Liputan6.com, Washington, D.C - Dalam waktu delapan tahun sejak Presiden AS George W. Bush naik helikopter Korps Marinir yang akan membawa ia dan istrinya Laura pergi dari U.S. Capitol setelah pelantikan Presiden Barack Obama, ia sangat jarang menengok ke belakang. Dan selama itu, ia selalu menghindari sorotan media.
Bush mengatakan hal itu "disengaja."
Baca Juga
"Saya tidak mau meremehkan presiden-presiden kita," katanya kepada VOA News yang dikutip Jumat (9/3/2017), dalam wawancara baru-baru ini di Perpustakaan dan Museum Kepresidenan George W. Bush di kampus Southern Methodist University di Dallas, Texas.
Advertisement
"Saya tidak ingin meremehkan Presiden Obama dan saya tidak ingin meremehkan Presiden Trump," jelasnya.
Hal itu tidak menghalangi para pendukung dan sahabatnya untuk mendorongnya bersuara mengenai isu-isu yang mendominasi berita-berita utama nasional.
"Yang menarik adalah, ketika Presiden Obama menjabat, orang-orang dari Texas akan mengatakan kepada saya, 'Anda harus bersuara.' Sekarang ketika Presiden Trump menjadi presiden, orang-orang dari pesisir mengatakan kepada saya, 'Anda harus bersuara'."
Dan kadang-kadang ia melakukannya, seperti saat ia muncul dalam acara "Today" di stasiun NBC dan berkomentar mengenai sebutan Trump kepada beberapa organisasi media sebagai "musuh rakyat Amerika."
"Saya berbicara kepada pers bebas dan orang-orang berkata, 'Anda mengkritik Presiden Trump.' Tidak sama sekali," jelasnya.
"Saya meyakini Konstitusi, yang menyebutkan kebebasan beragama, kebebasan pers dan saya pembela itu semua. Saya sangat paham bahwa kekuasaan itu bisa membuat ketagihan dan kekuasaan bisa korosif, jadi suara independen membuat orang-orang seperti saya sadar dan saya kira itu penting."
Bush mengaku ia sulit menghadapi karakterisasi yang kadang ditampilkan di media pada masa jabatannya. "Ada karikatur yang berkembang. Orang-orang dulu mengira saya tidak bisa membaca dan saya telah menulis dua buku yang laris dan sekarang buku ketiga," ujarnya.
​Buku terbarunya, ​Portraits of Courage: A Commander-in-Chief's Tribute to America's Warriors, menampilkan 98 lukisan yang ia buat sebagai penghormatan kepada para veteran yang terluka, yang ia temui ketika berupaya menarik perhatian pada tantangan-tantangan yang dihadapi para veteran laki-laki dan perempuan saat menjalani transisi untuk menjadi warga sipil.
"Saya yakin akan ada kritikus seni yang mengatakan pria ini bukan pelukis yang terlalu bagus, biar saja," ujarnya. "Tujuan saya bukan untuk disebut sebagai pelukis bagus. Tujuan saya adalah untuk menarik perhatian pada para veteran dan jika ada yang mengkritik sisi seninya, setidaknya mereka memperhatikan para veteran."
Meskipun banyak cercaan dari media, Bush mengatakan ia tidak punya penyesalan.
"Saya punya keyakinan yang siap saya bela. Satu hal yang tidak pernah saya lakukan adalah mengejar popularitas karena itu cepat berlalu. Saya kira seorang pemimpin harus membela serangkaian nilai-nilai dan saya melakukannya, dan hidup dengannya. Dan tindakan-tindakan saya merefleksikan situasi-situasi saat itu, serta sistem kepercayaan yang saya katakan pada orang-orang bahwa saya memilikinya," jelas Bush.
Perang terhadap Teror
Situasi genting termasuk serangan-serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat, mengubah kepresidenan Bush yang baru lahir sebagai pemerintahan masa perang.
"Saya dapat mengingat dengan jelas seperti apa negara ini setelah 9/11,"Â terang George.
"Orang-orang, Anda tahu, sangat mendukung tindakan AS untuk melindungi kita. Orang-orang paham bahwa ancaman di luar negeri harus dianggap serius."
Namun ia mengatakan Amerika yang ingin mengalahkan terorisme semakin ada di bawah tekanan.
"Saya kira masa itu telah menumpulkan indera kita," ujarnya. "Ini akan menjadi perjuangan panjang dan untuk itu orang-orang, para pemimpin, wajib untuk mengingatkan rakyat akan perjuangan panjang itu dan memahami ada konsekuensi-konsekuensi politik di waktu memimpin.
"Kedua penerus saya telah mengatakan ISIS harus dikalahkan dan mereka paham ancamannya terhadap negara kita, itu baik. Pertanyaan yang harus dilemparkan adalah, 'Apakah kita punya kebijakan untuk mengalahkan mereka?'"
Bush menyebut keputusannya tahun 2007 untuk meningkatkan kekuatan pasukan AS di Irak -- yang disebut "The Surge (Lonjakan)" -- sebagai taktik sukses untuk mengatasi eskalasi kekerasan dan ketidakstabilan.
"Pasukan-pasukan AS bersama tentara lokal mengalahkan apa yang saat itu disebut al-Qaida. Ingat mereka punya 10.000 tentara yang kuat, Zarqawi (Abu Musab al-Zarqawi, pemimpin al-Qaida) tampak tak terkalahkan, dan kita masuk dan tahun 2009 negara itu punya pemilu bebas lagi. Saat itu relatif bebas dari kekerasan, dan kita memutuskan untuk pergi dan tiba-tiba kelompok ini -- saya menyebut mereka preman -- berkumpul kembali dan sekarang kita harus berurusan dengan mereka lagi."
Sambil mengenang keberhasilannya saat menjadi presiden, Bush juga berterus terang soal kelemahan-kelemahannya, terutama pidatonya di atas kapal USS. Abraham Lincoln pada bulan-bulan awal perang di Irak. Dari dek pesawat -- di depan spanduk besar bertuliskan "Misi Tercapai," -- ia mengumumkan bahwa "operasi-operasi tempur besar di Irak telah berakhir."
"Memasang spanduk itu sebuah kesalahan," ujarnya. "Namun jika Anda baca pidatonya, saya jelas mengatakan bahwa operasi-operasi tempur besar telah berakhir tapi perjuangan terus berjalan karena saya paham ini pergulatan ideologis... Sekarang perlu waktu lama untuk membuat pondasi perdamaian."
Perdamaian belum dicapai para penerusnya, meskipun Bush tidak memberi kritikan langsung. "Saya kira tidak baik untuk kepresidenan, atau negara ini, jika saya meragukan (mereka)," ujarnya.
Ia juga mengatakan mereka tidak pernah meminta nasihatnya.
"Para penerus saya tidak pernah bertanya dan itu tidak apa-apa. Saya sama sekali tidak sakit hati, saya sekarang seorang seniman sensitif, melukis," ujar Bush.
Advertisement
Optimisme terhadap Masa Depan
​Meskipun ada perbedaan pendapat dalam isu-isu politik dan budaya di AS sekarang ini, Bush tidak yakin perpecahannya selebar atau sama mengkhawatirkannya seperti tahun 1960an.
"Ketika saya lulus kuliah, perpecahan di negara ini, menurut saya, jauh lebih buruk dibandingkan kita sekarang," ujarnya, mengenang periode bergolak ketika penentangan perang di Vietnam dan tuntutan-tuntutan terhadap hak-hak sipil memicu kekerasan di jalanan.
"Negara ini kadang terpecah tapi telah memiliki kemampuan luar biasa untuk mengatasi perpecahan itu. Dan saya sangat optimistis mengenai masa depan negara ini."
Ia juga optimistis dengan kesehatan orangtuanya. Ayahnya, mantan presiden George H.W. Bush dan ibunya, Barbara, sama-sama diopname Januari lalu untuk masalah pernapasan. Penyakit mereka membuat mereka tidak hadir dalam pelantikan Trump pada 20 Januari.
Keduanya telah pulih, dan hadir sebagai tamu kehormatan dalam final liga sepakbola Amerika Super Bowl pada 3 Februari.
"Ketika mereka melempar koin di Super Bowl, itu momen yang sangat membangkitkan semangat," kata Bush kepada VOA. "Ayah punya masalah kesehatan berat namun ketangguhan dan kekuatannya mengalahkan semua penyakitnya. Ibu juga hebat."
Meskipun kedua Bush merupakan tim ayah-anak kedua yang menjabat di Gedung Putih (yang pertama adalah John Adams dan putranya John Quincy Adams), ada tonggak sejarah lain yang membuat George W. Bush bangga.
"Saya satu-satunya presiden yang kedua orangtuanya masih hidup setelah tidak menjabat, itu anugerah yang sangat besar," katanya.
Sang ibu akan berusia 92 tahun pada 8 Juni, dan ulang tahun ke-93 ayahnya jatuh empat hari kemudian.
Bush sendiri merayakan ulang tahunnya 6 Juli, dan saat menginjak usia 71, ia berencana untuk menghabiskan waktu melakukan upaya yang sama -- fokus pada veteran-veteran militer AS.
"Menarik perhatian negara untuk membantu veteran kita dan juga mengingatkan para veteran bahwa jika memerlukan pertolongan, kita harus mencarinya."​