Iran: Arab Saudi dan Donald Trump Penyebab Teror Teheran

Korps Garda Revolusi Iran menuding Arab Saudi dan relasinya dengan Donald Trump sebagai penyebab tidak langsung teror di Teheran.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Jun 2017, 19:00 WIB
Diterbitkan 08 Jun 2017, 19:00 WIB
Parlemen Iran Diserang Pria Bersenjata Api
Suasana di depan parlemen Iran usai terjadi penyerangan, Rabu (7/6). Orang-orang bersenjata melakukan serangan ke parlemen Iran dan makam pendiri revolusioner Ruhollah Khomeini. (AFP/ATTA KENARE)

Liputan6.com, Teheran - Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) menyalahkan Arab Saudi atas peristiwa teror ganda di kompleks Parlemen dan Makam Ayatollah Khomeini di Teheran yang terjadi pada 7 Juni 2017 lalu. Korps Garda Revolusi Iran juga menuding bahwa peristiwa tersebut dilakukan oleh ISIS yang kerap didukung oleh Arab Saudi.

Korps Garda Revolusi Iran adalah angkatan bersenjata multifungsi yang merangkap tanggung jawab dalam memelihara keamanan domestik, perbatasan dan kepentingan luar negeri Iran, penegakan hukum, serta intelijen.

Kelompok ISIS --melalui sayap media Amaq-- mengklaim bertanggung jawab atas serangan teror ganda tersebut, demikian seperti yang dikutip oleh CNN, Kamis (8/6/2017).

Jika benar adanya --sejumlah klaim ISIS kerap sulit untuk diverifikasi dan dikonfirmasi--, peristiwa tersebut menambah daftar serangan yang dilakukan oleh kelompok teror berbasis Islam Sunni seperti ISIS menyerang Iran yang didominasi oleh Islam Syiah.

Selain itu, Arab Saudi yang didominasi Sunni memiliki tensi tegang dengan Iran yang didominasi Syiah sejak 1.000 tahun lamanya. Kedua negara juga selalu mendukung kubu yang bersebelahan pada sejumlah konflik negara lain, seperti di Yaman dan Suriah.

Di sisi lain, Korps Garda Revolusi Iran bersumpah akan melakukan pembalasan atas serangan teror di Tehran dan menyatakan bahwa peristiwa tersebut memiliki kaitan dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ke Arab Saudi pada Mei 2017 lalu.

"Opini dunia, khususnya di Iran, melihat bahwa aksi terorisme itu dilakukan beberapa saat setelah Presiden Amerika Serikat bertemu dengan pemimpin negara yang selalu mendukung teroris (implisit merujuk Arab Saudi). Klaim ISIS juga menunjukkan keterlibatan negara itu atas peristiwa teror tersebut," jelas sebuah pernyataan dari IRGC kepada media Iran Fars News Agency dan dikutip oleh CNN, Kamis 8 Juni 2017.

Pada kesempatan yang lain, Presiden Trump membuat sebuah pernyataan tertulis terkait simpatinya terhadap peristiwa di Tehran. Namun, ia juga menyalahkan pemerintahan Iran atas teror yang terjadi di jantung ibu kota negara tersebut.

"Kami turut berduka kepada para korban tidak bersalah yang tewas dan seluruh warga Iran, yang saat ini tengah menghadapi situasi yang sulit. Kami juga ingin menekankan bahwa negara yang mensponsori terorisme berisiko tinggi menjadi korban terorisme itu sendiri," kata Presiden Donald Trump seperti yang dikutip oleh CNN.

Setidaknya 12 orang tewas ketika enam orang melakukan serangan bersenjata dan ledakan bom bunuh diri di kompleks Parlemen dan Makam Ayatollah Khomeini di Tehran. Keduanya terpaut jarak sekitar 19 km dan peristiwa teror terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan.

Menurut CNN, pemilihan dua tempat tersebut sebagai lokasi penyerangan karena keduanya dianggap memiliki nilai simbolis. Dan, teror tersebut dilakukan sebagai sebuah serangan simbolis untuk mengguncang stabilitas Iran.

Akan tetapi, Parlemen Iran menganggap remeh peristiwa tersebut dan hanya menyebutnya sebagai sebuah 'isu minor'. Saat ini, unit kontra-terorisme Iran tengah menyelidiki sejumlah individu dan kelompok lain yang diduga memiliki keterkaitan dengan keenam pelaku teror Teheran.

"Seperti yang kita tahu, segerombolan pengecut menyusup ke dalam gedung, namun mereka sudah dikonfrontasi oleh pasukan kami. Isu minor ini hanya menunjukkan bahwa para teroris tersebut hanyalah sekadar pembuat onar," kata juru bicara Parlemen, Iran Ali Larijani.

Peristiwa yang mengguncang jantung Kota Teheran itu juga terjadi di tengah krisis politik di Teluk Arab. Mesir, Arab Saudi, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan lima negara lain memutus tali diplomasi dan relasi politik dengan Qatar.

Sejumlah faktor pemicu krisis diplomasi mencuat, salah satunya diduga dipicu atas komentar Emir Qatar Sheikh Tamim al-Hamad yang menyebut Iran sebagai 'poros kekuatan Islam' dan ketidaksukaannya atas kebijakan Donald Trump terhadap Negeri Persia. Arab Saudi --rival utama Iran dan koalisi Amerika Serikat-- diduga kesal atas komentar sang Emir dan memimpin enam negara lain untuk melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya