Guru Besar UIN Sebut Puasa Makin Bermutu dengan Menahan Diri dari Hoaks

Munculnya hoaks dianggap sebagai konsekuensi dari berkembangnya teknologi dan informasi IT.

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 24 Apr 2021, 20:00 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2021, 20:00 WIB
banner Hoax
banner Hoax (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Guru Besar bidang Psikologi Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Achmad Mubarok mengatakan bahwa puasa yang bermutu tidak hanya menahan lapar dan dahaga saja namun juga menahan diri dari hoaks.

Menurut dia, puasa dapat dibagi menjadi 3 tingkatan. Pertama adalah puasa orang awam atau puasa orang biasa yang hanya meninggalkan makan dan minum.

"Nah selama puasa ini mereka biasanya tetap menyebarkan berita hoaks, adu domba orang. Jadi puasa itu hanya tidak makan dan tidak minum. Itu nilai puasa yang paling rendah dan masyarakat kita masih banyak yang di situ," ujar Ahmad Mubarok, dilansir dari Antara, Sabtu (24/4/2021).

Kedua, puasa khusus. Yaitu puasa yang bukan hanya menahan diri dari makan dan minum tetapi seluruh anggota badan menahan diri dari hal-hal yang tidak pantas dikerjakan.

Menahan diri dari berbicara bohong, mengadu domba, saling fitnah, menyebar hoaks. Seluruh anggota tubuh berpuasa dan menjauhi keburukan. Menurutnya, puasa yang bermutu adalah yang seperti itu.

”Dan jarang yang berpuasa berkualitas seperti ini. Dan puasa seperti inilah yang berpengaruh kepada pembentukan karakter manusia,” jelas anggota MPR RI periode 1999-2004 itu.

Ketiga, menurut dia, ada yang namanya puasa super khusus, yang merupakan puasa tertinggi. Bukan hanya anggota badan yang menahan diri namun hati pun juga ikut berpuasa dari ingatan selain Allah. Sehingga ia menyebutkan bahwa selama berpuasa tidak pernah terlintas pikiran buruk ataupun rencana jahat.

”Yang ada ingat kepada Tuhan, menyebut nama Tuhan dan ini jarang sekali ada orang yang bisa berpuasa seperti ini. Jadi kalau untuk masyarakat saya kira yang bisa diterapkan itu puasa yang kedua itu. Kemudian kurangi aktifitas yang tidak diperlukan dan memilih hal-hal yang betul-betul baik, itu bisa yang produktif untuk membangun karakter manusia,” terang Achmad.

 

Menurutnya, munculnya hoaks ini juga adalah konsekuensi dari berkembangnya teknologi dan informasi IT.

"Jadi ketika media dengan bebasnya menceritakan apa saja yang terjadi, maka keburukanlah yang dominan diikuti oleh masyarakat, kebaikan tidak diikuti. Meskipun seseorang sesungguhnya suka kepada kebaikan. Itu psikologinya begitu," tambah dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Tentang Cek Fakta Liputan6.com

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama puluhan media massa lainnya di seluruh dunia. 

Cek Fakta Liputan6.com juga adalah mitra Facebook untuk memberantas hoaks, fake news, atau disinformasi yang beredar di platform media sosial itu. 

Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi yang tersebar di masyarakat.

Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya