikang, jurnalis Tempo, membagikan kisah dan perjuangan mereka mencari kebenaran di Ukraina di acara yang diselenggarakan di @america Pacific Place, Jakarta, tersebut.

Perang Ukraina dan Rusia terjadi sejak 24 Februari 2022 dimulai dari serangan yang dilancarkan oleh Rusia ke negara tetangganya itu. Perang ini merupakan keberlanjutan dari konflik yang terjadi sejak Februari 2014.

Tiga jurnalis perang Indonesia tersebut, diharuskan membawa beban lebih dari 13 kg setiap harinya. Selain fisik, banyak hal lain yang juga harus dipersiapkan untuk melakukan liputan di Ukraina.

Jurnalis perang atau koresponden perang tentu akan menghadapi medan yang berbeda dengan jurnalis lainnya, sehingga persiapannya pun juga berbeda.

Berikut persiapan yang dilakukan tiga jurnalis Indonesia sebelum ke medan perang Ukraina :

1. Fisik yang Prima

Berat helm dan rompi anti-peluru dapat mencapai 13 kg, kedua atribut tersebut wajib untuk selalu digunakan para jurnalis selama berkegiatan. Selain pelindung, peralatan lainnya seperti kamera, laptop, dan lainnya juga harus mereka pikul setiap hari. Membutuhkan fisik yang kuat dan prima untuk dapat memikul beban berat setiap harinya.

"Hari-hari harus dibawa di badan itu 20-an kilo dan harus bisa lari dalam situasi itu," jelas Kris Mada yang sempat menetap selama kurang lebih satu bulan di Ukraina.

2. Kelengkapan Dokumen

Tiga Jurnalis Perang Indonesia
Tiga jurnalis Indonesia berbagi pengalaman menjadi jurnalis perang ke Ukraina. (Liputan6.com/Yasmina Shofa)

Selain visa Ukraina dan visa Schengen untuk memasuki wilayah Schengen, ketiga jurnalis tersebut juga perlu mendapatkan akreditasi dari militer Ukraina.

"Di tengah situasi perang, mereka (militer) lah yang punya kendali atas situasi keamanan sehingga kita mengirimkan paspor, semacam aplikasi lamaran situs militer, dan itu kami menunggu (untuk mendapat akreditasi)," ujar Raymundus Rikang yang mendapatkan akreditasinya dengan menunggu selama lima hari, lebih cepat dari para perkiraannya.

Menurut Raymundus, informasi yang ia dapatkan menyebutkan terdapat sekitar 2.000-2.500 pelamar dan untuk mendapatkan akreditasi militer membutuhkan waktu satu bulan atau lebih cepat. 

3. Pelajari Situasi dan Kondisi Medan Perang

Melakukan pengecekan situasi dan kondisi penting dilakukan sebelum benar-benar merasakannya secara langsung. Raymundus berkata bahwa ia sempat berdiskusi tentang situasi dan kondisi di Ukraina dengan pihak kedutaan Ukraina di Indonesia dan kedutaan Indonesia di Kyiv, Ukraina.

4. Menghadapi Suhu Dingin

Jurnalis Perang Indonesia di Ukraina
Dokumentasi kegiatan liputan jurnalis Indonesia di Ukraina. (Liputan6.com/Yasmina Shofa)

Teungku Fajri Sabri, jurnalis TVRI, mengatakan bahwa ia sempat merasakan suhu minus 30 derajat. Teungku datang ke Ukraina saat musim dingin. Raymundus, jurnalis Indonesia pertama yang datang ke Ukraina, dan Kris juga sempat merasakan suhu dingin Ukraina.

Kris mengakui suhu dingin cukup membuat kesulitan, "Kita dari negara tropis cukup agak kesulitan, tapi bukan kendala yang berat."

Tak mudah bagi mereka untuk dapat memasuki wilayah Ukraina. Selain dari banyaknya persiapan, rute perjalanan ke lokasi pun cukup sulit karena ditutupnya penerbangan langsung. 

Tiba di Ukraina pun mereka dihadapkan pada kondisi yang sama sekali tidak nyaman. Kondisi wilayah yang hancur, tidak adanya listrik, tidak ada pemanas juga air panas. Ketiga jurnalis tersebut juga diwajibkan untuk memiliki aplikasi penanda serangan yang sangat sering mengeluarkan sirine bahaya.

Kondisi memprihatinkan yang ketiga jurnalis ini saksikan secara langsung membuat mereka sangat menyayangkan bagaimana konflik antar negara justru mengorbankan warga sipil mereka sendiri. 

Peran Jurnalis Perang, Mengatasi Informasi Simpang Siur

Peran Jurnalis Perang
Presentasi Raymundus Rikang terkait peran jurnalis perang di acara @america (24/02/2023). (Liputan6.com/Yasmina Shofa)

Selama terjadinya perang Ukraina dan Rusia, informasi dari berbagai sumber terus berdatangan. Simpang siurnya informasi akan menyulitkan pembaca untuk membedakan mana informasi yang benar dan tidak berpihak.

Datangnya ketiga jurnalis Indonesia tersebut merupakan bentuk dari ketegasan mereka atas berita yang nantinya akan dipublikasikan. Tidak hanya ingin sekedar mengutip sumber dari media lain, mereka ingin mengambil sumber langsung dari garis depan.

Menurut Raymundus Rikang, bagi seorang jurnalis perang atau koresponden perang, ditugaskan di garis depan merupakan kesempatan yang baik dan sangat sayang untuk dilewatkan.

"Newsroom akan selalu berusaha untuk mendapatkan cerita dari garis terdepan, lebih-lebih di perang Ukraina Rusia, kita tau disinformasi, misinformasi propaganda itu justru lebih banyak yang datang ke kita sebagai pembaca Indonesia.” jelas Raymundus.

Dengan mengambil sumber secara langsung ke lokasi kejadian, mereka dapat memberikan informasi yang benar dan jelas juga meluruskan misinformasi dan disinformasi yang terjadi. 

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia?
INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya