Mantan PM Israel Desak Pemimpin Dunia Menjauhi Benjamin Netanyahu karena Ngotot Merombak Sistem Peradilan

Amerika Serikat dan Jerman, dua sekutu terdekat Israel, sebelumnya telah meminta Netanyahu untuk menahan diri soal hasratnya untuk merombak sistem peradilan.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 17 Mar 2023, 16:04 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2023, 16:04 WIB
Mantan PM Israel Ehud Olmert.
Mantan PM Israel Ehud Olmert. (Dok. AFP/Abir Sultan)

Liputan6.com, Tel Aviv - Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert pada Kamis (16/3/2023), mendesak para pemimpin dunia untuk menjauhkan diri dari PM Israel saat ini, Benjamin Netanyahu. Pasalnya, Netanyahu kekeh dengan rencananya untuk merombak sistem peradilan negara itu.

Amerika Serikat dan Jerman, dua sekutu terdekat Israel, sebelumnya telah meminta Netanyahu untuk menahan diri.

Olmert, yang menjabat sebagai perdana menteri Israel pada 2006-2009, mengatakan bahwa para pemimpin dunia harus menolak bertemu dengan Netanyahu. Dia mengimbau secara khusus kepada Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, yang diperkirakan akan menjadi tuan rumah kunjungan Netanyahu dalam beberapa minggu mendatang.

"Saya mendesak para pemimpin negara-negara sahabat Israel untuk menahan diri dari pertemuan dengan perdana menteri Israel," kata Olmert seperti dilansir AP, Jumat (17/3/2023).

Olmert menyadari bahwa imbauannya sebagai mantan perdana menteri "sangat luar biasa", tetapi dia mengaku tergerak oleh situasi.

"Menurut saya, pemerintah Israel saat ini benar-benar anti-Israel," ungkap Olmert.

Olmert membidik koalisi sayap kanan Netanyahu, aliansi partai ultra-Ortodoks dan ultranasionalis yang menentang kemerdekaan Palestina dan mendukung peningkatan pembangunan pemukiman di wilayah pendudukan yang diklaim oleh Palestina.

Sekutu koalisi Netanyahu saat ini memiliki hubungan dekat dengan gerakan pemukim Tepi Barat dan memiliki sejarah pernyataan ofensif terhadap warga Palestina, wanita, kelompok LGBTQ, dan minoritas.

Itamar Ben-Gvir, yang menjabat sebagai menteri keamanan nasional Israel saat ini pernah dihukum karena menghasut rasisme dan mendukung kelompok teror. Sementara itu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich baru-baru ini menyerukan agar sebuah desa Palestina di Tepi Barat yang diduduki 'dihapus', meski dia kemudian meminta maaf setelah memicu kegaduhan atas pernyataan tersebut.

"Mereka yang mendukung negara Israel harus menentang perdana menteri negara Israel saat ini," tegas Olmert.

Olmert pernah menjadi salah satu saingan terberat Netanyahu di kalangan garis keras Partai Likud. Namun, seiring berjalannya waktu, Olmert membelok jauh ke kiri.

Sebagai perdana menteri, dia mengadakan pembicaraan damai selama berbulan-bulan dengan Palestina sebelum dipaksa mengundurkan diri untuk menghadapi masalah hukum.

Olmert kemudian menghabiskan 16 bulan di penjara setelah dinyatakan bersalah menerima suap dan menghalangi keadilan atas tindakan yang dilakukan bertahun-tahun sebelum dia menjadi perdana menteri. Dia mengumumkan pengunduran dirinya pada tahun 2008, jauh sebelum didakwa.

Netanyahu, yang saat itu menjadi oposisi, memimpin seruan agar Olmert mundur, dengan mengatakan bahwa dia tidak layak memerintah saat menghadapi penyelidikan kriminal.

Ditanya tentang penolakan Netanyahu untuk mundur saat ini meski dalam keadaan yang sama dengan dirinya saat itu, Olmert mengatakan, dia memiliki nilai yang berbeda dari saingan lamanya. Pada titik tertentu, Olmert mengatakan bahwa dia menyadari kepentingan negara lebih penting daripada kepentingan pribadinya.

"Negara Israel didahulukan," ujarnya. "Saya pensiun setahun sebelum saya didakwa karena saya merasa itu tidak benar."

Netanyahu Ngotot Terus Maju

PM Israel Benjamin Netanyahu
PM Israel Benjamin Netanyahu (Abir Sultan/Pool Photo via AP)

Perombakan sistem peradilan Israel disebut akan melemahkan Mahkamah Agung Israel dan memberikan kendali koalisi parlemen atas penunjukan hakim.

Netanyahu menyatakan, rencana itu akan memperbaiki ketidakseimbangan yang diklaimnya telah memberi pengadilan terlalu banyak pengaruh dalam mengatur negara.

Adapun kritikus menilai, perombakan itu akan merusak sistem check and balances negara dan akan memberi perdana menteri terlalu banyak kekuasaan. Mereka juga mengatakan, Netanyahu yang sedang diadili atas tuduhan korupsi dapat lolos dari keadilan begitu sistem peradilan diubah.

Wacana perombakan sistem peradilan menjerumuskan Israel ke salah satu krisis domestik terburuknya. Puluhan ribu orang atau bahkan lebih telah turun ke jalan selama dua setengah bulan terakhir dan rencana tersebut telah memicu kegemparan di kalangan pejabat tinggi hukum, pemimpin bisnis yang mengatakan itu akan merusak perekonomian, hingga militer.

Para pengunjuk rasa menggelar "hari gangguan" untuk minggu ketiga pada Kamis, dengan ribuan orang memblokir jalan, termasuk jalan raya utama Kota Tel Aviv. Aksi protes juga berlangsung di Yerusalem dan Kota Haifa.

"Pemerintah terpilih... bertujuan untuk memberikan kekuasaan absolut kepada eksekutif. Dan kekuasaan mutlak eksekutif tanpa check and balances hanyalah sebuah kediktatoran. Dan inilah yang kami lawan," kata Shlomit Tassa, seorang pengunjuk rasa di Tel Aviv.

Sekutu utama Israel juga terlibat dalam perdebatan tersebut. Dalam konferensi pers bersama dengan Netanyahu di Berlin, Kanselir Jerman Olaf Scholz menyuarakan keprihatinan tentang rencana perombakan tersebut dan memuji upaya Presiden Israel Isaac Herzog untuk mencari "konsensus dasar yang luas".

"Sebagai teman dekat Israel dengan nilai-nilai demokrasi yang sama, kami mengikuti debat ini dengan sangat cermat dan saya tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa kami mengikutinya dengan penuh perhatian," kata Scholz. "Kemandirian peradilan adalah aset demokrasi yang berharga."

Netanyahu dinilai tidak menunjukkan tanda-tanda terpengaruh.

"Saya memperhatikan apa yang terjadi... tetapi kami perlu membawa sesuatu yang sejalan dengan mandat yang kami terima," katanya kepada wartawan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya