Jerman dan Polandia Pastikan Tidak Akan Kirim Pasukan ke Ukraina

Rusia memperingatkan bahwa konflik langsung antara NATO dan Rusia tidak akan terhindarkan jika aliansi tersebut mengirimkan pasukan tempurnya ke Ukraina.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 28 Feb 2024, 07:08 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2024, 07:08 WIB
Perang Rusia - Ukraina
"Salah satu dari mereka, seorang pria berusia 35 tahun, kini dalam kondisi serius," imbuhnya. (Ukrainian Emergency Service via AP)

Liputan6.com, Moskow - Dua raksasa militer Eropa, Jerman dan Polandia, pada Selasa (26/2/2024) menegaskan mereka tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina, menyusul adanya laporan bahwa beberapa negara Barat mungkin mempertimbangkan untuk melakukan hal tersebut ketika perang dengan Rusia memasuki tahun ketiga.

Dalam pertemuan di Praha pada Selasa, Perdana Menteri Polandia Donald Tusk mengatakan, "Polandia tidak berencana mengirim pasukannya ke Ukraina." Senada, Perdana Menteri Petr Fiala dari Republik Ceko memastikan negaranya juga tidak ingin melakukan hal itu.

Kremlin sendiri memperingatkan bahwa konflik langsung antara NATO dan Rusia tidak akan terhindarkan jika aliansi tersebut mengirimkan pasukan tempurnya ke Ukraina.

"Dalam hal ini, kita perlu berbicara bukan tentang kemungkinannya, namun tentang keniscayaan (konflik)," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, seperti dilansir AP, Rabu (28/2).

Peringatan Rusia datang setelah Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan pengiriman pasukan darat Barat tidak boleh "dikesampingkan" di masa depan. Macron menjadi tuan rumah konferensi para pejabat tinggi dari lebih dari 20 negara Barat pendukung Ukraina pada Senin (26/2).

Kanselir Jerman Olaf Scholz tampaknya punya pandangan berbeda terhadap apa yang terjadi di Paris. Dia mengatakan para peserta telah sepakat "tidak akan ada pasukan darat, tidak ada tentara di tanah Ukraina yang dikirim ke sana oleh negara-negara Eropa atau negara-negara NATO".

Gagasan mengirim pasukan merupakan hal tabu, terutama karena NATO berupaya menghindari terseret ke dalam perang yang lebih luas dengan Rusia yang memiliki senjata nuklir. Tidak ada yang menghalangi anggota NATO untuk bergabung dalam upaya tersebut secara individu atau kelompok, namun organisasi itu sendiri hanya akan terlibat jika seluruh 31 anggota setuju.

Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg mengatakan kepada AP, "Sekutu NATO memberikan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada Ukraina. Kami telah melakukan hal itu sejak tahun 2014 dan meningkatkannya setelah invasi besar-besaran. Namun, tidak ada rencana untuk mengerahkan pasukan tempur NATO di Ukraina."

Dukungan Tidak Mematikan NATO

Perang Rusia Ukraina
Surat kabar New York Times melaporkan pada Agustus, dengan mengutip sumber pejabat AS, bahwa jumlah tentara Ukraina yang tewas mencapai hampir 70.000 orang. (AP Photo/Efrem Lukatsky)

Sementara itu, Perdana Menteri Slovakia Robert Fico menuturkan pemerintahnya tidak berencana mengusulkan penempatan pasukan, namun beberapa negara sedang mempertimbangkan apakah akan mencapai kesepakatan bilateral untuk menyediakan pasukan guna membantu Ukraina menangkis invasi Rusia.

Fico tidak memberikan rincian lebih lanjut. Macron menghindari pula menyebutkan nama negara mana pun, dengan mengatakan bahwa dia ingin mempertahankan "ambiguitas strategi".

NATO sebagai sebuah aliansi hanya memberikan bantuan dan dukungan tidak mematikan kepada Ukraina seperti pasokan medis, seragam, dan peralatan musim dingin, namun beberapa anggota mengirimkan senjata dan amunisi atas kemauan mereka sendiri, secara bilateral atau dalam kelompok.

Keputusan untuk mengirim pasukan dan mempertahankan penempatan mereka dalam jangka panjang akan memerlukan kemampuan transportasi dan logistik yang hanya dapat dimiliki oleh negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, Jerman dan mungkin Italia, Polandia atau Spanyol.

Mengesampingkan tindakan militer NATO, Stoltenberg mengatakan, "Ini adalah perang agresi Rusia terhadap Ukraina, yang secara terang-terangan melanggar hukum internasional. Menurut hukum internasional, Ukraina tentu saja mempunyai hak untuk membela diri dan kami mempunyai hak untuk mendukung mereka dalam menegakkan hak tersebut."

Kekhawatiran Barat

Perang Rusia - Ukraina
Dalam foto yang disediakan oleh Layanan Darurat Ukraina, petugas pemadam kebakaran memeriksa lokasi serangan rudal Rusia yang menghantam sebuah hotel di Kharkiv, Ukraina, Rabu (10/1/2024). Dua rudal Rusia menghantam hotel tersebut dan melukai 11 orang. (Ukrainian Emergency Service via AP)

Konferensi di Paris diadakan tepat setelah Prancis, Jerman, dan Inggris masing-masing menandatangani perjanjian keamanan bilateral berdurasi 10 tahun dengan Ukraina saat Kyiv berupaya meningkatkan dukungan Barat.

Negara-negara Eropa khawatir AS akan mengurangi dukungannya mengingat bantuan untuk Ukraina tertahan di Kongres AS. Mereka juga khawatir bahwa Donald Trump akan kembali terpilih dan mengubah arah kebijakan AS di Eropa.

Beberapa negara Eropa, termasuk Prancis, pada Senin menyatakan dukungannya terhadap inisiatif yang diluncurkan oleh Republik Ceko untuk membeli amunisi bagi Ukraina di luar Uni Eropa.

Macron mengatakan koalisi baru akan diluncurkan untuk mengirimkan rudal jarak menengah dan jauh.

Dalam wawancara pekan lalu, Stoltenberg tidak menentang gagasan mengizinkan Ukraina menggunakan senjata Barat untuk menyerang sasaran di Rusia. Beberapa negara telah membatasi penggunaan material yang mereka sediakan dan meminta agar material tersebut hanya digunakan di wilayah Ukraina.

"Setiap sekutu harus memutuskan apakah ada keberatan atas apa yang mereka sampaikan," kata Stoltenberg kepada Radio Free Europe seraya menambahkan adalah hak Ukraina untuk membela diri termasuk juga menyerang sasaran militer yang sah - sasaran militer Rusia - di luar Ukraina.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya