Petani Mengeluh Soal Impor Tembakau Tinggi

Asosiasi Tembakau Indonesia mengaku keberatan dengan penerbitan PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung zat adiktif

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 06 Feb 2015, 11:07 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2015, 11:07 WIB
Petani Tembakau
(Foto: Antara)

Liputan6.com, Jakarta - Para petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah (Jateng) mengaku tak paham dengan pola pikir yang dikembangkan pemerintah.

Mereka menilai pemerintah telah mengebiri petani tembakau. Indikasinya, impor tembakau yang tinggi dan di sisi lain petani tembakau malah diminta mendiversifikasi dengan tanaman lainnya.

Menurut ketua DPD APTI Jateng, Wisnu Brata, pihaknya mencatat, impor tembakau Indonesia hanya 28 ribu ton pada 2013. Angka ini meningkat di tahun 2007 menjadi 97 ton, dan pada 2014 meningkat lagi hingga 137 ribu ton.

"Jumlah produksi tembakau nasional yang ditopang sembilan provinsi, termasuk Jateng, hanya 145 ribu ton pada tahun lalu. Jumlah impor hampir sama dengan produksi dalam negeri. Artinya, kebutuhan tembakau tinggi. Tapi kenyataanya, pemerintah malah meminta petani tembakau mendiversifikasi dengan tanaman lain," kata Wisnu kepada Liputan6.com, Jumat (6/2/2015).

Ia menjelaskan, ketidakpahaman petani makin menjadi-jadi dengan terbitnya PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif. Dalam PP itu disebutkan pelarangan flavor (aroma) dengan alasan lebih berbahaya dari nikotin. Padahal menurut Wisnu, larangan ini mengadopsi aturan dari Amerika Serikat.

"Kretek itu khas Indonesia, tak lebih berbahaya dibanding rokok putih. Ekspor rokok kretek produksi Indonesia dengan aroma dari cengkih sangat diminati konsumen Amerika Serikat dan Eropa. Kemudian Amerika membuat aturan tak boleh ada aroma dan ini diikuti Eropa. Ini bagian dari persaingan dagang semata. Lha kok pemerintah ikut-ikutan mengeluarkan PP Nomor 109 Tahun 2012. Padahal tidak ada studi yang menyebutkan aroma lebih bahaya dari nikotin. Ini adalah permainan agar petani tembakau dalam negeri terpuruk," kata Wisnu.

Ia menambahkan, kondisi itu diperparah dengan minimnya pembagian dana bagi hasil cukai dan hasil tembakau (DBHCHT) yang diberikan bagi daerah penghasil tembakau juga menjadi indikasi. Hal lain adalah stok pupuk yang selalu habis saat petani membutuhkan di masa tanam. (Edhie P/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya