Liputan6.com, Jakarta - Potensi siklus COVID-19 naik tiap 6 bulan belum pernah dinyatakan resmi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Pernyataan potensi siklus COVID-19 tiap 6 bulan ini sebelumnya mencuat dari Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama.
"WHO tidak menyebutkan siklus (COVID-19) 6 bulanan ya," tegas Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi saat dikonfirmasi Health Liputan6.com melalui pesan singkat pada Kamis, 14 Desember 2023.
Baca Juga
Kasus COVID Naik karena Varian Baru
Dalam pernyataan Ngabila, siklus COVID-19 yang naik tiap 6 bulan seperti halnya batuk pilek.
Advertisement
"COVID-19 siklusnya berpotensi naik per 6 bulan, masyarakat tidak perlu panik. Sama seperti batuk pilek biasa ketika pancaroba atau peralihan musim berpotensi naik," ujar Ngabila melalui keterangan pada Kamis, 7 Desember 2023.
"Kenapa? Faktor imunitas biasanya menurun karena kelelahan, stres, kurang tidur, makan tidak teratur. Faktor kuman karena kelembapan tinggi lebih mudah masuk ke tubuh manusia."
Sementara itu, Nadia menekankan, kenaikan kasus COVID di Indonesia bukan karena persoalan siklus COVID, melainkan adanya subvarian baru.
"Kita tahu peningkatan kasus karena subvarian baru, khususnya EG.5 dan XBB.1.5 yang sudah ada di kita," jelasnya.
Gelombang Infeksi COVID Tiap 6 Bulan
Terkait siklus COVID-19 tiap 6 bulan pernah disorot oleh peneliti dunia tatkala China dihantam gelombang COVID-19 pada Juni 2023. Dikatakan bahwa para peneliti tidak terkejut melihat peningkatan kasus COVID-19 di China.
Ini karena mereka menyatakan, China kemungkinan akan memerangi siklus infeksi COVID-19 tiap 6 bulan sekali lantaran semua pembatasan virus Corona telah dihapuskan dan varian yang sangat menular tetap dominan.
Namun, para peneliti telah memperingatkan, gelombang infeksi yang terus bergulir memiliki risiko munculnya varian-varian baru.
"Sayangnya, kenyataan baru dengan virus ini, kita akan mengalami infeksi berulang," kata Ali Mokdad, seorang ahli epidemiologi di Institute for Health Metrics and Evaluation di University of Washington di Seattle, dikutip dari situs Wion.
"Ketakutannya adalah bahwa virus ini akan menghasilkan varian baru yang dapat bersaing dengan virus yang ada saat ini dan lebih parah."
Peningkatan kasus COVID yang terjadi di China disebabkan terutama oleh subvarian Omicron XBB.1.5, yang sangat menular dan pertama kali diidentifikasi di India pada bulan Agustus 2022.
Advertisement
Gelombang Infeksi COVID Berulang di China
Menurut dokter respirasi terkemuka di China, Nanshan Zhong, sekitar 65 juta orang dapat terinfeksi virus Corona setiap minggunya hingga akhir Juni 2023.
Ini adalah gelombang infeksi COVID berulang besar pertama di China yang terjadi sejak semua tindakan pengendalian COVID-19 dicabut oleh pemerintah pusat pada bulan Desember 2022 dan mengakibatkan wabah Omicron yang meluas.
"Lebih dari 90 persen populasi China telah divaksinasi dan setidaknya 85 persen orang telah terinfeksi pada wabah yang terjadi pada bulan Desember 2022," kata Zhong.
Di sisi lain, kekebalan tubuh telah menurun dan XBB dapat lolos dari perlindungan yang didapat dari vaksin dan infeksi sebelumnya.
Memicu Gelombang Infeksi COVID di Negara Lain
Ali Mokdad menekankan, meskipun tidak ada peningkatan besar dalam rawat inap dan kematian yang disebabkan oleh XBB, peningkatan jumlah infeksi COVID dapat memberikan tekanan pada sistem perawatan kesehatan di China.
XBB juga telah memicu gelombang (infeksi COVID) kecil di belahan dunia lain, seperti Singapura dan Amerika Serikat.
"Ini adalah apa yang kita lihat di mana-mana, tetapi dengan populasi yang besar seperti Cina, ini lebih jelas," jelas Mokdad.