Penelitian Terbaru Ungkap Bumi Pernah Punya Cincin, Ini Penjelasannya

Bumi memiliki cincin setelah menangkap dan menghancurkan asteroid yang lewat. Dikutip dari laman Live Science pada Jumat (20/09/2024), cincin dari puing-puing asteroid ini kemungkinan bertahan selama puluhan juta tahun.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 21 Sep 2024, 05:00 WIB
Diterbitkan 21 Sep 2024, 05:00 WIB
Planet Bumi
Planet Bumi (Sumber: Pinterest/moris)

Liputan6.com, Jakarta - Para ahli memperkirakan, bumi pernah memiliki sistem cincin seperti Saturnus 466 juta tahun lalu. Pendapat ini diungkapkan melalui sebuah penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Earth and Planetary Science Letters.

Bumi memiliki cincin setelah menangkap dan menghancurkan asteroid yang lewat. Dikutip dari laman Live Science pada Jumat (20/09/2024), cincin dari puing-puing asteroid ini kemungkinan bertahan selama puluhan juta tahun.

Fenomena ini diperkirakan telah menyebabkan pendinginan suhu bumi. Bahkan berkontribusi terhadap periode terdingin di Bumi dalam 500 juta tahun terakhir.

Menurut analisis terbaru, ada 21 lokasi kawah di seluruh dunia yang diduga terbentuk oleh serpihan asteroid besar yang jatuh antara 488 juta hingga 443 juta tahun yang lalu. Periode ini adalah suatu era dalam sejarah bumi yang dikenal sebagai Ordovisium, ketika planet kita mengalami peningkatan tabrakan asteroid secara dramatis.

Tim penelitian yang dipimpin Andy Tomkins, profesor ilmu planet di Monash University di Australia, menggunakan model komputer untuk memetakan bagaimana lempeng tektonik planet kita bergerak di masa lalu untuk memetakan lokasi kawah saat pertama kali terbentuk lebih dari 400 juta tahun yang lalu. Para peneliti menemukan bahwa semua kawah terbentuk di benua yang mengapung dalam jarak 30 derajat dari ekuator.

Hal ini menunjukkan bahwa kawah tersebut terbentuk oleh puing-puing jatuh dari satu asteroid besar yang pecah setelah hampir menabrak bumi. Rangkaian lokasi kawah yang semuanya berada di sekitar ekuator sesuai dengan cincin puing yang mengorbit bumi.

 

Ekuator Planet

Cincin planet seperti itu biasanya terbentuk di atas ekuator planet, seperti yang terjadi pada cincin yang mengitari Saturnus, Jupiter, Uranus, dan Neptunus. Temuan studi baru itu menyebutkan, peluang bahwa lokasi tumbukan ini terbentuk oleh hantaman asteroid acak yang tidak terkait adalah sekitar 1 berbanding 25 juta.

Para peneliti memperkirakan bahwa asteroid yang membentuk cincin itu akan memiliki lebar sekitar 12,5 km jika berupa tumpukan puing, atau sedikit lebih kecil jika berupa benda padat. Begitu hancur setelah mendekati bumi, kata Tomkins, pecahan-pecahannya berdesakan sebelum mengendap menjadi cincin puing yang mengorbit ekuator bumi.

Tim peneliti menemukan bahwa serpihan ini merupakan jenis meteorit tertentu dan ditemukan berlimpah di endapan batu kapur di seluruh Eropa, Rusia, dan China. Asteroid ini telah terpapar radiasi ruang angkasa yang jauh lebih sedikit daripada meteorit yang jatuh saat ini.

Endapan tersebut juga mengungkap tanda-tanda terjadinya beberapa tsunami selama periode Ordovisium. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan baik oleh skenario tabrakan dan pecahnya asteroid besar yang lewat.

Pencarian tanda-tanda umum pada butiran asteroid tertentu di seluruh kawah tumbukan yang baru dipelajari akan membantu menguji hipotesis tersebut. Menurut penelitian baru tersebut, jika bumi memiliki cincin seperti Saturnus di sekitar ekuatornya, cincin tersebut akan memengaruhi iklim planet kita secara signifikan.

Hal ini karena sumbu bumi miring relatif terhadap orbitnya mengelilingi matahari. Cincin tersebut akan menghasilkan bayangan di bagian permukaan planet kita yang mungkin menyebabkan pendinginan global.

Para peneliti berspekulasi bahwa peristiwa tersebut mungkin telah menyebabkan pendinginan dramatis planet kita 465 juta tahun yang lalu,. Hal ini menyebabkan periode terdingin dalam setengah miliar tahun terakhir, yang dikenal sebagai Zaman Es Hirnantian.

Penelitian yang dipimpin oleh Tomkins ini membuka wacana tentang kemungkinan dampak astronomi terhadap peristiwa kepunahan di Bumi. Meski begitu, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji hipotesis ini secara pasti.

(Tifani)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya