Tolak Perhitungan UMP 2022 Versi Pemerintah, Buruh Bakal Mogok Massal

Serikat buruh menolak formula upah minimum 2022 yang mengacu kepada perhitungan PP 36 Tahun 2021.

oleh Arie Nugraha diperbarui 17 Nov 2021, 17:00 WIB
Diterbitkan 17 Nov 2021, 17:00 WIB
Tutup May Day, Buruh Nyalakan Bom Asap
Sejumlah buruh menyalakan bom asap saat menutup aksi Hari Buruh Internasional di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (5/1/2019). Aksi May Day 2019 di Jakarta ditutup oleh buruh dengan menyalakan kembang api sebagai simbol berjalannya demo dengan damai. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Kelompok buruh dari Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP TSK SPSI) menuntut formula upah minimum 2022 tidak mengacu kepada perhitungan PP 36 Tahun 2021.

Alasannya peraturan tersebut merupakan aturan turunan UU Cipta Kerja dan Undang - undangnya tengah diuji secara formil dan materiil di Mahkamah Konstitusi.

"Belum ada putusan. Sehingga pemerintah harus menghormati proses hukum di MK dengan menunda pelaksanaan UU Cipta Kerja termasuk peraturan turunannya sampai adanya putusan MK baik secara formil dan materil," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP TSK SPSI Roy Jinto Ferianto kepada Liputan6.com, Bandung, Rabu (17/11/2021).

Menurut Roy, penetapan upah minimum berdasarkan PP 36/2021 menghilangkan hak buruh melalui dewan pengupahan untuk berunding karena semua data-data sudah diputuskan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Roy menganggap fungsi dewan pengupahan hanya legitimasi dan mengikuti keputusan tersebut tanpa berpihak kepada tuntutan buruh.

"Hal tersebut bertentangan dengan Konvensi ILO 98 tentang hak berunding bersama dan juga Kepres 107/2004 tentang Dewan Pengupahan, dalam PP 36/2021 mensyaratkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi kabupaten dan kota tiga tahun terakhir," kata Roy.

Roy menjelaskan masalah bertambah karena tidak semua BPS kabupaten dan kota menghitung dan merilis pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan tersebut.

Roy mengklaim sudah sejak lama kelompok buruh di kabupaten dan kota sudah mencoba meminta data-data tersebut ke BPS setempat.

"Namun BPS tersebut menyatakan tidak mempunyai data-data yang dibutuhkan tiba-tiba muncul Surat Edaran (SE) menaker RI tanggal 9 Nopember 2021 mengenai data-data pertumbuhan ekonomi se-Indonesia," jelas Roy.

Kelompok buruh sangat meragukan data-data yang disampaikan Menteri Tenaga Kerja tersebut.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Ambang Batas

Buruh Demo Lagi di Depan DPR
Massa buruh menggelar unjuk rasa di depan Kompleks Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/11/2020). Buruh kembali menggelar aksi lanjutan menuntut pemerintah dan DPR untuk mencabut Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

 

Roy mengatakan dalam sejarah pengupahan, baru kali ini di Indonesia dalam penetapan Upah Minimum 2022 diatur mengenai ambang atas dan ambang bawah dalam penetapan upah minimum.

"Kalau penerapan ambang batas dan ambang bawah diterapkan sudah dapat dipastikan upah buruh beberapa tahun kedepan tidak akan naik. Kalaupun naik hanya berkisar Rp 18 ribu. Oleh karena itu Serikat Pekerja dan Serikat Buruh di tingkat Nasional dan Tingkat Daerah sepakat untuk melakukan mogok daerah dan mogok nasional," tegas Roy.

Roy menerangkan aksi mogok kerja serentak itu akan dilakukan sebelum penetapan Upah Minimum Tahun 2022 dan di bulan Desember 2022.

Aksi mogok kerja terus dilakukan apabila MK tidak membatalkan UU Cipta Kerja yang dianggap kelompok buruh bertentangan dengan UUD 1945 dan UU 12 tahun 2011.

"Sebagaimana yang bisa kita lihat dalam fakta-fakta persidangan, semua ahli menyatakan bahwa metode Omnibus Law tidak dikenal dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan," tukas Roy. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya