6 Fakta Tarik Ulur Kasus Gadis Manado

Sejak Januari 2016 hingga kini, kasus gadis Manado masih tarik ulur dalam pengananan aparat.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 10 Jun 2016, 19:53 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2016, 19:53 WIB
Gadis Manado
Menurut Polda Gorontalo, gadis Manado berinisial STC akhirnya menyatakan dirinya tidak mengalami pemerkosaan. (Liputan6.com/Aldiansyah Mochammad Fachrurrozy)

Liputan6.com, Manado - Seorang gadis cantik berkaos hitam masuk ke dalam ruang tamu. Dia membisikkan sesuatu kepada ibunya, Rina Supit, yang sedang meladeni tamu di rumah mereka di Kelurahan Bumi Beringin, Kecamatan Wenang, Kota Manado, Sulawesi Utara pada Kamis 9 Juni 2016.

Gadis itu adalah STC (19), yang mengalami dugaan pencabulan oleh 19 pria di Gorontalo. Sejak Januari 2016 hingga kini, kasus gadis Manado itu masih tarik ulur dalam penanganan aparat kepolisian.

Berikut 6 fakta terkait kasus gadis Manado yang menyita banyak perhatian publik:

1. Dijebak Dua Temannya Yuyun dan Memey

Tragedi yang menimpa gadis Manado ini berawal saat dia diajak dua temannya, yakni Yuyun dan Memey untuk jalan-jalan ke Gorontalo. Karena kenal dekat dengan Yuyun, yang juga adalah tetangganya, STC mau ikut ke Gorontalo.

Menurut Rina, dua wanita itu semula membawa anaknya ke Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Sulawesi Utara pada akhir Januari 2016 lalu.

Setelah tiba di Bolangitang, ibu kota Kabupaten Bolmut, anaknya dicekoki narkoba oleh dua perempuan tadi. Dalam keadaan mabuk narkoba, korban dibawa ke sebuah penginapan dan dipaksa untuk melepaskan seluruh pakaiannya.

Penasihat hukum gadis STC, korban dugaan kejahatan seksual, memberikan keterangan di rumah korban, Manado, Sulawesi Utara. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

"Anak saya mengaku di dalam kamar penginapan, dia diperkosa oleh 15 pria secara bergantian. Dia juga tidak bisa berbuat apa-apa," ucap Rina, Senin 9 Mei 2016.

Rina mengatakan, anaknya juga mengaku setiap kali tersadar selalu dalam keadaan tanpa busana dan sejumlah pria secara bergilir mencabulinya.

Tak hanya di Kabupaten Bolmut, korban juga dibawa ke Provinsi Gorontalo. "Di sana anak saya kembali diperkosa oleh empat pria. Dua di antaranya diduga aparat keamanan," ujar Rina.

Setelah mulai lemah, anak saya kembali dipulangkan oleh teman perempuannya yang membawanya itu.

Meski polisi memberikan sendiri kronologi versi mereka, Rina tetap yakin anaknya itu dijual oleh Yuyun dan Memey. Kedua perempuan ini belakangan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penganiayaan terhadap korban.

"Ada tersangka atas nama Yuyun dan Memei, tapi arahnya bukan pemerkosaan. Tapi dari hasil pemeriksaan dan bukti yang ada, dia dominan melakukan tindak pidana penganiayaan," kata Kabid Humas Polda Sulut, Wilson Damanik, Kamis 12 Mei 2016.

2. Lama Mengendap

Beberapa hari setelah kejadian, Rina membawa anaknya untuk melapor ke Polresta Manado pada 30 Januari 2016. Menunggu hingga hampir 4 bulan tidak ada kejelasan tindak lanjut penanganan kasus itu, Rina didampingi kuasa hukum dan Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sulawesi Utara, Vennetia Ryckerens Danes menggelar jumpa pers pada Sabtu 7 Mei 2016.

Rina menilai polisi enggan menindaklanjuti kasus ini hingga terus terbengkalai berbulan-bulan. Setelah jumpa pers ini, kasus yang lama mengendap itu mulai terangkat kembali.

3. Keterlibatan Anggota Polri

Polda Sulut maupun Mabes Polri awalnya membantah keterlibatan anggota Polri dalam kasus pencabulan dan pesta narkoba itu. "Adanya dugaan keterlibatan dua polisi dalam kasus ini belum bisa dibuktikan," ujar Pitra dalam jumpa pers, Senin 10 Mei 2016.

Sebelumnya, Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Boy Rafli Amar di Kompleks Mabes Polri juga membantah keterlibatan anggota kepolisian. Mantan Kapolda Banten ini menegaskan, belum ada fakta hukum yang ditemukan terkait dugaan tersebut.

"Belum ada. Jadi fakta hukum yang mengaitkan dengan adanya oknum, itu belum bisa dipastikan," ujar Boy.

Kapolda Sulut Brigjen Pol Wilmar Marpaung menggelar jumpa pers terkait kasus dugaan kejahatan seksual terhadap gadis Manado. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Tiga hari kemudian, polisi menarik kembali pernyataan mereka. Ternyata ada anggota Polri yang terlibat dalam kasus gadis Manado. "Indikasi keterlibatan oknum polisi itu ada. Sudah diketahui identitasnya," ujar Kapolda Sulut Brigjen Pol Wilmar Marpaung, Kamis 12 Mei 2016.

Pengacara korban, Novie Kolinug menyatakan, dalam pemeriksaan di Polda Gorotalo, Rabu 8 Juni 2016, ternyata ada 4 anggota kepolisian yang terlibat kasus gadis Manado ini.

4. Intimidasi

Sejak kasus ini terungkap kembali pascajumpa pers pada Sabtu 8 Mei 2016, korban bersama keluarganya mengaku banyak sekali menerima teror dari orang tak dikenal. Tekanan juga diberikan pihak kepolisian terhadap keluarga korban. Rina mengaku mendapat teror oleh oknum tak dikenal melalui short message service (SMS).

"SMS itu berisi nada ancaman. Berusaha menekan anak saya, juga mengintimidasi kami," tutur ibunda korban, Rina, Selasa 10 Mei 2016.

Hanya saja, Rina tak secara rinci menjelaskan isi teror yang diterima anaknya. "Intinya menekan anak saya, supaya mungkin kasus ini tidak lagi diangkat-angkat."

Ibunda gadis Manado menambahkan, dia tidak tahu siapa peneror dan apa maksudnya. Namun, hal itu semakin membuat anaknya trauma. "Saya tidak tahu kenapa anak saya harus menerima teror tersebut. Yang pasti ini membuat anak saya makin tertekan."

Namun polisi meminta agar keluarga gadis Manado itu tidak banyak bicara kepada media. Seperti disampaikan Kabid Humas Polda Sulut AKBP Wilson Damanik.

"Kami imbau agar keluarga korban tidak banyak memberikan keterangan kepada media. Ini akan membuat simpang siur penyelesaian kasus ini," kata Wilson, Selasa 10 Mei 2016.

Berkembangnya informasi di media dianggap mempengaruhi kerja kepolisian menyelesaikan kasus ini. "Biarkan kepolisian diberi waktu untuk menyelesaikan kasus ini," ujar Wilson.

Tekanan dan intimidasi lebih kencang lagi saat pemeriksaan korban di Mapolda Gorontalo, Rabu 8 Juni 2016. Hal ini diutarakan penasihat hukum gadis Manado, Novie Kolinug.

"Dua hari menjalani pemeriksaan di Mapolda Gorontalo, kami berada dalam tekanan yang luar biasa. Intimidasi dari para pelaku, serta pihak penyidik. Kami bersama korban berada dalam posisi tertekan," ucap Novie saat ditemui di rumah korban, Manado, Kamis 09 Juni 2016.

Novie yang didampingi ibu korban, Rina Supit mengungkapkan, dia sejak awal keberatan dengan agenda konfrontir yang dilakukan Polda Gorontalo dengan menghadirkan para pelaku bersama korban.

"Kalau konfrontir seharusnya juga menghadirkan tersangka lain, seperti Yuyun dan Memey. Tapi ini hanya 8 pelaku yang semuanya laki-laki, yang dihadap-hadapkan dengan korban. Akhirnya (Berita Acara Pemeriksaan) BAP yang sudah dibuat sebelumnya, diubah lagi," ibunda gadis Manado tersebut memaparkan.

Novie menambahkan, hari pertama pemeriksaan itu korban secara fisik dan psikis masih kuat. Gadis Manado itu bahkan mampu menjawab seluruh pertanyaan yang diberikan penyidik. "Bahkan korban bisa menunjuk satu per satu para pelaku yang sempat diingatnya ketika peristiwa nahas itu terjadi. Empat di antaranya anggota polisi," tutur Novie yang diiyakan Rina.

Novie mengatakan, saat memasuki hari kedua pemeriksaan, Selasa 7 Juni 2016, intimidasi kembali dirasakan pihaknya.

"Delapan pria dihadapkan dengan korban. Mereka bahkan menakut-nakuti korban, dengan memukul-mukul tembok ruang pemeriksaan. Selain tatapan mata yang menekan, dan juga kata-kata ancaman," ujar Novie sambil menambahkan, ibu korban juga tidak diperkenankan masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Dalam kondisi tertekan itu, lanjut dia, penyidik juga ikut dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan.

"Saya mengajukan keberatan, minta agar korban didampingi psikiater, tapi ini tidak dipenuhi pihak penyidik. Dalam kondisi blank itulah korban terpaksa mengaku tidak diperkosa," kata Novie sambil menegaskan, dia tidak mau menandatangani BAP karena merasa pemeriksaan itu janggal dan korban dalam kondisi tidak sehat.

5. Dukungan Mengalir

Berbagai elemen masyarakat, mulai dari kalangan mahasiswa, aktivis perempuan hingga wakil rakyat memberikan dukungan terhadap korban sekaligus menuntut polisi menuntaskan kasus ini.

Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Utara, Stefanus BAN Liow, misalnya, mendesak Polda Sulut mengusut tuntas kasus kekerasan yang dialami korban SC (15).

"Sebagai anggota DPD RI utusan Sulut, meminta pihak-pihak yang terlibat termasuk Polda Sulut mengusut tuntas kasus ini tanpa pandang bulu. Harus diusut tuntas," kata Stefanus di Manado, Senin 9 Mei 2016.

Demonstrasi mahasiswa menuntut penuntasan kasus dugaan kejahatan seksual terhadap gadis Manado oleh Polda Sulut. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Stefanus yang membidangi soal kekerasan terhadap perempuan mengatakan, siapa pun yang terlibat, termasuk jika ada indikasi keluarga polisi, supremasi hukum harus ditegakkan.

Kecaman terhadap penyelesaian kasus yang dinilai tidak transparan dan lamban itu juga dilayangkan LSM Swara Parangpuan. "Kekecewaan yang besar sekali karena sudah sejak Januari dan sudah dilaporkan di bulan yang sama. Sudah berjalan sekian bulan kemudian tidak ada titik terangnya," ujar Nurhasanah dari Bidang Database, LSM Swara Parangpuan.

Nur menambahkan, selama ini pihaknya selalu mengampanyekan Sulawesi Utara sudah masuk kategori darurat kekerasan terhadap perempuan. Namun, tidak ada kepedulian dari pemerintah dan aparat.

"Harusnya negara hadir untuk memberikan rasa aman bagi warganya," ujar Nurhasanah.

Tak hanya sekadar dukungan pernyataan, aksi pengumpulan tanda tangan dukungan penyelesaian kasus gadis Manado itu juga dilakukan. Merasa perkembangan penyidikan kasus yang dialami STC (19), pihak keluarga bersama kalangan mahasiswa dan pegiat hak asasi manusia menggelar aksi simpatik. Selain berorasi, mereka juga mengumpulkan tanda tangan dukungan penyelesaian kasus.

"Kami minta Polda Sulut bisa memberikan hasil visum awal kepada kami. Karena mereka menyatakan tidak ada pemerkosaan, mana buktinya?" ujar Yopy Barendale, paman korban yang ikut terlibat dalam aksi simpatik itu, Senin 16 Mei 2016.

Menurut Yopy, sampai saat ini pihaknya tetap yakin dengan pernyataan korban bahwa dia diperkosa 19 pria. "Kondisi psikologis korban sangat memprihatinkan. Ada trauma yang mendalam karena pemerkosaan itu."

Sejumlah sahabat gadis Manado itu juga ambil bagian dalam aksi itu. "Kami minta polisi menuntaskan kasus ini. Apalagi sudah terungkap ada oknum polisi yang terlibat. Padahal sebelumnya, Polda Sulut membantah ada keterlibatan aparat," Ledie Diana, salah satu sahabat korban, memaparkan.

Sementara itu, Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Tondano, Melkior Cangkung menegaskan, kasus yang menimpa STC ini merupakan satu di antara banyak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi.

"Sudah darurat kekerasaan terhadap perempuan dan anak. Negara harus ambil langkah menangani ini," ujar Melkior yang ikut mendampingi keluarga korban.

Aksi yang diikuti puluhan aktivis HAM, mahasiswa, serta keluarga korban ini dikawal ketat aparat kepolisian dari Polresta Manado dan Polda Sulut. Hampir dua jam menggelar aksi, ribuan tanda tangan berhasil dikumpulkan sebagai bentuk dukungan penyelesaian kasus itu.

"Dukungan publik, sekaligus desakan penuntasan kasus ini," ucap Alfin Roghu, salah satu aktivis mahasiswa dalam orasinya.

Pada Kamis 9 Juni 2016, Lembaga Perlindungan Saksi dan Konsumen (LPSK) juga mendatangi korban dan keluarganya. Mereka juga menyatakan dukungan untuk penyelesaian kasus ini.

6. Dari Manado ke Jakarta

Kapolda Sulut Wilmar Marpaung didampingi Direktur Reskrim Umum Polda Sulut Pitra Ratulangi saat jumpa pers dengan wartawan, Senin 9 Mei 2016 mengungkapkan, kasus itu pertama kali disampaikan oleh orangtua korban ke Polresta Manado pada 30 Januari 2016. Kemudian dilimpahkan ke Polda Sulut pada 16 Februari 2016.

Saat jumpa pers itu, Pitra mengatakan kasus ini sedang ditangani oleh penyidik dari Polda Sulut dan Polda Gorontalo, karena locus delicti atau tempat kejadian perkara (TKP) ada di Gorontalo.

Polda Gorontalo bahkan sempat mengirim timnya ke Manado untuk menindaklanjuti kasus ini di bawah pimpinan Wadireskrimum AKBP Iwan Eka Putrasaat. "Saat ini kasus penganiayaan dan pencabulan itu sudah diserahkan ke Polda Gorontalo. Kami akan bekerja maksimal menuntaskan kasus ini, dengan dukungan Polda Sulut," ujar Iwan , Rabu 11 Mei 2016.

Setelah ditangani Polda Gorontalo, gelar perkara kasus gadis Manado itu diserahkan ke Bareskrim Polri, Kamis 9 Juni 2016. Menurut juru bicara Polda Gorontalo AKBP Bagus Santoso, gelar perkara kasus gadis Manado akan dilakukan oleh penyidik bersama ahli hukum pidana. Sementara saksi dan pelapor tidak akan dilibatkan dalam gelar perkara tersebut.

Aksi damai keluarga dan kerabat gadis Manado yang diduga menjadi korban kejahatan seksual. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Kasus dugaan kejahatan seksual yang dialami seorang gadis di Manado berinisial STC membuat Bareskrim Polri menerjunkan tim ke Polda Sulawesi Utara.

Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Umar Surya Fana membenarkan sejak tiga minggu lalu anggotanya telah berada di Polda Sulawesi Utara. Mereka, kata dia, diperbantukan untuk menangani kasus tersebut. "Kami hanya kirim anggota untuk asistensi," kata Umar di Jakarta, Kamis 9 Juni 2016.

Namun, dia memastikan kasus tersebut tetap ditangani oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sulawesi Utara. Meski saat ini, Bareskrim telah menerjunkan sejumlah anggotanya untuk membantu menyidik perkara gadis Manado tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya