Liputan6.com, Bandung - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) merespons putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung terhadap Herry Wiryawan atau HW, pelaku pemerkosaan 13 santri anak di Bandung.
Baca Juga
Advertisement
Dalam putusan ini, majelis hakim menyatakan HW bersalah dan menjatuhkan pidana berupa pidana penjara seumur hidup. Tidak hanya itu, majelis hakim juga menjatuhkan restitusi yang pemenuhannya dibebankan kepada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) atas kerugian yang diderita oleh korban.
Atas putusan ini, ICJR memberikan beberapa catatan. Menurut Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, putusan ini merefleksikan fenomena yang jamak terjadi di Indonesia belakangan terutama di dalam kasus kekerasan seksual dan kasus yang melibatkan anak-anak.
"Bahwa negara hanya berfokus kepada penghukuman terhadap penghukuman keras bagi pelaku, tanpa melihat hal yang seharusnya semenjak awal menjadi fokus di dalam kasus, yakni pemulihan bagi korban," kata Maidina dikutip melalui siaran persnya, Rabu (16/2/2022).
Lebih jauh, Maidina mempertanyakan soal restitusi yang merupakan respon pemulihan bagi kerugian korban atau sebagai bentuk pidana pada pelaku. Permasalahan ini, kata dia, ditemukan dalam kebijakan soal restitusi di Indonesia, mulai dari UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU Perlindungan Anak hingga UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
"Jika dilihat dalam analisis historis tentang gerakan hak korban, harusnya restitusi dapat dilihat sebagai respons terhadap kerugian korban. Dengan adanya korban tindak pidana dan kerugian yang dialaminya, negara bertanggung jawab menyediakan pemulihan yang efektif, baik dibebankan kepada pelaku ataupun ditanggung oleh negara," tuturnya.
Maidina mengatakan, pemulihan bagi korban bukan sebagai bentuk penghukuman yang bergantung pada putusan pengadilan bagi pelaku. Terdapat catatan jika restitusi hanya dilihat sebagai penghukuman kepada pelaku, yaitu berlaku ketentuan Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana lain apabila pelaku dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup.
"Dampaknya, korban menjadi tidak dapat memperoleh haknya ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku apabila hakim menjatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup. Maka dari itu, penegasan posisi dari restitusi atau setidaknya harmonisasi posisi restitusi di dalam perundang-undangan pidana perlu untuk segera dilakukan,” ujarnya.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim kasus HW telah menangkap hal ini sebagai suatu masalah. ICJR memberikan apresiasi pada usaha hakim dalam putusan ini, tetapi masih ada masalah yang lebih rumit.
"Dikarenakan HW dituntut dengan pidana mati oleh penuntut umum, hakim menyatakan maka penjatuhan restitusi tidaklah dimungkinkan dengan mempertimbangkan Pasal 67 KUHP. Menjadi rumit kemudian, majelis hakim melakukan 'improvisasi' dengan membebankan restitusi dibayarkan oleh pihak ketiga yang ditentukan yakni Kementerian PPPA. Hal ini tidak dikenal dalam skema pembayaran restitusi, pihak ketiga negara," ungkap Maidina.
*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simak Video Pilihan di Bawah Ini
Perlu Skema Baru
Korban kekerasan seksual baik anak maupun dewasa tentu saja berhak untuk memperoleh ganti kerugian atas peristiwa yang dialaminya baik dalam bentuk restitusi ataupun kompensasi. Dalam skema kekerasan seksual, kompensasi tidak dimungkinkan dalam skema UU hari ini.
Sedangkan pembebanan ganti kerugian kepada pelaku memiliki sejumlah kendala, salah satunya persoalan eksekusi oleh Jaksa dan pelaku yang tidak memiliki uang.
“ICJR sepakat dengan “niat baik” dari Majelis Hakim di dalam putusan HW dengan membebankan ganti kerugian untuk dibayarkan oleh negara. Sayangnya yang tidak disadari oleh Majelis Hakim, dengan ketiadaan kerangka hukum mekanisme pembayaran restitusi oleh negara, sangat besar kemungkinan pada akhirnya restitusi ini tidak akan dibayarkan,” kata Maidina.
Menurut Maidina, sangat mudah bagi pemerintah untuk berkelit bahwa tidak ada skema yang tersedia, karena memang tidak ada kewajiban negara membayarkan restitusi kepada korban. Terdapat ketidakjelasan mengenai pemenuhan restitusi ini, yang lagi-lagi dampak buruknya akan menimpa korban.
“Seharusnya dengan melihat problem pemenuhan restitusi dan layanan korban dan memastikan komitmen negara menguatkan hak korban, negara harus menghadirkan skema revolusioner untuk pemulihan hak korban. Skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund harus dibangun oleh negara,” cetusnya.
Maidina mengatakan, negara tetap bisa menerapkan sanksi finansial kepada pelaku tindak pidana, lalu mengolah hasil yang didapat untuk memenuhi hak korban, termasuk untuk membayarkan kompensasi dan memberikan layanan. Dana Bantuan Korban ini juga dapat diolah dari penerimaan bukan pajak negara.
Berdasarkan catatan-catatan ini, ICJR mendorong agar pertama, DPR dan Pemerintah mengevaluasi, memperbarui dan memperkuat pengaturan tentang hak korban, mulai dari layanan korban hingga kejelasan restitusi dan eksekusi hak korban dalam KUHAP.
Kedua, mendorong Kepolisian dan Kejaksaan Agung untuk memperhatikan aspek pemulihan korban dalam penanganan kasus. Dalam putusan, MA wajib memberikan jaminan putusan pengadilan yang mempertimbangkan pemulihan korban.
Ketiga, pemerintah dan DPR mengkaji segera skema Dana Bantuan Korban atau Victim Trust Fund untuk masuk dalam KUHAP, UU Perlindungan Saksi dan Korban, dan undang-undang lain yang sedang dibahas seperti RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Advertisement