Benarkah Adab di atas Ilmu? Begini Jawaban Gamblang Gus Baha

Adab di atas ilmu ialah ungkapan populer yang kerap dikutip penceramah atau lainnya.

oleh Liputan6.com Diperbarui 11 Mar 2025, 09:30 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2025, 09:30 WIB
gus baha 22
Gus Baha (TikTok)... Selengkapnya

Liputan6.com, Cilacap - Ulama kharismatik yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3iA, Narukan, Rembang, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim (Gus Baha) merespons sebagian kalangan yang berpendapat bahwa adab di atas ilmu.

Kedudukan adab di atas ilmu itu memang benar digaungkan oleh para ulama salah satunya KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) dalam Kitab Adab Al-‘Alim wa al-Muta’allim.

Sejatinya, ungkapan itu harus dipahami dengan baik dan tidak boleh sembarangan tanpa terlebih dahulu mengetahui maksud ungkapan itu.

Lantas bagaimana memahami ungkapan adab di atas ilmu agar tidak salah faham? Simak penjelasan Gus Baha berikut ini.

 

Promosi 1

Simak Video Pilihan Ini:

Begini Penjelasan Gus Baha

Tanda-tanda Datangnya Malam Lailatul Qadar
Ilustrasi masjid. Credit: pexels.com/Stephan... Selengkapnya

Menurut Gus Baha, ilmu harus didahulukan ketimbang adab. Bukan sebaliknya, adab didahulukan ketimbang ilmu. Bagaimanapun juga ilmu itu sangat penting.

“Kalau menurut saya ilmu harus didahulukan dibandingkan adab,” terangnya dikutip dari tayangan YouTube Short @AYONGAJI99, Minggu (09/03/2025).

Meskipun ada hal-hal tertentu di mana adab itu harus didahulukan ketimbang ilmu. Namun ilmu yang dimaksud bukan ilmu yang fardlu 'ain tapi ilmu yang tidak wajib.

“Ada hal-hal tertentu yang menang adab, tapi ilmu yang tidak wajib,” terangnya lagi.

“Tapi kalau ilmu yang fardlu ‘ain menang ilmu,” tegasnya.

Memahami Adab di Atas Ilmu

Ilustrasi doa, Islami, muslim
Ilustrasi doa, Islami, muslim. (Photo by Masjid MABA on Unsplash)... Selengkapnya

Menukil NU Online, akhir-akhir ini ramai diperbincangkan ungkapan 'Al-Adab Fauqal Ilmi' atau adab lebih utama daripada ilmu, yang kemudian disalahpahami. Banyak orang yang cenderung meniru gaya berpakaian tokoh yang alim dan berakhlak yang mereka idolakan.

Meniru cara dia berbicara dan bahkan meniru gaya hidupnya. Tanpa melihat bagaimana dia berproses menjadi sosok alim dan berakhlak mulia. Gejala itu pada akhirnya mengantar mereka menjadi lebih suka hadir di majelis shalawatan, haul, khataman Al-Quran, pembacaan manaqib, dan gebyar kegiatan lainnya, meskipun jaraknya cukup jauh dari rumah.

Padahal di dekat rumah ada majelis ilmu dari kiai atau ustadz di kampungnya. Bahkan ada sebagian kecil yang mengabaikan keberadaan orang tua sendiri hanya gara-gara terbius mengikuti majelis-majelis itu. Jika kesalahpahaman ini terjadi terus-menerus, maka ancaman nyata di tengah-tengah masyarakat adalah jauhnya mereka dari ilmu.

Padahal keberlangsungan Islam dengan segala manifestasinya selalu ditopang dengan kekuatan ilmu. Sehingga segala bentuk ibadah tidak sah jika dilaksanakan tanpa ilmu. Imam Al-Zarnuji dalam kitab Ta'limul Muta'allim menegaskan:

... فَإِنَّ بَقَاءَ الْإِسْلَامِ بِالْعِلْمِ وَلَا يَصِحُّ الزُّهْدُ وَالتَّقْوَى مَعَ الْجَهْلِ

Artinya, "Sungguh kelestarian Islam itu terjadi dengan ilmu. Zuhud dan takwa tidak sah disertai kebodohan." (Burhanul Islam Az-Zarnuji, Ta'lim al-Muta'allim, [Beirut, Al-Maktabah Al-Islami : 1981], halaman 66).

Dengan mengutip hadis Nabi Muhammad saw, Imam Al-Ghazali menuturkan bahwa hal yang paling utama sebagai modal dasar menyembah Allah swt adalah pemahaman agama secara mendalam. Bahkan pemahaman seperti ini merupakan tiang agama. Ia menegaskan dalam kitab Ihya':

قَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَا عُبِدَ اللهُ تَعَالَى بِشَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ فِقْهٍ فِى الدِّيْنِ ... وَلِكُلِّ شَيْءٍ عِمَادٌ وَعِمَادُ هَذَا الدِّيْنِ الْفِقْهُ

Artinya, "Nabi Muhammad saw bersabda: "Allah swt tidak disembah dengan sesuatu yang lebih utama dariapda pemahaman terhadap agama yang benar, ... Setiap sesuatu ada tiangnya dan tiang agama ini adalah pemahaman agama yang benar." (HR At-Thabarani). (Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, [Jeddah, Darul Minhaj lin Nasyr Wat Tauzi': 2011], juz I, halaman 26).

Adab tanpa Ilmu Bisa Berbahaya

Ilustrasi Masjid (Istimewa)
Ilustrasi Masjidil Haram, Mekkah (Istimewa)... Selengkapnya

Adalah hal logis, ketika seorang muslim yang berilmu pada akhirnya mengetahui penyakit-penyakit hati. Oleh karena penyakit hati tersebut sering kali merusak pahala suatu ibadah.

Merujuk Dr Lukman Hakim yang mengutip pendapat Al-Ghazali sebagaimana ditulis dalam catatan kaki kitab Adabul 'Alim wal Muta'allim, yang dimaksud dengan fiqih atau pemahaman di dalam agama adalah pengetahuan jalan akhirat, pengetahuan detil-detil kerusakan jiwa, dan perusak-perusak amal.

وَالْمُرَادُ بِالْفِقْهِ هُنَا عِلْمُ طَرِيْقِ الْآخِرَةِ وَمَعْرِفَةِ دَقَائِقِ آفَاتِ النَّفْسِ وَمُفْسِدَاتِ الْأَعْمَالِ

Artinya, "Dan yang dimaksud dengan fiqih di sini adalah ilmu untuk mengetahui jalan akhirat, mengetahui detil-detil bahaya jiwa dan perusak-perusak amal ..." (Asy'ari, 28).

Dari paparan di atas akhirnya dapat disimpulkan, beradab tanpa ilmu akan mengantarkan seorang muslim pada rapuhnya Islam itu sendiri. Seorang muslim tanpa ilmu akan mudah jatuh pada sikap fanatisme berlebihan. Sedangkan fanatisme berlebihan akan mengacak-acak tatanan masyarakat yang sudah ada. Wallahu a'lam bis shawab.

Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya